Guru Cabul, Pelaku Kekerasan Seksual dan Hari Guru Nasional

Senin, 27 November 2017 | 08:30 WIB
0
437
Guru Cabul, Pelaku Kekerasan Seksual dan Hari Guru Nasional

Setiap tanggal 25 November diperingati sebagai hari Guru Nasional. Sosok yang berbudi baik, menjadi teladan bagi anak muridnya. Dalam lirik lagu guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Benar, bahwa guru bak pahlawan yang memberantas kebodohan. Terlepas dari bagaimana ‘kurangnya’ sistem pendidikan di Indonesia.

Tapi, mungkin sudah susah nyari guru seperti sosok Hos Tjokroaminoto di  jaman now. Bukan berarti tidak ada, tapi kemungkinan menemukan sosok seperti guru bangsa ini bagai mencari jaarum di  tumpukan jerami.

Bukan bermaksud pesimis, tapi hasil penelitian yang disampaikan oleh MaPPI FHUI saat diskusi media terkait Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada Jumat, 24 November 2017. Dalam diskusi tersebut, Bestha Imatsan Ashila selaku peneliti di MaPPI FHUI mengatakan bahwa tahun 2017 ini kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh guru.

Jika pada 2016 pelaku paling banyak dari relasi orang yang dikenal korban, seperti orang tua kandung atau tiri, pacar, saudara, kerabat, teman, tetangga, rekan kerja, guru, atau atasan. Namun, dari kelompok orang yang dikenal ini, di 2017, guru menjadi pelaku. Mengejutkan sekaligus menyedihkan ga sih?

Itu jika dilihat dari segi relasi antara korban dengan pelaku. Tapi jika dari segi pekerjaan pelaku, 15,3 persen pekerja sektor informal, seperti sopir, petani, dan sebagainya, 12,4 persen guru, 8.4 persen adalah pegawai sekolah, yayasan, dan pesantren. Bagaimana generasi bangsa menjadi terdidik jika pendidik dan orang-orang di lingkungan pendidikan ini berpikiran cabul. Bukannya mengajarkan anak-anak untuk menjadi pemimpin bangsa, malah tindakan asusila yang diperkenalkan.

Sebenarnya banyak kasus kekerasan seksual di sekolah, namun belum lama ini seperti dilaporkan Metrotvnews.com bulan Oktober 2017 lalu ada kasus pelecehan seksual oleh guru kepada murid Sekolah Dasar.

Berawal dari korban yang  tidak membawa baju olahraga. Pelaku yang merupakan wali kelas korban, membawa lakban dan tali. Korban diikat lalu disetubuhi. Benar-benar tidak bermoral. Korban diancam akan dibunuh jika berani menceritakan kejadian tersebut kepada orangtuanya.

Masih dari data MaPPI FHUI, 83 persen korban adalah anak perempuan, dan 17 persen adalah perempuan dewasa. Sementara 100 persen korban laki-laki merupakan anak-anak. “Semua orang bisa jadi korban,” kata Bestha.

Jenis kekerasan seksual yang sering terjadi itu perkosaan, hampir 55 persen. 45 persen sisanya seperti oral dan anal seks, meraba, mencium, sodomi, pencabulan, pedofolia, eksploitasi seksual anak, prostitusi, gambar bernuansa porno yang dikirimkan pelaku kepada korban, dan bentuk lainnya.

Sementara hukum di indonesia dinilai Bestha belum bisa mengakomodir beragam kasus kekerasan yang terjadi. Hal tersebut dibenarkan oleh Veni Oktarini Siregar, Direktur LBH APIK Jakarta yang juga hadir saat diskusi media tersebut. “Korbannya banyak banget, tapi (hukumnya) tidak mengakomodir,” katanya

Bestha juga menyorot persoalan KUHP yang menyebut kekerasan seksual merupakan permasalahann asusila semata. Padahal itu menurut Bestha tergolong kejahatan manusia. Hukum di Indonesia hanya berfoksus pada bagaimana menghukum pelaku, namun lupa dengan nasib korban. “Hakim belum concern kepada korban. Padahal korban itu perlu pemulihan, restitusi, biaya psikologisnya, memang di Indonesia hukum yang  selama ini belum meperhatikan korban.”

[irp posts="3462" name="Guru dan Birokrat Sering Dimanfaatkan Para Kandidat Gubernur"]

Sehingga para pemerhati kekerasan perempuan inipun berupaya agar segera disahkannya RUU-Penghapusan Kekerasan Seksual oleh DPR RI. Menurut kabar dari Bestha, RUU-PKS ini sudah masuk prolegnas prioritas. Namun dari 152 pasal yang diajukan, hanya 55 pasal yang disepakati DPR.

“Ini berita yang cukup bagus. Harus diperjuangkan selanjutnya pasal-pasal yang diakomodir. Paling nanti dilakukan lobbying-lobbying,” terang Bestha.

Terlepas dari Undang-undang yang tengah diperjuangkan ini, tentu hasil penelitian ini semakin memperburuk citra guru selaku tenaga pendiidik. Jika Hos Tjokroaminoto masih ada sekarang, Ia pastilah malu melihat profesi guru yang semulia itu malah dijadikan bak kesempatan untuk mengeksploitasi seksual anak-anak muridnya. Mau jadi apa negeri ini?

Tentu ucapan ‘Selamat Hari Guru’ bukan buat mereka yang bejat. Sebab guru merupakan panggilan hati bukan hanya sekadar profesi.

***