Seberapa Banyak Kaum Intoleran Itu?

Senin, 25 Desember 2017 | 04:00 WIB
0
471
Seberapa Banyak Kaum Intoleran Itu?

Seberapa besar, seberapa banyak, orang-orang yang intoleran di Indonesia ini? Saya lebih meyakini jumlahnya kecil saja. Minoritas. Saya lebih meyakini majoritas orang Indonesia masih banyak yang baik, sebagaimana saya meyakini hukum alam selalu berorientasi pada yang positivistik.

Sebagaimana orang pintar, sebagaimana orang beruntung. Karena mereka yang buruk, bodoh, dan sial, di mana-mana, selalu bersifat kasuistik. Peradaban yang tumbuh, karena bahasa universal adalah kasih-sayang dan saling berkabar. Manusia lebih mampu melakukan formulasi, proyeksi, dan orientasi secara umum (tidak spesifik sebagaimana makhluk lainnya).

Lantas, kenapa kaum intoleran tampak begitu besar, atau dirasa makin membesar? Bahkan ada yang mengatakan bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di Amerika, Eropa? Meski pun dua benua itu harus dilihat dengan latar belakang masalahnya. Bukan semata SARA, tetapi karena faktor paling fundamental, yakni ekonomi, entah lapangan pekerjaan atau ancaman kemiskinan. Kemenangan Donald Trump tak bisa disandingkan dengan kekalahan Ahok.

Membandingkan strategi komunikasi politik Eep Saefullah Fatah, saya lebih tertarik dengan tuitan Buni Yani di akun twitternya dulu (15 Mei 2014), dimana ia menulis kira-kira; Jualan yang paling laku di Indonesia adalah atas nama agama (dengan alasan, menurut Buni Yani, konsumennya masih bodoh).

[irp posts="6218" name="Mencari Politisi Damai Yang Tak Gunakan Agama Demi Raih Kekuasaan"]

Untuk level konsumen yang konsumtif (karena konsumerisme itu), apa saja laku. Smartphone yang mahal dan canggih saja laku, padahal belum tentu bisa menggunakan banyak fiturnya, dan bahkan sering dianggurin. Dengan tingkat konsumerisme yang tak tertandingi, masyarakat Indonesia pun bisa berkata; jangankan agama, sorga pun bisa dibeli.

Bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia, semua aktivitas agama, tak pernah luput dari persoalan perputaran uang. Perekonomian di Bali terus bergerak, karena tiap detak kehidupan mereka tak pernah lepas dari ritual keagamaan. Demikian juga di India, atau di negara-negara lain yang mengampu ritual agama pada ziarah imanensi dalam berbagai bentuknya.

Jangan-jangan, kitalah yang membesar-besarkan kaum intoleran yang minrotas ini? Kita? Kita siapa? Ada yang nyahut, elu aja kale! Ya, kita, para medsoser kaum toleran, yang meski tidak mentolerir intoleransi, tetapi juga sama-sama memberi ruang pada mereka. Sama seperti ketika di ruang kelas sekolah kita dulu, ada 1-2 troublemaker. Kita cenderung menyingkir atau diam saja. Sing waras ngalah, katanya.

Sang pahlawan atau superhero memang manusia pilihan. Itu sebabnya, Prabowo tersingkir karena ada Jokowi sebagai pilihan lebih baik. Meski pun tentu, hal itu tak bisa dipakai untuk melihat kenapa Anies terpilih dan Ahok tersingkir. Karena bukan hukum alam yang bermain. Sang pemenang masih berutang pada alam, nanti pasti ditagih oleh alam.

Pandangan kita sering mikroskopis. Sebagaimana kerja lensa mikroskop. Begitu focus, memperbesar yang kecil, dan senyampang itu mengaburkan peripheral atau kitarannya. Padahal, tak ada kesatuan yang lepas dalam kehidupan kita.

Bahwa memang ada peristiwa ini-itu, yang tak mengenakkan, tak dapat dipungkiri. Dan memang, sejak tumbangnya Soeharto, 1998, ada ruang kosong yang coba dimasuki. Yakni politik identitas, sebagai reaksi atas gagalnya Soeharto merumuskan pembangunan manusia Indonesia.

Kaum pergerakan, atau kaum nasionalis di Indonesia, kalah strategis ketika kampus-kampus, masjid-masjid, bahkan berbagai ormas kegiatan sosial-ekonomi dan pendidikan, telah diduduki kaum Wahabi atau Salafi. Ada perputaran uang yang besar di sana, dari para sponsor kegiatan pencerahan ini.

Tigapuluhdua tahun kekuasaan Soeharto berjalan sia-sia, kecuali bagi anak-turun dan kelompoknya saja. Perjalanan peradaban kita, menukik ke nadir, setelah generasi 1908, 1928, 1945 membangun kontruks Indonesia. Soeharto melakukan korupsi peradaban besar-besaran. Dan kita berada dalam involusi, kemandegan.

[irp posts="4133" name=" Ajegileee...." Jakarta Ternyata Kota Paling Intoleran!"]

Agama berada di ruang bisnis yang lain. Sebuah outlet yang dirindukan oleh generasi transisi, yang nanti mungkin akan bertarung dengan generasi milenia. Lebih karena mazhab agama yang ditawarkan terasa semakin profan, dan verbal. Ada banyak penumpang gelap, penjaja dagangan dengan jualan yang memabukkan. Dan tak ada lembaga advokasi yang melakukan pendampingan.

Karena kita sungguh tak mengerti, kalau diajari agama, kok munculnya justeru tindakan intoleran, bar-bar, keras kepala, bodoh. Itu karena apa coba? Pertanyaannya sederhana; Apa yang sesungguhnya diajarkan. Nilai-nilai agama, atau inferiority complex? Hingga kemudian yang dibangun adalah kejumudan, taqlid buta, fanatisme, untuk membonsai dan menyemen jiwa manusia, sebagai monster?

Sudah barang tentu, Indonesia lahan subur, karena populasi manusia beragama begitu tinggi, dan surat beragama (dalam KTP atau pun SKKB menjadi urusan negara). Jika agama memasuki ruang komodifikasi, adalah hal yang wajar. Bagi Arab Saudi, untuk kelompok Wahabi, Indonesia tentu penting. Karena akan menjadi potential buyers rutin di Mekkah. Apalagi sudah ada dalilnya. Dan sumur-sumur minyak sebentar lagi kering.

Intoleransi adalah limbah dari semuanya itu. Lebih karena fanatisme pada identitas, atau brand yang harus dibangun. Bahasa yang paling dekat adalah claiming sebagai korban. Maka ouput-nya adalah menyerang. Boikot, adalah satu satu bentuk serangan.

Tapi karena tak dibarengi kemampuan, disamping konsumtivisme yang tinggi, boikot medsos cukup 24 jam saja. Itu pun pas Natal, pasti akan lebih banyak dikebaki status ucapan selamat Natal, yang bagi kaum intoleran murid Felix Siauw, rasanya bagai hujan panah menghunjam ke ulu hati. Ngilu.

Indonesia adalah negara besar. Lebih besar dari Arab Saudi. Di Indonesia ini, kaum toleran jauh lebih banyak. Asal hidup kita tak hanya mengandalkan medsos. Jangan lupa, kabarkan tentang keindahan toleransi. Selamat Natal bagi siapapun yang merayakan. Bagi yang tidak merayakan, selamat ber-apa saja, makan tongseng juga boleh, yang penting halalan thoyiban.

* sebuah referat kecil di akhir tahun, 2017, @sunardian