Banyak orang yang tidak tahu sebenarnya yang disebut Malioboro di kota Jogja itu tidaklah sepanjang yang orang duga. Banyak anggapan bahwa jalan ini membentang dari Tugu hingga depan Kraton. Salah! Realitasnya, sepanjang Tugu hingga Kraton, sejak lama terdiri dari empat nama jalan yang berbeda, dan Malioboro sebenarnya adalah jalan yang paling pendek.
Bisa dikatakan jalan protokol terpendek di dunia malah, paling panjang sekira 300 meter saja, karena ia hanya membentang sepanjang rel KA Tugu hingga pertigaan Jalan Perwakilan. Nama ini tetap sejak semula tidak pernah berubah. Sedangkan jalan dari Tugu hingga stasiun, nama aslinya adalah Jalan Margoutomo. Dulu sempat diganti dengan nama Jalan Mangkubumi, namun belakangan dikembalikan ke nama aslinya.
Antara Jalan Malioboro sampai titik nol, sempat bernama Jalan A. Yani, lalu dikembalikan ke nama aslinya jadi Jalan Margomulyo. Pun demikian antara titik nol hingga Kraton yang sebelumnya bernama Jalan Trikora, dikembalikan ke nama aslinya Jalan Pangurakan.
Dan saya setuju saja, bila nama-nama jalan-jalan di kawasan lainnya dikembalikan semua menjadi nama aslinya. Toh, dulu ketika nama-nama lokal itu diganti dengan nama-nama pahlawan nasional, itu hanya ikut-ikutan trend di tingkat nasional pada masa Orde Baru saja.
Penggantian itu, dilakukan konon sebagai reaksi atas ontran-ontran yang dilakukan Orde SBY, saat ada upaya penghapusan ke-istimewa-an Yogyakarta yang terjadi beberapa saat lalu. Dalam hal ini, SBY hanya alat, konon kelompok Amien Rais-lah yang dianggap sebagai aktor intelektual di belakangnya. You know why, kenapa figur ini sedemikian dibenci di tempat tinggalnya sendiri?
Dari keempat nama jalan itu, hanya Malioboro-lah yang memiliki penafsiran makna atau arti yang tidak tunggal. Margo Utomo (jalan utama, maksudnya sih lebih kepada filosofi mendekatkan diri pada Tuhan), Margo Mulyo (jalan kemuliaan, minimal memiliki nama baik untuk dikenang), sedangkan Pangurakan berasal dari kata urak, urakan.
Ini anehnya orang Jawa, mereka justru menganggap sikap orang urakan adalah derajat tertinggi, bentuk kedekatan manusia dengan Tuhan. Hingga mereka berani menantang Rajanya, dengan laku pepe misalnya. Di alun-alun inilah, konon semua derajat manusia dikembalikan menjadi sama.
[caption id="attachment_4053" align="alignleft" width="545"] Hotel & Spa Malioboro[/caption]
Nah makna Malioboro ini yang debateble. Ia bisa bermakna banyak, tergantung orang menafsirkannya. Konon menurut bahasa Sansekerta ia berasal dari kata Malyabhara yang artinya "karangan bunga". Orang Kaili memaknainya sebagai jalannya wong cilik. Sedang orang Barat cenderung itu penjawaan dari kata Marlborough ini sejalan dengan nama Benteng di Bengkulu.
Saya sendiri, lebih suka pada arti aslinya dalam bahasa Jawa ngoko: malio (berubahlah) boro (merantau). Jadi orang kalau ingin maju merantaulah. Ini sedikit nyambung dengan dua jalan di utara dan selatannya, ia bermakna melulu duniawi.
Jadi bila hari-hari ini Malioboro jadi nama hotel di Mangga Besar, Jakarta yang konon jadi pusat sarangnya PSK dari negara-negara pecahan Rusia bekerja, ya, walau tetep saya malu, tak anggap kurang ajar dan merasa jengkel bener, tapi ada benarnya bila melihat makna namanya.
Mereka yang bekerja di sana, juga orang-orang yang berusaha mengubah nasibnya dengan jauh merantau dari tanah kelahirannya. Termasuk mencoba mengubah nasib seorang perempuan Uzbekh yang akhirnya pernah jadi rebutan antara germo-nya dan seorang pakar IT (yang sialnya) lulusan perguruan tinggi terhormat relijiyes yang bernama Institut Tek.... ah, sudahlah.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews