Lelah Mengambang Terus, Wajar Demokrat Merapat ke Pemerintah

Kamis, 2 November 2017 | 10:24 WIB
0
441
Lelah Mengambang Terus, Wajar Demokrat Merapat ke Pemerintah

Pertemuan paling mutakhir antara Presiden Joko Widodo dengan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dimaknai secara beragam. Diperkuat dengan pernyataan politis SBY pada milad partai yang didirikannya, yaitu Partai Demokrat, spekulasi maupun pro-kontra berkembang bagai bunga di musim semi.

Kalau sekadar pertemuan kangen-kangenan tentu tidaklah, karena selama ini hubungan keduanya anyep-anyep saja. Bahkan dalam beberapa kasus seperti bersitegang, tidak pernah akur, sampai ke taraf "ledek-ledekkan" terkait proyek yang mangkrak di era SBY. Tetapi yang jelas, pertemuan kedua orang terkemuka ini memancarkan berbagai sinyal yang siap ditangkap berbagai pandangan dan spekulasi.

[caption id="attachment_3435" align="alignleft" width="547"] Jokowi dan SBY (Foto: Viva.co.id)[/caption]

Sinyal pertama ditangkap sebagai merapatnya Partai Demokrat ke Pemerintah Presiden Jokowi, bergabung bersama partai-partai pendukungnya, meski Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Didi Irawadi sebagaimana tersiar di berita online memastikan bahwa Demokrat masih berada di posisi penyeimbang.

Artinya, Didi menyangkal SBY merapat ke Jokowi, meski diembel-embeli maksud pesan SBY kepada Jokowi untuk mengawal pemerintah adalah mendukung semua program-program yang baik, yang berpihak pada rakyat. "Sebaliknya (Partai Demokrat) akan mengkritisi dan menentang semua hal-hal yang tidak berpihak pada rakyat," katanya.

Segendang sepenarian, bos Diri, yaitu Wakil ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan memastikan, Partai Demokrat tidak akan bergabung dengan pemerintah. Menurut dia, pesan SBY dalam peringatan HUT ke-16 partai yang didirikan SBY itu misalnya, adalah untuk membantu pemerintah jika kebijakan yang diambil pro dengan rakyat.

Bagaimana tidak dikatakan sinyal kuat merapatnya Demokrat ke pemerintah, sebab tidak lama kemudian Agus Harimurti Yudhoyono yang merupakan putra sulung SBY datang menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kediamannya, di Makasar, Sulawesi Selatan.

Tentu saja pertemuan mereka berdua tidak bicara soal bisnis melainkan lebih ke bicara politik.

Sinyal kedua atas pertemuan Jokowi-SBY yang disusul pertemuan JK-AHY berbicara mengenai kocok-ulang kabinet. Ini terkait dengan spekulasi yang beredar Jokowi akan akan me-reshuffle kabinetnya sekalian dengan kemungkinan mundurnya Khofifah Indar Parawansa selaku Menteri Sosial karena maju ke gelanggang Pilkada Jawa Timur menantang musuh bebuyutannya, Syaifulah Yusuf. Khofifah harus ada penggantinya.

Namun lagi-lagi Syarief Hasan membantah "ada politik di balik pertemuan" itu, melainkan sekadar silaturahmi biasa. Bahkan ia menegaskan, tidak ada pembahasan sedikitpun soal niat Partai Demokrat bergabung ke koalisi pendukung pemerintah sebagaimana yang dirumorkan, apalagi menyodorkan nama calon menteri. "Demokrat tetap penyeimbang," kata Syarief.

Merugikan

Sikap Partai Demokrat yang sering disebut-sebut kader partainya sebagai "partai penyeimbang" kerap terdengar, khususnya usai perhelatan Pilpres 2014. Kala itu partai-partai terbelah menjadi dua kubu, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang kemudian menjadi partai pendukung pemerintah dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang domotori Prabowo Subianto selaku calon presiden yang terpental.

[caption id="attachment_3436" align="alignright" width="542"]

Jusuf Kalla dan AHY (Foto: Kompas.com)[/caption]

Dalam perjalanannya, satu per satu partai yang semula berada di KMP seperti PPP, PAN dan Golkar ikut bergabung ke pemerintah Jokowi, sehingga di KMP praktis tinggal ada Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saja dengan komposisi KIH 295 kursi, KMP 204 kursi, sementara Demokrat selaku "partai penyeimbang" memiliki 61 kursi. Bisa dihitung sendiri berapa kekuatan kursi  KIH bertambah jika Demokrat bergabung.

Sebagai pemilik 61 kursi, Partai Demokrat tidak juga menjadi partai oposisi seperti yang dilakukan Partai Gerindra dan PKS, sehingga warna dan sikapnya jelas, yaitu oposan terhadap pemerintah karena berada di luar pemerintah. Namun ketika Demokrat menyatakan berada di luar pemerintahan tetapi tidak bertindak oposisi, sesungguhnya sikap ini sangat merugikan Demokrat sendiri.

Berbagai sebutan nyinyir pun mampir. Tersebutlah sikap keraguan atau ragu-ragu karena merujuk kepada pendirinya sendiri yang dikenal dam term politik mutakhir Indonesia sebagai "peragu", tidak tegas dan membiarkan persoalan selesai dengan sendirinya. Istilah "pemerintahan tanpa pilot" saat SBY menjabat Presiden RI selama dua periode pun sempat mampir.

Sikap sebagaimana sering diungkapkan elite partai Demokrat sebagai "memberikan kritik dan masukan apabila pemerintahan  Jokowi berbuat kesalahan dan sebaliknya akan mendukung penuh apabila pemerintah berada pada jalur yang benar", sesungguhnya tetap menunjukkan keragu-raguan itu. Mengambang. Salah-salah SBY dengan Demokrat-nya malah akan tetap dicap sebagai tidak punya sikap dan terus mengambang.

Sebutan "partai penyeimbang" ini amatlah merugikan Demokrat, sehingga pilihannya mau tidak mau harus dijatuhkan. Seharusnya tidak perlu bingung, wong pilihannya hanya dua saja kok, yaitu ikut Prabowo Subianto untuk menemani Gerindra dan PKS, atau ikut koalisi pemerintah yang berpeluang lagi memerintah di tahun 2019 nanti.

Jika tujuannya mencari atau mencapai kekuasaan, bergabung dengan koalisi Prabowo Subianto juga sama baiknya bagi Demokrat. Toh jika Prabowo mencalonkan lagi dan memenangi Pilpres 2019, Demokrat akan ikut berkuasa bersama Gerindra dan PKS. Tinggal pandai-pandailah Demokrat membaca sasmita alam, siapa gerangan yang bakal memerintah di dua tahun mendatang.

Kalau tidak memilih alias tidak bersikap dan terus mempertahankan sikap "penyeimbang" alias sikap mengambangnya, ya tidak akan mendapatkan kekuasaan apapun. Sebab pada hakikatnya politik itu binner; memilih "ya" atau "tidak", kalah atau menang.

Jika tidak mau kalah dan tidak mau menang, itu namanya penonton, bukan penyeimbang lagi.

***