Entah sudah berapa lama Dedi Kopi berdiri depan cermin. Mukanya nampak pucat, badannya gemetar. Belum pernah dia segemetar ini. Rasa percaya dirinya seolah runtuh. Dia memaki kembaran dirinya dalam cermin
"Kenapa lu mau hadir di acara sialan itu?"
Kembarannya dalam cermin menjawab, "Sumpah. Gue sangka itu acara Inilah Lawak Klub ( ILK ) nggak tahunya Inilah Lawyers Club ( ILC ) Lha kan elu yang nyopirin gue sampai ke parkiran stasiun televisi ILK, pas temen lu nelepon baru lu nyadar lu salah alamat."
"Mestinya kan lu ingetin gue. Dong …"
"Emangnya lu bisa diingetin. Entah sudah berapa kali gue ingetin lu, tapi lu nggak mau denger. Dulu gue ingetin lu jangan posting berita hoax soal putri Arab, gue tahu itu bukan putri arab, tapi artis India, lu nggak mau denger. Nah lu rasain deh habis dibully orang sekampung. Lu sok tahu, tapi banyak yang lu nggak tahu. Untung Followers lu nggak pintar-pintar amat."
"Lu mestinya kasih semangat dong… Bagaimana cara menghilangkan gemetar ini."
"Gue juga bingung. Kita sama-sama gemetar."
[irp posts="5380" name="Denny Siregar, TV One, Media Sosial dan Politik"]
Dedi Kopi menarik nafas panjang lalu menghembuskan sapanjang nafas yang ditariknya, "Hossaaaa …" Berulang-ulang. Nafasnya menimbulkan embun tipis di kaca. Kembaran dirinya nampak buram. Gemetarnya belum juga hilang.
Gemetar itu dimulai ketika pembawa acara Inilah Lawyers Club mempersilakannya bicara. Jantungnya berdegup keras. Keringat dingin. Hampir saja dia pipis di celana, tapi ditahannya sekuat tenaga. Konsentrasinya buyar. Dia bicara apa yang dia ingat saja. Apa yang dia bicarakan sebenarnya pernah dia tulis di medsos. Followersnya memuji-muji tulisannya. Dia ingin mengulang sukses pujian itu di acara ini. Tapi mengucapkan kata ternyata tidak semudah menulis rangkaian kata, tidak bisa copas sana sini, kata-kata yang sudah telanjur keluar tidak bisa direvisi. Ditambah gemetar yang semakin tak tertahankan. Lengkap sudah.
Selesai bicara, gemetarnya tidak juga surut. Lawan diskusinya menyebut pendapatnya tidak intelek. Hampir saja dia terkencing di celana. Sekuat tenaga dia menahan pipis dan berusaha mengendalikan dirinya agar tetap tenang.
Bebannya bertambah berat saat dia teringat ratusan ribu followersnya. Apa yang akan mereka katakan? Dia mulai merasa seperti dipermalukan di depan ratusan ribu penggemarnya. Sebagaimana biasa, dia mulai mencari alasan yang tepat.
Dia teringat sebelum berangkat lupa minum kopi. Kopi itu sebenarnya sudah siap saji. Masih hangat. Cuma karena saking semangatnya mau eksis di acara yang disangka Inilah Lawak Klub, dia tinggalkan kopi hangat itu sendirian di meja ruang tengah.
Dengan tangan masih gemetar, Dedi menulis status di fesbuk. "Di sini tidak ada kopi." Dia berharap penggemarnya mau memaklumi penampilannya. Kopi bagi Dedi semacam bayam bagi Popeye.
Sekarang kopi itu sudah dijajah oleh kecoa. Ada satu kecoa yang ngambang di kopi dengan badan terbalik. Ada satu kecoa yang berputar-putar di bibir cangkir. Kecoa itu terusik oleh Dedi yang duduk menghempaskan badannya di kursi. Kecoa itu memandang genit ke arah Dedi. Dedi balas menatap kecoa genit itu.
"Hei, walaupun gue lagi kacau kaya gini, nggak bakal gue jatuh ke cangkir kopi yang sama. Kasihan deh lu…" Dedi menunjuk kecoa genit yang ketakutan. Dedi memang pernah saking seriusnya menulis, minum kopi berisi kecoa hingga bibirnya jontor.
Seorang lelaki kurus, tinggi, berkumis tipis, berpeci miring tiba-tiba duduk di sampingnya. Dedi tidak mengunci pintu rumahnya. Lelaki itu sahabat Dedi. Namanya di medsos rada aneh. Abu Zaraf Al Boloti, disingkat Azab. Mengaku ustadz. Tapi penampilannya lebih mirip pelawak. Kalau sedang galau seperti sekarang, bola matanya tidak bisa diam seperti digerakan oleh alat mekanik. Berputar ke segala arah, tidak beraturan.
Seperti halnya Dedi, Azab juga dipecundangi di acara yang sama. Awalnya Azab sangat percaya diri. Berbekal data foto yang didapatnya di medsos, dia yakin bisa membuka mata jutaan pemirsa. Sebagai selebritas Medsos Dia berhayal akan naik kelas. Bukan cuma dipuji penggemarnya, tapi juga akan bikin lawannya bungkam sejuta bahasa.
Tapi lawan diskusinya mematahkan datanya dengan sekali tekuk. Tidak seperti Dedi yang gemetaran, Azab bisa mengendalikan tubuhnya, cuma dia tidak bisa mengendalikan bola matanya. Berputar liar seperti bola pinball.
[irp posts="2121" name="Hikayat Seorang Banci dan Debat soal Sholat Jum’at"]
Keduanya tidak bicara. Mereka seperti satu nasib. Seperti saudara kembar yang dilahirkan dari Rahim yang sama. Rahim media sosial yang penuh tipuan. Sekarang tipuan itu dibuka setelanjang-telanjangnya. Bukan oleh orang lain, oleh diri mereka sendiri. Mereka seperti penari telanjang yang menari di depan sekumpulan orang terhormat.
Sebenarnya keduanya bukan penampil pertama dari geng Jerami Ngambang. Sebelumnya ada Miss Lipensetip. Walaupun bicaranya sekelas pembicara di warung kopi pinggir jalan, tapi sekumpulan orang pintar di acara bergengsi itu tidak mau mendebatnya. Maklum Miss Lipensetip tergolong masih sangat muda. Mendebatnya sama saja dengan merendahkan diri.
Ada satu lagi, Jaka Geledek. Tokoh Jerami Ngambang yang dicap liberalis ini di beberapa kesempatan yang dibicarakan itu-itu saja apa pun tema diskusinya. Wajahnya selalu tegang seperti ketakutan pendapatnya akan dipatahkan lawan debatnya.
Azab menghela nafas panjang. Dia mengambil cangkir kopi berisi kopi plus kecoa ngambang. Dedi terlambat mencegah. Azab merasa ada suatu benda masuk dalam tenggorokannya. Azab memandang Dedi seolah bertanya.
Dedi menggelengkan kepalanya. "Lu baru saja minum kopi dingin campur kecoa."
Azab melotot walaupun tetap saja matanya kurang besar hingga nampak lucu ketimbang kaget. Kontan dia lari masuk ke kamar mandi. Dia berhoek-hoek sekencangnya sambil memaki-maki, berusaha mengeluarkan kecoa dalam perutnya, pekerjaan sia-sia. Bahkan Kecoa pun tak mau ketinggalan mempecundangi Azab. Suaranya sampai terdengar cukup keras sampai ke ruang tengah. Dedi Kopi mau ketawa, tapi gemetarnya menenggelamkan tawanya.
(BERSAMBUNG)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews