Tampilannya mewakili pria metroplis Eropa, tetapi Benjamin Howes bekerja sebagai Direktur Senior untuk urusan media Internasional di bawah departemen komunikasi perusahaan Huawei di Shenzhen, Tiongkok. Pembawaannya kalem saat menjelaskan produk-produk "software", "hardware", maupun berbagai aplikasi yang dihasilkan perusahaan ICT terbesar di negeri yang dulu berjuluk "Tirai Bambu" itu.
Sepatu dan tas genggamnya dari merek yang sama dengan warna senada, Bottega. Sepatu kulit licin yang permukaannya bisa dipakai buat bercermin itu. Howes menjelaskan dalam bahasa Inggris yang sempurna kepada tiga jurnalis Indonesia yang berpakaian kasual ala kadarnya, termasuk saya di dalamnya.
Dia tidak menurunkan tensi profesionalitasnya selaku orang komunikasi yang menguasai media saat harus berhadapan dengan tiga jurnalis "asing" yang berpenampilan ala kadarnya. Maksud saya "casing" luarnya yang apa adanya, yang cukup pakai kaus oblong, kemeja lengan pendek, atau polo shirt sebagaimana yang saya kenakan saat itu. Latar belakangnya memang jurnalis. Jadi semacam "jeruk makan jeruk"-lah saat dia menjelaskan.
Howes juga humoris. Tatkala salah seorang rekan saya memandang sebuah televisi HD berukuran 90 inch bermerek "LG" di sebuah replika ruang keluarga yang menggunakan aplikasi pintar IoT (Internet of Things) yang dikreasi Huawei, Howes pun menghentikan langkahnya. "Ada yang menarik?" tanyanya dengan mata tertuju ke arah rekan jurnalis itu.
"Kenapa Huawei menggunakan televisi merek lain? Tidak bisakah Huawei membuat televisi sendiri?" tanya rekan jurnalis kritis. Di luar dugaan, Howes menjawabnya ringan. "Kuncinya kerjasama dengan pihak ketiga," katanya serius. "Tidak harus semua barang kami bikin sendiri. Yang kami bikin adalah aplikasi pintar yang ditanamkan kepada produk lain dengan pemanfaatan yang maksimal."
Saya tersenyum mendengar jawaban Howes yang terasa "kocak". Kocak karena dia menjelaskannya dengan santai, penuh senyum tetapi tetap serius, bahkan menjelaskannya saat beringsut, berjalan ke arah produk lain.
Ah, ya saya lupa mengungkapkan bahwa saya dan dua jurnalis lain plus Yunny Christine dari Huawei Indonesia, tengah berada di ruang pameran produk-produk terbaru dan tercanggih di kantor pusat Huawei di Shenzhen, Tiongkok. Howes bertugas menjelaskan semua detail, termasuk saat dia berhenti di stan di mana dipajang tiga sepeda genjot (manual), bukan sepeda listrik (seli), apalagi sepeda motor.
Ketiga sepeda itu berwarna jingga kemerah-merahan dengan desain sederhana (simple). Ini bukan sembarang sepeda. Ini adalah sepeda dengan polesan IoT.
"Hei, Guys! Ini tiga buah sepeda. Cantik, bukan?" Howes menjelaskan. "Tapi ini bukan bikinan Huawei loh ya!" Kami mendengar Howes yang serius tapi santai sambil tertawa. Kenapa kami tertawa, sebab percakapan ini seoalah-olah lanjutan dari percakapan sebelumnya di depan televisi LG tadi.
Baiklah.... saya ngalor-ngidul berpanjang kata ini sebenarnya ingin menulis dan menjelaskan tentang keberadaan sepeda di Tiongkok. Kebetulan saja Howes memberi jalan.
Sepeda..??? Barang sederhana itu?? Ya, sepeda, memangnya kenapa!?
Tiga sepeda jingga yang dipamerkan itu hanyalah "jembatan" saja yang menghubungkan fenomena warga Tiongkok bersepeda yang ingin saya tulis.
Tiga tahun sebelumnya, saya juga berada di kota yang boleh saya sebut "Silicon Valley"-nya Tiongkok, Shenzhen. Kota ini satu-satunya kota dengan atmosfer bisnis ICT yang pekat dengan keberadaan pabrik-pabrik perangkat modern seperti Huawei, ZTE, BYD atau Tencent, jauh melebihi Hongkong yang berjarak ibarat kata hanya sepelemparan batu saja dari Shenzhen. Namun yang membedakannya adalah sepeda!
Tiga tahun lalu, hampir tidak ditemukan sepeda berwarna kuning, jingga atau hijau muda berserakan di jalanan kota Shenzhen, di parkir rapi atau "berceceran" di tempat-tempat tertentu. Tetapi saat saya menginjakkan kaki Oktober 2017 lalu, betapa Shenzhen telah menjadi "lautan sepeda", khususnya sepeda dengan bentuk seragam sebagaimana yang saya jumpai di ruang pamer ICT Huawei.
"Itu sepeda online," kata resepsionis mobile, Cao Lang alias Kris saat menemani kami jalan-jalan. "Orang boleh menggunakan aplikasi penyewaan khusus sepeda dengan membayarnya menggunakan WeChat atau Alipay untuk waktu tertentu."
Selagi gadis Tiongkok yang semampai ini bercerita, saya membayangkan sepeda motor online (Go-Jek) di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, yang masih mendapat perlawanan dari Opang alias ojek pangkalan, apalagi kalau taksi online, di beberapa tempat malah disiksa secara fisik atau dipermakukan di depan umum. Di Tiongkok, sepeda online hadir untuk memudahkan mobilitas penduduk bepergian dengan harga supermurah, tanpa polusi pula.
Di Shenzhen, salah satu perusahaan penyewaan sepeda online menggunakan merek Mobike. Konon di sejumlah tempat di Tiongkok sepeda online ini sudah seperti "virus" yang mewabah, warnanya bisa jingga, kuning, hijau dan bahkan hitam. Keempat warna mewakili perusahaan yang berbeda. Jadi intinya, bukan hanya satu sepeda digital saja yang memperebutkan pangsa pasar ini.
Cara menggunakan alias menyewanya sangat sederhana, yang penting Anda punya aplikasi di ponsel pintar (di ponsel "bodoh" tidak akan ada aplikasi ini), mengunduh aplikasi Mobike, sudah punya aplikasi WeChat atau Alipay dari Alibaba untuk pembayaran, tinggal cari sepeda yang "nganggur" di sembarang tempat. Selanjutnya, arahkan mata kamera ponsel ke barcode di sepeda yang mau Anda sewa itu.
Anda akan menemukan empat angka di layar ponsel dan tugas Anda selanjutnya memencet tombol fisik empat angka yang ada di kunci sepeda online itu. Tadaaaa...... klek! kunci yang membelenggu sepeda pun terbuka. Anda tinggal memanjatnya tanpa harus tengok kanan kiri karena malu, di Shenzhen bahkan sudah menjadi style tersendiri.
Aplikasi sepeda digital yang lebih canggih keluaran Huawei sebagaimana yang dipajangkan di showroom ICT bahkan tidak harus mengisi 4 angka itu. Cukup tembak barcode di sepeda itu, maka kunci terbuka seperti mengusap-usap lampu aladdin.
Sebagai tambahan, sepeda dengan menggunakan aplikasi yang diciptakan Huawei dilengkap tenaga listrik untuk menghidupkan GPRS yang dihasilkan dari panel surya. Di mana panel surya diletakkan? Ternyata sekaligus menjadi alas keranjang sepeda berbentuk kotak yang berada di depan stang.
[caption id="attachment_3399" align="alignleft" width="555"]
Penduduk Shenzhen memanfaatkan sepeda online (Foto: Pepih Nugraha)[/caption]Jika saya menggunakan sepeda itu dari titik A ke titik B dengan jarak sekitar 5 kilometer, maka saya tidak harus repot-repot mengembalikan sepeda itu ke titik A (cician banget deh gue!) Cukup saya letakkan saja sepeda itu di tempat terbuka (tapi jangan ditaruh di mobil box, nanti dikira mau dibawa pulang), beberapa saat kemudian sepeda itu akan digunakan pengguna aplikasi lainnya. Begitu seterusnya....
Perusahaan penyedia sepeda online tinggal melacak keberadaan propertinya dengan GPS yang sudah ditanam di setiap tubuh sepeda. Saya tidak bisa membayangkan kalau banyak berserakan sepeda "menganggur" seperti ini di Jakarta dengan warna-warna mencolok, mungkin setelah dipakai akan terus diparkir di garasi rumah masing-masing atau kalau tidak mau terlacak dijual kiloan sekalian hahaha....
Budaya menaruh sepeda pun terbentuk dengan sendirinya. Yang agak sopan, menaruh sepeda di tempat parkir, di bawah pohon yang terbuka, tetapi jangan taruh sepeda di rumput yang ada larangan jangan diinjak. Pokoknya asal terbuka dan terlihat pengguna lainnya saja. Jangan lupa mengunci kembali sepeda itu, yang berarti waktu sewa Anda telah selesai.
