Setelah "Walk Out" di Jakarta, Ananda Sukarlan "Walk In" di Jogja

Minggu, 26 November 2017 | 09:50 WIB
0
477
Setelah "Walk Out" di Jakarta, Ananda Sukarlan "Walk In" di Jogja

 

Judul di atas rada keminggris, sekedar sebagai antitesis "heboh" walk-out Ananda Sukarlan (AS) beberapa minggu sebelumnya. Heboh tersebut, menurut pelakunya sendiri terlalu dibesar-besarkan. Menurut adab dan kebiasaan yang ada dalam budaya Barat, dalam acara publik apapun itu, "walk-out" adalah hal biasa.

Tersebab, bisa banyak hal: merasa bosan, bête, atau memang sejujurnya tidak tertarik atau menunjukkan sikap kurang simpati. Selama “sikap” itu tidak provokatif apalagi menganggu acara, hal tersebut adalah wajar.

Yang menjadikannya tidak wajar dalam kasus itu, tentu reaksi pro-kontra di ranah publik yang memang saat ini selalu dalam frame-work “gila kasus”. Senang memperdebatkan lalu membentur-benturkan banyak hal lepas dari teks dan konteksnya.

Lain daripada itu, selama hari Minggu-Selasa lalu, pianis berkelas dunia ini melakukan kunjungan untuk banyak hal bermisi dialog budaya. Yang menunjukkan, sekali lagi kelasnya, ia tidak lagi mentog terpesona dengan kultur Barat yang selama ini menjadi latar belakang akademisnya. Tetapi bergerak tanpa henti mencari tahu, berkelana mengeksplorasi akar-akar budaya lokal yang menjadi inspirasinya dalam bermusik.

Ia berkeliling ke seluruh penjuru Nusantara, nyinauni (belajar), ngopeni (merawat), dan lalu menduniakan lagu-lagu dari berbagai etnis maupun karya komponis lokal sepenjuru Indonesia.

[irp posts="3928" name="Ananda Yang Mengaku Sudah Move On" dan Kesaksian Seorang Peserta"]

Di Taman Siswa, AS mendapat informasi dan realitas baru bahwa Ki Hajar Dewantara (KHD), yang selama ini hanya dikenal sebagai wartawan kritis, politikus ulung, dan kemudian lebih suntuk sebagai tokoh pendidikan nasional, ternyata juga seorang komponis yang sejak awal mudanya sangat menguasai notasi pentatonis Barat. Ia sejak sangat belia, telah menguasai notasi not balok dan mahir memainkan piano.

Satu hal yang luput dari catatan sejarah, Ki Hajar Dewantoro-lah mungkin orang yang pertama melakukan pertunjukan piano klasik di tahun 1922 di Negeri Belanda. Bahkan, kali pertama pula sebuah tembang Jawa, dimainkan dan digubah dalam komposisi musik Barat!

Tembang Kinanti Sandoong (karya pupuh Sri Mangkoenegoro VI) inilah yang menjadi perhatiannya, dan setelah membaca dan mendengarkannya secara langsung. Ia pun memberikan pengakuan, keindahan komposisi tersebut, bahkan meyakinkan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi lebih orkestratik. Mudah-mudahan ia berkesempatan (sekali lagi) mengkreasikan ulang dan mempertunjukkan karya besar ini di tahun depan.

[irp posts="3948" name="Memahami Ananda Sukarlan dari Kacamata Orang Jawa"]

[caption id="attachment_4652" align="alignright" width="448"] Ki Hajar Dewantoro[/caption]

Di Taman Siswa pula, kita bersama menjadi paham bahwa perguruan domestik ini telah lama memiliki kesadaran untuk tidak sekedar menanamkan pengetahuan pelajaran formal, tetapi terutama membekali anak sejak dini dngan kepekaan bermusik, dengan apa yang disebut Sari-Swara, di mana ada penggabungan pelajaran-pelajaran lagu, sastra dan cerita.

Dalam proses pembelajaran, anak-anak dibiasakan menggambar, menyanyi, berbaris, bermain, membuat pekerjaan tangan secara bebas dan teratur. Berbeda dengan kurikulum saat ini yang cenderung hapalan dan dogmatis. Metode ini, ditemukan oleh KHD jauh sebelum metode kurikulum di Barat secara luas menggunakannya.

