Antara Gubernur Anies Baswedan dan Komponis Ananda Sukarlan

Senin, 13 November 2017 | 13:07 WIB
0
788
Antara Gubernur Anies Baswedan dan Komponis Ananda Sukarlan

Coba googling menggunakan katakunci "Ananda Sukarlan dan Anies Baswedan", tidak ada berita terbaru di media massa atau jejak keriuhan paling anyar di media sosial yang menautkan kedua manusia berbeda profesi ini, kecuali sebuah "press release". Ananda seorang pianis sekaligus komponis ternama, Anies seorang gubernur DKI Jakarta yang juga punya nama.

Tetapi, di jagat Kolese Kanisius yang memperingati 90 tahun keberadaannya, Sabtu 11 November 2017 malam, kedua nama ini sedang ramai dibicarakan kalau tidak mau dikatakan dipergunjingkan. Apa pasal?

PepNews.com menerima tag melalui Facebook berupa "siaran pers" yang mengabarkan adanya kehebohan di jagat Kolese Kanisius itu. Agar menjadi terang duduk persoalannya, di bawah ini "siaran pers" yang ditayangkan kembali seutuhnya;

Jakarta Pusat, Minggu 12 November 2017, dalam rangka memperingati 90 tahun berdirinya Kolese Kanisius, sekolah yang konsisten sampai sekarang hanya untuk laki-laki yang bertempat di Menteng Raya ini untuk pertama kalinya memberikan Penghargaan Kanisius ke 5 alumni dari berbagai generasi. 5 alumni ini tersaring dari 95 finalis yang menjadi kandidat. Mereka adalah Ananda Sukarlan (komponis & pianis), Derianto Kusuma (pendiri Traveloka), Romo Magnis Suseno (tokoh Jesuit), Irwan Ismaun Soenggono (tokoh pembina Pramuka) dan Dr. Boenjamin Setiawan (pendiri Kalbe Farma).

Hadir dan memberi pidato pembuka di acara akbar di JIFest yang dihadiri oleh ribuan alumni Kanisius kemarin, Sabtu 11 November ini adalah gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Saat ia memberi pidato, Ananda Sukarlan berdiri dari kursi VIPnya dan walk out menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap pidato Anies. Aksi ini kemudian diikuti oleh ratusan alumni dan anggota hadirin lainnya. Setelah memberikan pidatonya yang disambut dengan dingin oleh hadirin yang tinggal, Anies Baswedan meninggalkan tempat. Hadirin yang tadinya walk out pun memasuki ruangan kembali.

Saat pemberian penghargaan kepada 5 tokoh ini, Ananda mendapat giliran untuk pidato selama 10 menit. Di pidato itu setelah ia mengucapkan terimakasih, ia juga mengkritik panitya penyelenggara. "Anda telah mengundang seseorang dengan nilai-nilai serta integritas yang bertentangan dengan apa yang telah diajarkan kepada kami. Walaupun anda mungkin harus mengundangnya karena jabatannya, tapi next time kita harus melihat juga orangnya. Ia mendapatkan jabatannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Kanisius. Ini saya tidak ngomong politik, ini soal hati nurani dan nilai kemanusiaan", katanya.

Setelah turun dari panggung, Ananda disalami dan mendapat pujian dari para nominator penerima penghargaan tsb, antara lain mantan menteri Ir. Sarwono Kusumaatmaja dan Pater E. Baskoro Poedjinoegroho S.J., Kepala SMA Kanisius.

Inti dari kehebohan di jagat Kolese Kanisius itu adalah penolakan atas kehadiran Anies Baswedan selaku gubernur DKI Jakarta yang tentu saja atas itikad baiknya telah bersedia memenuhi undangan panitia saat menyampaikan sambutannya.

Ada pula kata kunci lainnya seperti  "nilai-nilai" dan "integritas" yang tersemat pada "siaran pers" yang kini tersebar di Facebook itu.

Ini sekadar persoalan etiquette (sopan-santun) bukan sesuatu yang dianggap lebih dalam; etika, misalnya. Publik boleh mengatakan Ananda Sukarlan sebagai musisi yang tentu terpelajar tidak selayaknya mempermalukan seseorang, apalagi dia seorang gubernur, secara demonstratif di atas panggung. Meski tidak ada urusan politik, sebagaimana dikatakan Ananda sendiri, tetap saja sebagian publik lainnya melihat ini bagian politik juga karena berupaya mempolitisasi panggung untuk mempermalukan seseorang, dalam hal ini Anies Baswedan.

Anies juga bukan "anak kemarin sore" dalam urusan politik dan "bernegara" untuk menyatakan dirinya hadir atau tidak di acara tersebut. Ia hadir atas kapasitasnya selaku gubernur DKI Jakarta, jabatan yang kini melekat sampai lima tahun ke depan sesuai Undang-undang. Sementara panitia penyelenggara acara juga mengundang Anies atas kapasitasnya selaku gubernur DKI Jakarta, bukan karena Anies perseorangan.

