Penetapan Emil Dardak Berbuntut Kegaduhan Politik Antar Partai

Kamis, 30 November 2017 | 20:20 WIB
0
523
Penetapan Emil Dardak Berbuntut Kegaduhan Politik Antar Partai

Disadari atau tidak, penetapan Emil Elestianto Dardak sebagai bakal calon wakil gubernur yang mendampingi Khofifah Indar Parawansa sebagai bakal calon gubernur pada Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur 2018 telah memicu “kegaduhan”.

Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono telah menjadi “bulan-bulanan” akibat penetapan yang dilakukan Demokrat atas Khofifah-Emil Dardak sebagai pasangan bacagub-bacawagub yang diusung Partai Golkar dan Demokrat.

Apalagi, penetapan pasangan di kediaman SBY di Puri Cikeas, Kabupaten Bogor, Selasa, 21 November 2018, itu tanpa dihadiri partai pengusung dan pendukung Khofifah, seperti Golkar, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hanura.

Yang lebih tragis lagi, SBY dituding melakukan politik outsourcing atas Bupati Trenggalek yang merupakan kader PDIP itu. Inilah yang disuarakan Sekretaris Jendral DPP PDIP Hasto Kristiyanto berulangkali. Demokrat dituding membajak kader PDIP.

Mendagri Tjahjo Kumolo yang juga kader PDIP sendiri akhirnya meminta agar Emil Dardak mengundurkan diri dari jabatan Bupati Trenggalek. Tak cuma itu. Wakil Presiden Jusuf Kalla akhirnya juga menyarankan Khofifah mundur dari Kabinet Kerja.

Menurut JK, jika Khofifah sudah resmi mengikuti Pilkada Jatim 2018, maka dirinya tak bisa merangkap jabatan sebagai menteri. Sebab, tugas menteri sangat penting dan berhubungan dengan masyarakat, demi kepentingan Khofifah agar bisa fokus.

“Menteri sosial sangat penting, harus berurusan dengan masyarakat dan sebagainya, ya kalau sibuk kampanye bagaimana caranya. Ini demi Ibu Khofifah sendiri, karena supaya intensif kan,” kata JK seperti dikutip Republika.co.id. Haruskah demikian?

Politik outsourcing sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam dunia politik kita. Biasanya, hal ini terjadi karena parpol gagal  dalam pengkaderan anggotanya. Parpol akhirnya “main bajak” kader dari parpol lainnya yang sudah “jadi”. Itulah faktanya!

Contoh nyatanya adalah ketika Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang mundur dari Golkar di DPR RI untuk maju di Pilkada DKI Jakarta via Partai Gerindra besutan Prabowo Subianto yang maju sebagai bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta 2012.

Kemudian berlanjut saat Pilkada DKI Jakarta 2017 ketika akhirnya Ahok di-outsoursing oleh  PDIP bertarung melawan Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni dan Anies Baswedan – Sandiaga Uno dari parpol yang berbeda. Begitu realita politiknya!

Begitu pula pada Pilkada Banyuwangi 2015, saat akhirnya PDIP mengusung Abdullah Azwar Anas untuk periode keduanya, setelah dalam pilkada sebelumnya ia diusung oleh PKB. Itulah faktanya bahwa selama ini kaderisasi di parpol benar-benar “gagal”.

Jadi, rasanya tak sepatutnya apabila kemudian PDIP menyebut SBY telah melakukan politik outsoursing hanya karena “membajak” Emil Dardak maju sebagai bacagubnya Khofifah yang diusung Partai Golkar. Justru Emil Dardak yang melamar Demokrat.

[irp posts="4735" name="Pilihan Khofifah Atas Emil Dardak Bikin Jokowi Semakin Terpojok"]

Setidaknya, itu yang disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan. Menurutnya, hal seperti ini sudah biasa terjadi dalam perpolitikan. Itu pandangan yang keliru karena hampir semua partai-partai juga begitu,” ujar Syarief Hasan.

Mengutip media online, hal terpenting bagi Demokrat dalam memilih pemimpin itu adalah kompetensi dan integritasnya. “Jadi, bukan hanya harus kader sendiri, yang penting itu. Saya bisa menyatakan semua partai juga outsourching juga,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Syarief Hasan mengaku Emil Dardak yang mengajukan diri dengan mendaftar ke Demokrat untuk maju dalam Pilkada Jatim 2018. “Setahu saya dia yang melamar. Kalau outsourching, semua partai juga outsourching kok. Pengen tahu ya,” sindirnya.

Menurutnya, perpindahan kader dari suatu partai politik ke yang lain, seperti yang dilakukan Emil Dardak itu wajar saja terjadi. Banyak faktor yang mempengaruhinya. “Jika tak nyaman, kader pindah ke partai lain, ya wajar, hak politik masing-masing. Jadi, keliru kalau ada yang mengatakan outsourching,” ujar Syarief Hasan.

Sayangnya, Demokrat kurang cermat dan cerdas dalam menilik rekam jejak “prestasi” Emil Dardak selama 2 tahun menjabat Bupati Trenggalek. Memang, waktu dua tahun menjabat ini belum bisa menilai berhasil-tidaknya ia menjadi Bupati Trenggalek.

[irp posts="4811" name="Stigma Baru Yang Disematkan kepada SBY; Politik Outsourcing!"]

Itu jelas berbeda dengan Azwar Anas yang sudah menjabat satu periode Bupati Banyuwangi, dua tahun untuk periode kedua. Begitu pula saat Joko Widodo meninggalkan Kota Solo untuk ikut Pilkada DKI Jakarta 2012. Jokowi lebih dari satu periode di Solo.

DPC PDIP Trenggalek saja “keberatan” dengan langkah yang dilakukan Emil Dardak. Ketua DPC PDIP Trenggalek Doding Rahmadi menyebutkan syahwat politik untuk menyeberang ke kubu Khofifah diakui bakal mempengaruhi peta politik dan kekuatan yang ada.

”Kami tidak akan mundur,” tegasnya. “Bahkan, lebih solid untuk memenangkan pasangan yang dipilih Ibu Mega (Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri),” katanya kepada Tempo.co. Sikapnya yang ngotot maju itu akan menjadi catatan khusus bagi partainya.

Evaluasi menyeluruh dari DPC, DPD, dan DPP tentang hal tersebut akan dilakukan. Doding memastikan kader PDIP di akar rumput, terutama di Trenggalek dan kawasan selatan Jawa Timur, akan solid melawan Emil Dardak dalam Pilkada Jatim 2018.

Sikap tegas kader PDIP di akar rumput itu dilakukan karena PDIP dan PKB telah menetapkan pasangan Saifullah Yusuf dan Abdullah Azwar Anas sebagai bacagub-bacawagub di Pilkada Jatim 2018, pertengahan Oktober 2017 lalu di DPP PDIP Jakarta.

Menurut Doding, kepemimpinan Emil Dardak selama dua tahun di Trenggalek sebenarnya juga masih jauh dari harapan dan visi-misi. Beberapa program yang ditargetkan tuntas dalam waktu dekat juga banyak yang lolos.

Ia pun mengkritisi Bupati Trenggalek ini. “Paling mencolok di pembangunan infrastruktur,” ujarnya. Selama kepemimpinannya, Emil Dardak juga gagal menaikkan budget anggaran pembangunan infrastruktur sehingga tak bisa banyak berbuat.

Pembangunan jalur lingkar selatan dan lingkar Wilis juga tidak kunjung tampak di separuh kepemimpinannya. Karena itu, dia meminta Emil Dardak tak mencampakkan kepercayaan masyarakat Trenggalek untuk menyelesaikan tugasnya sebagai bupati.

Apa yang diharapkan Doding itu tentu saja tak berlebihan. Lain halnya dengan Azwar Anas dan Jokowi. Keduanya meninggalkan jabatan sebelumnya karena rekam jejak prestasi dalam satu periode sebelumnya sudah benar-benar nyata dan terbukti.

Itulah yang tidak dicermati oleh Demokrat yang begitu saja menerima lamaran Emil Dardak. Figur politisi muda seperti putra Hermanto Dardak ini masih punya masa depan dalam dunia politik. Akan lebih bijak jika ia bisa berprestasi di Trenggalek.

Yang perlu diantisipasi adalah jika Emil Dardak berdebat dengan Gus Ipul – Azwar Anas saat acara Debat Kandidat nanti, ia bakal kurang “menguasai” persoalan-persoalan yang dihadapi Jatim selama ini, karena kurangnya pengalaman menjabat bupati tadi.

Dan, kalau terpilih nanti, Emil Dardak justru akan menjadi “beban” bagi Khofifah ketika ia menghadapi birokrasi di bawahnya. Karena, Emil Dardak tak memiliki banyak pengalaman birokrasi dengan skala wilayah provinsi, meski bisa membaca dari buku.

Soekarwo dulu di-outsourcing oleh Demokrat (baca: SBY) karena “gagal” berebut Rekomendasi PDIP dengan almarhum Sutjipto untuk maju dalam Pilkada Jatim 2008. Saat itu Sutjipto menjabat Sekjen DPP PDIP. Nah, mengingat Soekarwo punya pengalaman birokrasi, Demokrat lalu merekrutnya.

Mengingat Soekarwo adalah kader GMNI yang berafilisasi ke PDIP, dengan tidak didapatkannya Rekomendasi untuk maju Pilkada Jatim 2008 itu, menyisakan "dendam politik". Sehingga, begitu mendapatkan peluang dalam Pilkada 2018 ini sebagai salah seorang penentu bacawagub untuk Khofifah, Soekarwo pun "mengadu" antar parpol.

[irp posts="4136" name="Soekarwo Masih Merasa Jadi “King Maker” di Pilkada Jatim 2018"]

Jabatan Sekretaris Daerah Provinsi Jatim yang dipegangnya sebelum bertarung dalam Pilkada Jatim 2008 membuatnya mudah menjalankan mesin politiknya. Bersama Gus Ipul, akhirnya Soekarwo berhasil “melibas” Khofifah dalam dua kali Pilkada Jatim.

Haruskah Khofifah mengulang kekalahannya dengan ngotot menggandeng Emil Dardak yang disodorkan oleh Soekarwo itu, sehingga Presiden Jokowi belum memutuskan apakah izin itu diberikan atau ditahan? Ataukah dia harus mengganti Emil Dardak?

Ada kalimat bijak “mengalah untuk menang”, perlu dilakukan Khofifah dan Emil Dardak. Khofifah melepas Emil Dardak, atau justru Emil Dardak yang “berkorban” demi meredam kegaduhan antar parpol yang terjadi akibat pencalonannya tersebut.

***