Partai Golkar kini telah memasuki kepengurusan baru dengan slogan "Golkar Bersih" sejak Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar setelah terpilih dalam rapat pleno DPP Partai Golkar, kemudian dikukuhkan sebagai ketua umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Luar Biasa.
Namun, posisi Airlangga tersebut bertentangan dengan apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo terkait tak ada rangkap jabatan dalam kabinetnya. Belum adanya keputusan tersebut menuai kritik dari sejumlah pihak, salah satunya datang dari Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
Fadli Zon mengatakan, Presiden Jokowi sebaiknya segera memberikan keputusan agar publik tidak bertanya-tanya terkait rangkap jabatan Airlangga. Bahkan, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR itu meminta agar Jokowi untuk segera mencopot Menteri Perindustrian yang dijabat Airlangga sebab dia saat ini sudah didapuk sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
"Dia (Jokowi) sendiri yang menetapkan waktu itu bahwa tidak boleh rangkap jabatan. Ya, kan?! Kan bukan masyarakat," kata Fadli Zon seperti dikutip Kompas.com di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 22 Desember 2017.
Hal tersebut, kata Fadli, untuk kembali mengingatkan kepada Presiden akan komitmennya yang tidak membolehkan pembantunya untuk merangkap jabatan di partai politik. Selain itu, tambah Fadli, adapun komitmen yang dibangun Jokowi adalah sebuah tradisi yang baik, agar para menterinya bisa fokus pada tugasnya, sesuai dengan janji yang disampaikan Jokowi pada masa kampanye itu. "(Kalau tidak) ya artinya menelan ludah sendiri," ucap Fadli.
Tidak saja dari Plt Ketua DPR Fadli Zon, kasak-kusuk rangkap jabatan Airlangga juga dikomentari oleh Pengamat Politik dari Universitas Paramadina, Arif Susanto dalam sebuah diskusi di Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa 26 Desember 2017.
Arif menilai, agar tidak terjadi kegaduhan dalam masyakarat ia menyarankan Presiden Jowoki untuk segera mengeluarkan intruksi tertulis berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) terkait larangan rangkap jabatan bagi pembantu Jokowi. Apalagi, kata dia, Pilkada 2018 dan Pemilu Serentak 2019 sudah di depan mata. "Mungkin kalau itu (larangan rangkap jabatan) tidak sekadar lisan akan lebih kuat. Dalam bentuk Inpres misalnya," ujar Arif.
[irp posts="5091" name="Peraturan Jokowi soal Menteri Rangkap Jabatan, Bagaimana dengan Puan?"]
Arif mengatakan, meski pun secara hukum tidak ada masalah dalam rangkap jabatan, akan tetapi, tambahnya, secara politik dengan jabatan rangkap tersebut maka yang terjadi kemudian adalah penyempitan peluang distribusi kekuasaan. Sebab, dua jabatan tersebut dijabat oleh orang yang sama.
Padahal, kata dia lagi, kebiasaan yang terjadi di Indonesia adalah ketua parpol kebanyakan tak memegang jabatan publik dan itu sudah dilakukan oleh beberapa partai. Ia mencontohkan Partai Gerindra dan Nasdem. "Itu bisa dibangun ada separasi yang tegas antara wilayah publik dimana seseorang menjadi pejabat di dalamnya dan wilayah yang lebih partikular dimana kepentingan partai menjadi yang utama. Itu harus dimulai," tuturnya.
Ia menambahkan, sejarah Golkar sendiri saat era kepemimpinan Aburizal Bakrie alias Ical ketika menjabat menteri mempunyai kesulitan untuk melakukan konsolidasi di internal partai, terutama sekali terhadap DPD. Malahan, Arif menilai dengan adanya dukungan dari pemerintah terhadap Airlangga bahkan sebelum menjadi Ketum Golkar dapat menjadikan Golkar di bawah kepemimpinannya menjadi partai penyeimbang.
"Ini sebelum jadi ketum dukungan politiknya begitu besar. Di sisi lain dukungan dari internal itu kan belum cukup terakumulasi, belum cukup besar. Karena jaminan posisi bagi Airlangga kan sampai 2019, tantangan berikutnya kan masih menunggu. Sebab 2019 jadi begitu krusial karena pada saat yg sama Golkar akan berhadapan dengan pemilu nasional," tuturnya.
Sementara, berbeda dengan Arif, Pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan Presiden Jokowi akan mempertahankan Airlangga meski tahu Menteri Perindustrian itu sudah menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar. Sebab, kata dia, kondisi pemerintahan saat ini berbeda dengan ketika Jokowi baru menjadi Presiden.
"Jokowi lebih berpikir bagaimana psikologis politik yang terjadi bila Airlangga dicopot. Airlangga baru dikukuhkan (sebagai Ketum Golkar), bila dicopot, maka ada reshuffle, dan bila reshuffle, kondisi Golkar bisa bergejolak," ucap dia.
Karena itu pula, agar tidak ada pergolakan lagi dalam tubuh Golkar diakhir masa jabatan Jokowi sebagai Presiden, maka pilihan mempertahankan Airlangga dalam kabinetmya menjadi pilihan mantan Walikota Solo itu.
"Tak hanya Golkar yang mungkin gaduh (bila Arilangga dicopot) imbasnya akan kepada relasi Jokowi dengan partai-partai pendukung pemerintah yang lain. Karena Presiden sadar betul, bila reshuffle dilakukan, akan kuras energi publik dan elit," ucapnya.
Arya mencontohkan, tak saja Airlangga yang merangkap jabatan sebagai ketum partai. Sejumlah tokoh lainnya juga dulu pernah melakukan hal sama. Sebab, kata dia, tak ada aturan khusus yang menyatakan pelarangan menteri merangkap jabatan.
"Dulu ketika Pak JK menjabat Wapres di era pemerintah SBY, beliau merangkap Ketum Golkar, lalu ada Cak Imin (Ketum PKB) yang menjadi Menaker. Jadi memang tak ada aturan baku tentang rangkap jabatan ketum Parpol dan di eksekutif," kata Arya.
Selain itu, Arya juga mengatakan ada beberapa menteri lainnya yang rangkap jabatan ketum partai namun memiliki kinerja yang baik, sehingga menteri tersebut bertahan dengan posisi tersebut sejak pertama dilantik hingga akhir periode pemerintahan.
"Pak JK, beliau tetap mampu memimpin Golkar walau saat itu berstatus Wakil Presiden. Jadi memang belum ada temuan atau kajian yang menunjukkan rangkap jabatan menteri dan parpol itu pengaruhi kinerja, belum ada," kata dia.
Diketahui, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat ini juga menjabat sebagai Ketum Golkar. Hingga saat ini, belum ada pernyataan apapun dari Presiden Joko Widodo terkait rangkap jabatan Airlangga. Malahan, Airlangga menyerahkan posisinya kepada Presiden.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews