Tambang Emas Tumpangpitu Banyuwangi Bergejolak Kembali

Minggu, 17 Desember 2017 | 17:04 WIB
0
893
Tambang Emas Tumpangpitu Banyuwangi Bergejolak Kembali

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kembali mempersoalkan aktivitas tambang emas PT Bumi Suksesindo (BSI) yang sejak April 2017 lalu sudah mulai produksi di Gunung Tumpangpitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.

Masa commissioning selama 1 sampai 3 bulan sejak April 2017 telah dilalui. Commissionng adalah masa percobaan atau trial and error, dengan serangkaian kegiatan pemeriksaan dan pengujian instalasi peralatan yang terpasang pada proyek tersebut.

Dengan hasil pemeriksaan dan pengujian yang baik maka diyakini bahwa sistem proyek ini aman. Pada Juni 2017, Komisaris BSI Garibaldi Thohir sempat melihat uji coba produksi. “Mudah-mudahan bisa cepat produksi resmi,” lanjut Boy Thohir.

Menurutnya, dalam fase ini, perusahaan sedang mencari formula yang tepat dalam mengolah bullion (batangan mineral yang memiliki kandungan emas, perak, dan lain-lain). Termasuk  guna mengetahui persentasi kandungan emas yang ditambang itu.

“Jadi melakukan uji lab, sampai menemukan komposisi yang tepat. Selanjutnya akan kita murnikan di Antam (PT Aneka Tambang),” jelas Boy Thohir. Tambang emas terbesar kedua di Indonesia ini melakukan peledakan pertama pada 27 April 2017.

[irp posts="3111" name="Azwar Anas Bisa Jadi Alternatif dari Rivalitas Khofifah versus Gus Ipul"]

Peledakan di kawasan Gunung Tumpangpitu ini yang menjadi penyebab utama banjir lumpur di Pantai Pulau Merah, yang letaknya tepat di bawah kaki Gunung Tumpangpitu. BSI adalah anak usaha PT Merdeka Copper Gold Tbk, menginvestasikan usahanya di Banyuwangi lebih dari US$ 200 juta dolar atau sekitar Rp 2,6 triliun (Rp 13.000/US$).

Pemkab Banyuwangi memiliki saham 6,4% di PT Merdeka Copper Gold Tbk, pemilik 99% saham BSI. Saham Pemkab Banyuwangi yang hanya senilai Rp22 miliar, meningkat menjadi Rp 400 miliar. Saham ini merupakan hibah sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat dan peningkatan ekonomi.

Sehingga, tidak heran ketika merespon banjir lumpur itu, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengantarkan langsung surat teguran Pemkab Banyuwangi kepada BSI. Bupati Anas meminta supaya BSI segera membangun enam dam penampungan sebagaimana yang tercantum dalam Amdal.

“Jika Pemkab Banyuwangi memang mau bersikap tegas, seharusnya dapat memberikan peringatan lebih keras lagi bagi BSI. Harus disertai ancaman pencabutan izin, bukannya diberi kehormatan dengan pengantaran surat teguran langsung oleh Bupati,” ujar Ki Bagus Hadi Kusuma, Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Kawasan yang sebelumnya berstatus Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu ini, mulai resmi dikapling oleh BSI sejak diberikannya izin usaha pertambangan oleh Bupati Anas melalui SK Bupati No. 188/555/KEP/429.011/2012 dan No. 188/547/KEP/429.011/2012 dengan konsesi 4.998 ha. Dari luas tersebut, BSI mencaplok Gunung Tumpangpitu seluas 1.942 ha.

Berdasar UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan lindung tersebut terlarang untuk kegiatan pertambangan terbuka. Tapi, untuk menguatkan SK IUP tersebut dan memuluskan eksploitasi emas, Menteri Kehutanan yang saat itu dijabat Zulkifli Hasan menurunkan status Gunung Tumpangpitu dari Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi melalui SK Menteri Kehutanan No. 826/MENHUT-II/2013 seluas 1.942 ha.

Penurunan status Hutan Lindung Gunung Tumpangpitu itu berdasarkan usul dari Bupati Anas melalui surat No. 522/635/429/108/2012 yang mengusulkan penurunan fungsi kawasan hutan Gunung Tumpangpitu seluas 9.743,28 ha. Penurunan status tersebut jelas merupakan bentuk fasilitasi negara atas perusakan lingkungan. Demi mengeruk keuntungan, menurut JATAM, Pemkab Banyuwangi mengabaikan keselamatan lingkungan dan warganya.

[caption id="attachment_6149" align="alignleft" width="540"] Tambang emas Tumpangpitu, Banyuwangi (Foto: Okezone.com)[/caption]

Konsesi BSI berada di Pesanggaran tersebut hanya berjarak tiga kilometer dari permukiman warga. Tentu ekploitasi emas ini berdampak negatif bagi penghidupan warga Pesanggaran yang sangat bergantung pada sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata.

Menurut catatan WALHI Jawa Timur, yang menjadi lokasi utama pertambangan emas BSI adalah penghasil utama buah naga dan jeruk yang telah memberi keuntungan besar kepada rakyat. Hasil produksi buah naga di luasan lahan 1 ha mampu menghasilkan keuntungan bersih rata-rata Rp 50-60 juta pada tahun pertama panen (umur 2 tahun), dan Rp 200-300 juta pada tahun kedua panen (umur 3 tahun).

Jumlah pendapatan tersebut akan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya, dan akan bertahan sampai usia tanaman berumur 8 tahun. Untuk produksi jeruk, keuntungan kotor yang diraih para petani bisa mencapai Rp 130 juta per tahunnya (umur 2 tahun).

[irp posts="3795" name="Upaya Mengahokkan" Megawati Soekarnoputri Dimulai dari Jawa Timur"]

Dan angka pendapatan itu akan terus meningkat pada masa panen tahun ketiga, yakni mampu mencapai Rp 200-300 juta per tahunnya (umur 3 tahun). Pendapatan petani jeruk ini akan terus meningkat hingga tahun ketujuh.

Data BPS Banyuwangi menunjukkan, luas lahan panen komoditas lainnya di Sumberagung terbilang sangat cukup luas, yakni; luas areal panen untuk tanaman padi mencapai 1.135 ha, jagung 504 ha, kedelai 677 ha, kacang tanah 1 ha, ubi kayu 8 ha (Kecamatan Pesanggaran Dalam Angka 2014).

Di sektor perikanan, laut di wilayah ini telah memberikan kesejahteraan lebih dari cukup. Hal ini terbukti dari hasil tangkapan ikan per harinya, dari sekitar 1.000 nelayan yang bermukim di Dusun Pancer, Desa Sumberagung bisa sampai menembus angka 150 ton.

Dengan harga yang baik, jumlah tangkapan ini jika dikonversikan bisa setara dengan angka pendapatan Rp 1,2 miliar. Selain telah memberikan peningkatan pendapatan ekonomi bagi petani dan nelayan, Bukit Tumpangpitu dan pesona alamnya juga telah membawa berkah bagi penduduk Sumberagung yang bergiat di bidang pariwisata pantai.

Kegiatan pariwisata di Sumberagung sudah dimulai sejak akhir 1990-an. Kegiatan ini dirintis oleh sekelompok kecil warga, yang memiliki kecintaan pada bidang pariwisata, usaha yang mereka lakukan berkembang secara bertahap, dan terus membesar memasuki tahun 2000-an.

Menurut para penggiat pariwisata, pendapatan rata-rata per bulan dari sektor pariwisata bisa mencapai angka Rp 300 juta. Namun, seluruh cerita kemandirian dan kesejahteraan sosial ekonomi warga di sekitar bukit Tumpangpitu mendadak berubah begitu pertambangan emas bercokol di wilayah ini.

Pertama, infrastruktur publik, seperti jalan utama desa mulai banyak yang rusak. Ini dampak  aktivitas truk-truk pertambangan telah menyebabkan sebagian besar jalan desa berlubang dan rusak parah. Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan pembuangan material tanah bekas kegiatan pertambangan ke jalan-jalan desa. Dampaknya, polusi udara, suara, dan air semakin meningkat tajam.

Kedua, munculnya fenomena turunnya sekelompok hewan dari bukit Tumpangpitu ke lahan-lahan pertanian dan pemukiman warga. Turunnya beberapa jenis hewan seperti monyet dan kijang lahan pertanian warga, kemudian memberi dampak kerusakan yang cukup merugikan.

“Fenomena ini dicurigai sebagai akibat langsung dari kerusakan habitat di bukit Tumpangpitu yang telah dibabat dan dibongkar untuk aktivitas pertambangan terbuka emas oleh BSI,” ujar Rere, pegiat Walhi Jatim kepada PepNews.com.

Ketiga, terjadinya serangan penyakit cacar atas sejumlah pertanian buah naga milik warga Sumberagung. Warga menduga, serangan penyakit dipicu oleh semakin menurunya kualitas lingkungan hidup mereka karena semakin meningkatnya kegiatan pertambangan.

Keempat, terjadinya bencana banjir lumpur dari wilayah pertambangan emas ke area pesisir dan laut yang menyebabkan kawasan wisata dan area tangkapan nelayan menjadi keruh dan berlumpur. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kunjungan wisatawan di pantai Pulau Merah serta menurunnya tangkapan ikan bagi nelayan Dusun Pancer.

Rakyat harus bertarung lebih keras untuk memulihkan kondisi perekonomian yang telah mereka bangun selama ini. Jalan satu-satunya yang bisa ditempuhnya adalah membangun solidaritas dan mendapatkan dukungan untuk menolak kegiatan pertambangan yang telah mengobrak-abrik wilayah kelola rakyat ini.

Bagi rakyat yang tinggal di kawasan Bukit Tumpangpitu, kegiatan pertambangan dan usaha ekonomi rakyat adalah dua kegiatan produksi yang saling bertolak belakang. Perekonomian rakyat yang dibangun baik melalui pertanian, perikanan tangkap maupun pariwisata hanya bisa bertahan jika kondisi ekologi wilayahnya terjaga dengan baik.

Oleh karena itu, fakta-fakta dampak pertambangan yang jelas-jelas menunjukkan ancaman kerusakan ini malah semakin membulatkan tekad bagi rakyat yang tak ingin ruang hidupya terampas. Dalam keyakinan rakyat, “Tambang Harus Tumbang!”

Namun, apa daya, rakyat tidak mungkin bisa melawan perusahaan yang, konon, di belakang BSI itu duduk “gajah-gajah besar” yang punya pengaruh kuat di pemerintahan saat ini. Rakyat Pesanggaran hanya bisa menjadi penonton “akrobat ekonomi” ini.

***