Jadi "Justice Collaborator", Setya Masih Punya Kesempatan Jadi "Hero"

Rabu, 20 Desember 2017 | 11:20 WIB
0
497
Jadi "Justice Collaborator", Setya Masih Punya Kesempatan Jadi "Hero"

Terdakwa koruptor KTP Elektronik Setya Novanto masih berkesempatan menjadikan dirinya sebagai "hero" (pahlawan) dari sekarang ini yang masih "zero". Caranya mudah, yaitu dengan menjadi justice collaborator Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengungkap tuntas seluruh penikmat uang haram yang selama ini belum tersentuh hukum.

Ini pilihan yang realistis bagi Setya daripada mendapat ancaman hukuman seumur hidup karena dianggap telah mempersulit jalannya penuntasan kasus hukum ini. Mulai dari manuver "pura-pura" sakit saat hendak diperiksa KPK sampai harus menginap di sebuah rumah sakit, menghilang dan menjadi buronan KPK saat akan diperiksa kembali tapi kemudian mengalami "kecelakaan" sebelum akhirnya KPK mencokoknya.

Bagi KPK, aparat penegak hukum dan bahkan orang awam, prilaku Setya Novanto sudah patsi dapat memberatkan dirinya saat menghadapi persidangan. Tidak hanya berbelit-belit dan pura-pura sakit saat disidang, potensi melarikan diri pun menjadi pertimbangan. Ancaman hukuman seumur hidup itu bukan main-main, hanya akan menyamai rekor kurungan seumur hidup yang diterima mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.

[irp posts="4322" name="Inilah Keuntungan Jika Setya Novanto Bersedia Jadi Justice Collaborator""]

Jika Setya Novanto masih tertus melancarkan "aktingnya" dengan atau tanpa sepengetahuan pengacaranya, posisinya akan semakin sulit dan makin tersudut. Alat bukti yang dimiliki KPK yang bukan sekadar dua alat bukti, tidak mungkin bisa disangkal lagi. Aliran dana, transfer, pemberian barang berharga, hasil penyadapan, akan dibeberkan KPK jika Setya Novanto masih saja berkilah.

Dengan mengakui terus-terang perbuatannya, setidak-tidaknya akan memperingan hukumannya. Apalagi kalau menjadi justice collborator yang sudah pasti mengurangi hukuman yang bakal diterimanya. Status justice collaborator diatur dalam ketentuan dan sudah menjadi konvensi PBB beberapa tahun lalu.

Justice collaborator diatur melalui Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, justice collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.

Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, justice collaborator dimakanakan sebagai seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.

Untuk menentukan seseorang vertindak selaku justice collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada beberapa pedoman, yaitu :

Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.

Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :

Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau

Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud

Disebutkan pula, dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Peran justice collaborator yang pada masa lalu disebut "Saksi Mahkota" ini akan menuntaskan seluruh kasus korupsi KTP-el ini. Setya Novanto sendiri tentu tidak mau segelintir orang dan dirinya yang divonis bersalah dan harus menjadi warga LP Sukamiskin, ia pada akhirnya akan mengungkapkan siapa saja para penerima uang haram yang sekarang masih aman-aman itu.

[irp posts="3494" name="Istri dan Anak Disebut, Setya Novanto Mungkin Terpaksa Menyerah""]

Misalnya saja, Setya Novanto-lah yang bisa menjelaskan mengapa tiga nama pentolan PDI Perjuangan, yaitu Yasonna Laoly, Ganjar Pranowo, dan Olly Dondokambey lenyap dari surat dakwaan di mana sebelumnya ketiga nama ini masih tercantum. Boleh saja tiga politikus PDI Perjuangan itu atau nama-nama lain yang juga lenyap tak berbakas menolak menerima fulus hasil akal bulus itu, tetapi pengakuan Setya Novanto terhadap tiga nama atau nama-nama lainnya yang lenyap itu akan membuka babak baru.

Lihatlah Muhammad Nazaruddin yang sudah menjadi "hero" dari yang semula hanya sekadar "zero", yaitu koruptor yang hinda dina. Ia menjadi "pahlawan" ketika banyak para koruptor yang semula aman-aman melenggang kangkung, lalu menjadi pesakitan di LP Sukamiskin. Anas Urbaningrum adalah salah satu korban "heroisme" Nazar.

Jika Setya Novanto mengikuti jejak-langkah Nazar, bisa jadi orang akan segera melupakan akting untuk mengindar dari jerat hukumnya yang menjengkelkan publik. Ia akan dielu-elukan karena sudah memastikan orang-orang yang selama ini belum tersentuh hukum padahal sama-sama menikmati uang hasil korupsi KTO-el menjadi tahanan juga. Setidak-tidaknya azas keadilan publik terpenuhi.

Kasarnya, semua maling ya harus mendapat hukuman yang sama. Setya Novanto tentu tidak akan rela mendekam sendirian di LP Sukamiskin yang sesuai namanya hobinya "suka memiskinkan" koruptor itu; lahir maupun batin.

***