Mungkin Cak Nun "Kesel"

Kamis, 16 November 2017 | 04:00 WIB
0
1963
Mungkin Cak Nun "Kesel"

Tentu saja, saya tak punya pretensi sedikitpun untuk membela Cak Nun, Emha Ainun Nadjib, yang sedang kena "giliran" kesandung salah ucap, yang karenanya membuat warga Nahdliyin marah dan merasa difitnah. Dengan tak ada konfirmasi balik darinya, saya berpikir belionya sudah ngrumangsani, merasa kalau pernyataannya itu minimal kurang tepat diucapkan untuk menyindir bagaimanapun lembaga yang ikut membesarkannya.

Pertama, ia juga berasal dari Jombang, kedua ia juga pernah mesantren di PP Gontor. Walau kemudian, lebih dikenal sebagai alumnus SMA Muhammadiyah 1 (Muhi). Ia sendiri merupakan figur yang dekat dengan kedua lembaga besar tersebut, dan belakangan inginnya dekat dengan semua ormas Islam apapun termasuk HTI di dalamnya.

Untuk apa membelai Cak Nun. Ia adalah manusia yang mungkin paling multi-talented dan mutipredikat melebihi siapa pun di Indonesia. Mungkin satu-satunya bidang kerja yang belum disentuhnya hanya menjadi tentara dan PNS saja.

Banyak yang tidak tahu, jauh sebelum Photoshop di Indonesia populer, ia adalah kelompok pertama yang mempelajarinya hanya berbekal program bajakan. Belajar sendiri hingga mahir, hingga bisa mengajarkan ilmunya kepada teman-temannya. Pengaruhnya cukup besar, terutama membuat desain cover buku,juga kaset, poster, undangan, di Jogja sangat unik dan menarik.

Pada gilirannya ini menjadikan Jogja menjadi sentra penerbitan dan percetakan paling kuat di Indonesia. Perusahaan kelas gurem, menengah, hingga besar bisa hidup berdampingan. Konon kalau mencari desain dan percetakan murah tapi bermutu tinggi, pergilah ke Jogja.

[irp posts="2680" name="Beda Menjadi Menteri Era Soeharto dengan Presiden RI Setelahnya"]

Nama Cak Nun, bisa di catat nyaris di semua bidang seni dan budaya: sastrawan, teaterawan, musikus. Karya tulisnya nyaris menyentuh semua hal yang bisa disentuh politik, sosial, ekonomi, agama, bahkan ia juga pengamat sepakbola yang baik. Pada masanya, ia adalah kolumnis tanpa tanding. Yang daripadanya, ia berhasil meng-haji-kan nyaris semua keluarga besar dan kerabatnya. Ia berjanji tidak akan menjadi "haji" sebelum nadzar itu terbayar. Dan lunas!

Titik balik Cak Nun terjadi manakala peristiwa Reformasi 1998, saat ia menjadi tokoh yang menuntut mundurnya Pak Harto. Bedanya, ketika usahanya berhasil ia justru "dianggap" membela balik Pak Harto. Ia merasa bahwa rekan seperjuangannya telah memperlakukan Pak Harto tidak sebagaimana layaknya seorang Presiden yang bagaimanapun juga punya banyak jasa.

Di luar dugaan, rupanya peristiwa ini "natu" betul, melukai perasaannya secara mendalam. Ia memutuskan menarik diri dan tak ingin terlibat lagi dalam politik praktis.

Sejak itu, ia memutuskan untuk merawat wong cilik dengan melakukan aktivitas dakwah dengan Kelompok Gamelan Kiai Kanjeng-nya. Setelahnya, mungkin tidak ada kelompok pengajian seaktif dan sekonsisten dirinya.

Ia melakukan pengajian secara rutin di banyak kota dengan nama yang aneh-aneh: misalnya Pengajian Padang Bulan di Jombang, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Kenduri Cinta di Jakarta, Bangbang Wetan di Semarang, dan lain-lain. Itu dilakukannya nyaris tanpa putus sekira awal 2000-an. Di sela-sela waktu rutinnya itu, tentu ia menerima undangan di daerah lain di sekujur Indonesia bahkan hingga Amerika dan Inggris.

[irp posts="2235" name="Membungkam Aktivis, Benarkah Jokowi Mulai Meniru Soeharto?"]

Bayangkan saja, apa gak "kesel"? Kesel disini bisa dimaknai capek (dalam bahasa Jawa), tapi juga jengkel dengan suasana di luar dirinya. Menurutnya, sejak SBY berlalu dan Jokowi naik, kondisi gak berubah lebih baik.

Sebagaimana diketahui pandangan Cak Nun, sebagaimana 'trend orang pintar" saat ini adalah negatif. Ia terus saja mengkritik Jokowi, dan yang dikritik ndableg saja. Dalam hal ini, ia termasuk kaum Salawi (=Semua Salah Jokowi).

Bila ingin memahami betapa Cak Nun sudah capek, bacalah kolom mingguan-nya di KR (dalam hal ini menggantikan posisi guru ngabudayan-nya: Pak Kayam, setelah sebelumnya juga secara gagal juga dilakukan oleh Pak Darmanto dan Pak Bakdi). Tidak menggigit, hambar, dan jelas sekali menunjukkan ia makin lelah.

Sampean wis "lelaku kakehan". Ngasolah sakwetara, Cak!

***