80 Tahun Dedikasi LK Ara untuk Kebudayaan Indonesia

Senin, 13 November 2017 | 05:50 WIB
0
588
80 Tahun Dedikasi LK Ara untuk Kebudayaan Indonesia

Suara perempuan itu melengking, jatuh pada meja-meja tamu yang begitu hening dengan mata terkesima ke arah panggung. Asonansinya meliuk, dingin bagai danau tawar menerbangkan aroma gunung dari dataran tinggi Gayo yang pekat.

Sedangkan seorang pria, dengan mata menerawang ke atas dan tangan yang dimainkan, menarik semua magnet dari suara perempuan di sampingnya ke dalam dirinya, seolah gemuruh laut yang dijinakkan dengan begitu lihai dan setenang rintik hujan, lantas lahir lah puisi-puisi.

Di taman embun menyiram cinta 

Setiap hari

Di taman matahari menyiram cahaya Setiap pagi

Burung mengirim nyanyian 

Setiap pagi

Dan kau mengapa risau 

Setiap pagi

Aku takut

Setiap pagi

Tak bisa memberikan apa-apa

Setiap pagi

Lihatlah

Tubuhku tua

Rantingku kering

Daunku gugur

Setiap hari

Aku ikhlas

Daunku gugur

Setiap hari

Aku lebih takut

Ketika kelak menyerahkan

Bungkusan kepada-Nya

Kosong dari amal

Dihapus ria

Dari arah depan, tepuk tangan para penyair yang disuguhi puisi berjudul "Takut" diiring Sebuku itu menambah suasana akrab. Undangan saling melirik dengan wajah sumrigah dan penuh. Kemudian, para hadirin pun satu persatu maju, meninggalkan 'Jejak Kata' di tempat yang cerah dengan terang lampu dan aroma rempah Mie Aceh yang menggiurkan.

Perempuan itu adalah Ine Hidayah, istri budayawan dan sastrawan LK. Ara yang tengah menemani suaminya membaca puisi dengan diiringi Sebuku -sebuah tradisi ratapan di Gayo, Aceh Tengah yang berkembang menjadi kegiatan seni -di Boulevard Caffe Aceh, Jalan Fachrudin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu, 12 November 2017.

Lelaki itu lahir di Takengon, Aceh,  12 November 1937, adalah budayawan dan sastrawan lintas generasi. Tadi, dia tengah merayakan hari lahirnya yang ke-80 tahun dengan meluncurkan sebuah buku Jejak Kata yang menghimpun 83 puisi yang didekasikan untuknya dari penyair di Indonesia.

Sederet penyair turut hadir dalam acara Malam Sastra Aceh seperti D Zawawi Imron, Rida K Liamsi, Ahmadun Yosi Herfanda, Bambang Widiatmoko, Eka Budianta, Rizaldi Siagian, Fikar W Eda, Zulfaisal Putra, Wayan Jengki Sunarta, Dedy Tri Riyadi, Deni Kurnia, Sulaiman Juned, Sulaiman Tripa, Syarifuddin Arifin, Teuku Ahmad Dadek, J Kamal Farza, Nurdin F Joes, Pilo Poly, dan lain-lain.

Diselingi, baca puisi, dan testimoni dari para sahabat dan keluarga, acara sederhana itu memberi poin yang sangat bermakna. Bagaimana tidak, selama 80 tahun lebih, LK. Ara menjadi penulis yang begitu produktif.

LK. Ara Pernah menjadi redaktur budaya Harian Mimbar Umum (Medan), Pegawai Sekretariat Negara. Terakhir, dia bekerja di Balai Pustaka hingga pensiun (1963-1985).

Ia juga salah satu pendiri Teater Balai Pustaka pada tahun 1967 bersama K. Usman, Rusman Setiasumarga, dan M. Taslim Ali. Pernah melakukan pementasan di kota-kota besar di Indonesia untuk memperkenalkan salah satu penyair Tradisional Gayo, To'et.

Selain fokus menulis puisi, LK. Ara juga menulis cerita anak-anak dan artikel seni dan sastra, yang dipublikasikan di koran-koran dan majalah Indonesia hingga ke Malaysia, dan Brunai Darussalam.

Salah satu sastrawan dan kritikus sastra Korrie Layun Lampan pernah menyinggung LK. Ara dalam artikelnya yang berjudul "Membaca Aceh dalam Sastra Indonesia" yang terbit di Serambi Indonesia pada 24 November 2013.

Korrie menyebutkan, LK. Ara adalah sastrawan yang mampu menyeimbangkan dua dunia dalam puisinya. Dunia puisi yang dibangun oleh LK. Ara adalah dunia iman yang kuat.

"Sastrawan ini lebih banyak berorientasi dengan dunia religius sehingga sajak-sajak yang lahir merupakan puitisasi dari Alqur'an dan pendalaman terhadap tema ketuhanan," tulis dia.

Ia memang 'orang tua' dengan semangat yang begitu muda dalam menulis. Menghadiri banyak kegiatan literasi adalah jadwal baginya untuk tetap mampu berpikir dan memaknai hidupnya.

Malam ini, tepat pukul 12:00 saat jam berdering kuat dan hari serta angka tanggal berubah menjadi Minggu, 12 Oktober 2017, LK. Ara akan sungguh 80 tahun. Waktu yang begitu panjang untuk segala dedikasi kebudayaan yang telah dilakukannya.

Untuk itu, perkenankan mendoakan kesehatan dia (Ayah LK. Ara) dengan mengutip sebuah pantun yang ditulis oleh pemantun dari Bangka Belitung, Kario.

Kain katun dari kelatan,

Mari dilipat kain Bengkulu.

80 tahun hidup dirasakan,

Semoga sehat dan sukses selalu.

Mengapresiasi kegiatan sastra

Ia berwajah putih, tinggi dengan hidung mancung dan rambut yang rapi. Wajahnya ceria saat para undangan sudah berhadir dan mengisi kursi kosong. Ia ramah dan memiliki wajah pebisnis yang kuat, karakter interaktif terhadap lawan bicara.

Namanya Teuku Nausa, owner Boulevard Aceh Caffe yang secara intens dalam dua tahun terakhir giat memberikan ruang di tempatnya untuk digunakan sebagai tempat pagelaran acara literasi. Tercatat, banyak kegiatan yang sudah dilaksanakan di tempat itu.

Menurutnya, hal itu adalah cara dirinya untuk memberikan apresiasi terhadap dunia kesenian dan kebudayaan yang ada di Jakarta. Bahkan, kata dia, tempatnya juga terbuka untuk segala kegiatan positif lainnya.

"Ini adalah bagian apreasiasi saya untuk para seniman di Jakarta. Dan tentunya saya berterima kasih kepada panitia yang telah mengadakan kegiatan ini. Insya Allah, saya secara pribadi akan mendung kegiatan apapun dan akan kita support untuk mengangkat nama para seniman dan budayawan," kata dia.

Dia mengatakan, sebagai tempat yang ada di ibukota, Boulevard Caffe Aceh juga terbuka untuk semua komunitas. Di sini, katanya, dia akan memberikan panggung tak saja kepada seniman dan budayawan. Namun juga untuk kegiatan lainnya seperti kegiatan sosial. "Akan kita dukung, baik secara fasilitas dan diskon harga," kata dia.

***