Jadi, Anies hadir di acara itu bukan sebagai "penyusup", melainkan sebagai tamu undangan terhormat. Dalam kondisi normal, selayaknya tamu undangan terhormat juga diperlakukan secara terhormat.

[caption id="attachment_3855" align="alignleft" width="578"] Ananda Sukarlan (Foto: Goddnewsfromindonesia.com)[/caption]

Lalu mengapa Anies diperlakukan secara tidak hormat, bahkan terkesan dipermalukan, saat posisinya adalah sebagai tamu terhormat?

Kaitannya lagi-lagi soal Pilkada DKI Jakarta yang belum usai. Ibarat api dalam sekam, ia masih menyimpan bara yang belum padam. Mengapa belum padam, karena ada sebagian warga DKI Jakarta yang belum bisa menerima cara kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang mereka gambarkan sebagai "dengan segala cara", termasuk menggunakan isu SARA yang sensitif.

Ananda Sukarlan dan hadirin yang meninggalkan acara saat Anies berpidato tentulah bukan golongan warga Jakarta yang 58 persen, warga yang menjatuhkan pilihan pada pasangan Anies-Sandiaga. Mereka adalah warga yang pada saat Pilkada memilih pasangan yang kalah, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan pasangannya Djarot Saiful Hidayat. Kekecewaan merembet meski Pilkada telah berlalu. Post festum, di saat pesta sudah berakhir, remah-remahnya masih tersisa.

Apa yang dilakukan Ananda Sukarlan adalah penolakan. Pada titik ini, mungkin komponis itu ingin mengingatkan Anies, atau "memaksa" Anies merasakan perasaan yang sama saat Ahok diusir dan ditolak di sejumlah tempat saat melakukan kampanye, juga Djarot yang diusir warga karena sholat Jumat di sebuah masjid. Ahok dan Djarot sama-sama dipermalukan, ditolak, dan bahkan diusir!

Boleh jadi hati Ahok dan Djarot tidak terlalu sakit serta terluka sebagaimana yang diterima Anies. Pasalnya, pada masa lalu konteksnya kampanye Pilkada yang sarat rivalitas, menggunakan berbagai cara, bahkan memperbolehkan masjid digunakan sebagai ajang kampanye untuk menolak seorang calon dengan dalil agama. Selain penolakan salat di masjid, yang tak kalah mengerikannya adalah penolakan menyalatkan jenazah jika anggota keluarga yang berduka memilih calon tertentu, siapa lagi kalau bukan memilih Ahok-Djarot.

Anies boleh jadi akan jauh lebih sakit hati di mana penolakan atas kehadirannya itu terjadi di saat ia telah terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta, sebuah jabatan prestisius yang disebutnya sendiri sebagai "RI 3", yang seharusnya mendapat penghormatan, bukan pengusiran atau penolakan. Bayangkan, Anies akan dibayangi ketakutan pengusiran dan penolakan serupa secara tidak terduga untuk lima tahun ke depan di saat rivalitas sudah tidak ada!

Anies adalah seorng doktor politik yang paham betul mengendalikan suasana "chaos" semacam yang terjadi pada acara Kolese Kanisius itu. Ia juga paham jargon politik yang mengatakan "seseorang yang meraih kekuasaan dengan pedang, ia akan mempertahan kekuasaannya dengan pedang juga". Sebagai seorang terpelajar dan profesional, Ananda juga paham "ayat" politik ini.

Semoga di mata Ananda Sukarlan, Anies bukan meraih kekuasaan dengan SARA dan mempertahankan kekuasaannya dengan SARA pula, tetapi apa yang didapatkannya itu benar-benar amanah dan semata-mata untuk kebaikan warga Jakarta. Dalam demokrasi, selisih satu suara saja adalah kemenangan yang harus dihormati. Apalagi ini kemenangan 58 persen melawan sisanya yang 42, sebuah selisih yang tidak sekedar satu.

Kuncinya, Anies dan juga Sandiaga harus meraih simpati semua warga Jakarta dengan cara kerja dan hasil kerja nyata. Keduanya bisa berkaca kepada Joko Widodo yang babak belur di Jawa Barat saat Pilpres 2014, tetapi tiga tahun kemudian elektabilitas Jokowi di Jawa Barat melampaui pesaing beratnya, Prabowo Subianto.

Kunci melunaknya hati warga Jawa Barat tidak lain karena melihat kerja dan hasil kerja nyata Jokowi itu.

Anies, Sandiaga, kalian berdua seharusnya juga bisa melakukannya di Jakarta.

Semoga.

***