Di beberapa negara dengan metode pembelajaran yang lebih maju, mendapat pelajaran bermusik hingga memungkinkan setiap anak mengenal not-balok sejak dini dan mampu memainkan minimal satu jenis alat musik.

Hal ini menjadi sangat beda dengan kondisi muthakir pendidikan di Indonesia yang cenderung menekankan pendidikan berciri agamis. Sehingga seorang dengan kemampuan menghapal kitab suci tertentu, saat ini dihargai sedemikian tinggi. Absurditas, yang kadang dipahami sebagai perubahan selera dan trend yang melenceng dan tidak linier dalam memajukan dunia pendidikan yang berkarakter..

[caption id="attachment_4653" align="alignleft" width="488"]

Ismail Marzuki (Foto: Tirto.id)[/caption]

DI ISI Jogja, rupanya AS melakukan workshop dengan empat musisi Jepang dan menjadi mentor beberapa mahasiswa ISI. Dan hasilnya dipertunjukkan dalam sebuah konser pada Selasa malam.

Bagi saya ini tentu saja sebuah pertunjukan yang sangat istimewa, yang kadang bagi saya sendiri terkadang terasa "ajaib dan mewah" betul. Bagaimana mungkin, pertemuan musisi-musisi besar kelas dunia dapat dinikmati secara cuma-cuma di halaman belakang rumah.

Dua repertoar yang dimainkan sebuah karya Schumann dan karya Ananda Sukarlan sendiri berjudul Annanolli's Sky. Annanolli semula saya pikir adalah nama tempat, ternyata merujuk seorang senirupawan Finlandia bernama Tero Annanolli. AS terinspirasi dari seluruh karya Tero yang memiliki karakteristik yang sangat kuat dari caranya melukis langit.

Karya benuansa romantik ini diaransemen untuk pertunjukan piano dan string kuartet yang memang sangat cocok untuk pertunjukan malam itu. Bagi saya ini trend yang akhir-akhir ini juga banyak dilakukannya.

Terakhir ia juga membuat komposisi berdasarkan “terjemahan” lukisan berjudul “Kegelapan” karya Kukuh Nuswantoro yang merupakan pemenang UOB Painting of the Year 2017 Indonesia Award. Karya musik ini kemudian dijuduli "Communication Breakdown", sebuah cara ucap dan bentuk komunikasi baru antara format lukisan atau visual art yang dipahaminya menggunakan ruang (space), dengan musik yang lebih menekankan pada waktu (time).

Hal yang istimewa pada pertunjukan malam itu adalah dibocorkannya karya terbarunya berjudul I Wish Pavarotti Had Met Marzuki.

[irp posts="3853" name="Antara Gubernur Anies Baswedan dan Komponis Ananda Sukarlan"]

Sebenarnya karya ini baru akan dipertontonkan pertama kali pada konser Pavarotti Forever di Ciputra Artpreneur Theatre, Jakarta Selatan pada hari Minggu 26 November 2017. Karya ini ditujukan untuk mengenang 10 Tahun wafatnya Luciano Pavarotti, yang selama hidupnya belum pernah berkesempatan mengunjungi Indonesia.

[caption id="attachment_4654" align="alignright" width="529"]

Luciano Pavarotti (Foto: Spotify)[/caption]

Lewat komposisi ini, ia mencoba membayangkan seandainya Pavarotti berkesempatan bertemu dengan Ismail Marzuki, komponis nasional yang sangat dikaguminya itu. Dengan mengambil nyawa harmoni dalam komposisi "Nessun Dorma" karya Giacomo Puccini yang dipopulerkan Pavarotti, lalu meramunya dengan komposisi ciptaan Ismail Marzuki berjudul "Melati di Tapal Batas". Sebuah persenyawaan yang sangat indah dinikmati.

Sayangnya acara sepenting dan sebesar ini (bahkan untuk ukuran Jogja sekalipun) tidak dipublikasikan secara luas dan bagus. Bahkan cukup mengherankan, MC acara malam itu beberapa kali mengingatkan dan melarang penonton merekam pertunjukan itu dalam bentuk audio-visual apapun.

Hari gini, sebuah repertoar kelas dunia tanpa promosi dan publikasi? Gak boleh sharing, huh!

***