Selanjutnya tagihan bisa dilihat di deposit WeChat atau Alipay dengan ongkos sewa 1 Yuan atau sekitar dua ribu perak saja untuk sewa satu jam. Murah, bukan? Bandingkan dengan sewa sepada di Kota Tua Jakarta, pasti jauh lebih mahal karena jelas tidak "apple to apple" hehehe.... Tapi poinnya adalah, kalau Anda memiliki fisik sekuat pembalap sepeda profesional, maka uang sewa Rp2.000 itu sangat murah karena jarak tempuh yang bisa Anda capai lebih panjang!
Dengan dua ribu rupiah --kalau di Jakarta uang sebesar itu biasa bayar tukang parkir-- dan jika sepeda online yang Anda gunakan bisa menempuh 10 kilometer dalam sejam, maka Anda bisa berhemat 14 yuan atau Rp28.000 untuk jarak yang sama menggunakan taksi zaman kuda gigit besi alias taksi konvensional.
Internet of Things
Cara kerja sepeda online mau tidak mau mengingatkan saya pada prinsip Internet of Things alias IoT itu, di mana pada tujuan utamanya bagaimana manusia dengan mesin bisa saling berkomunikasi, demikian sebaliknya, atau lebih maju lagi bagaimana mesin dengan mesin yang saling berkomunikasi menggunakan jasa baik Internet. Ini yang disebut "segalanya serba Internet" yang muaranya pada kemudahan orang memanfaatkan teknologi informasi untuk "menggerakkan" benda-benda di sekeliling kita, terlebih benda-benda yang dimanfaatkan manusia setiap hari.
Sepeda digital dan televisi tadi cuma contoh kecil saja yang dikembangkan Huawei sebagai perusahaan ICT. Masih banyak lagi yang dikembangkan dengan memanfaatkan Internet berkecepatan tinggi untuk mengatur drainase, saluran air dan kilang minyak, eskalator atau lift pintar, alat-alat kesehatan dan alat bedah tubuh, sampai pada hal kecil seperti mendeteksi isi kulkas!
Semua itu ada sesi tersendiri untuk saya ceritakan. Sekarangt mari kita lihat sepeda pintar berinternet yang dikembangkan di Tiongkok. Ternyata sepeda digital telah memasuki tiga generasi sejak pertama kali ada dalam kurun waktu yang lumayan singkat.
Tentu saja yang ingin saya ceritakan adalah perbandingan generasi ke generasi sepeda digital yang menggunakan aplikasi Huawei. Semuanya ada tiga generasi dengan fungsi, kemudahan dan kemanfaatan yang terus ditingkatkan dengan produsen sepeda digital Mobike.
Generasi Pertama Mobike dilengkapi sinyal atau sambungan GPRS yang otomatis berfungsi saat dikayuh alias bertenaga manusia. Kapasitas bateri yang tersedia 3.000mAh dengan rata-rata konsumsi bateri 58mAH sekali dikendarai. Jika sepeda digital itu digenjot seharian, maka akan menghabiskan energi 467mAh, sedangkan saat baterai bertenaga penuh dapat digunakan nonstop selama 6 hari.
Generasi Kedua Mobike tentu lebih advance lagi dari generasi sebelumnya. Contoh baterai saja di mana kapasitasnya dua kali lipat menjadi 6.000mAh yang berarti dengan daya tahan dua kali lipat alias 12-13 perhari. GPRS pun sudah bertenagakan matahari yang diserap panel surya yang ditempatkan pada alas keranjang sepeda. Energi yang digunakan perharinya sama, yakni 467mAh.
Generasi Ketiga Mobike. Ini yang paling maju. Tidak lagi menggunakan GPRS sebagai sambungan komunikasi, tetapi sudah menggunakan teknologi yang disebut NB-IoT dengan tenaga baterai. Kapitas baterai ditingkatkan menjadi 20.000mAh yang berarti kapasitasnya tujuh kali lipat dari generasi pertama.
Rata-rata tenaga bateri yang digunakan pada sepeda digital generasi paling mutakhir ini saat dikayuh 2.3mAh dengan rata-rata penggunaan tenaga baterai sehari-harinya 18.6mAh. Dan ini yang penting, sepeda itu bisa digunakan tanpa diisi baterai lagi selama 35 bulan alias nyaris selama 3 tahun!
Jika tadi di atas saya sebut-sebut NB-IoT, itu maknanya Narrowband Internet of Things. Gampangnya sinyal yang memungkinkan semua barang mati, termasuk sepeda, bisa berkomunikasi dengan aplikasi yang ditanam di dalam tubuh sepeda itu. Segalanya tergantung kepada Internet. Komunikasi antarbenda maupun antara manusia dan benda dengan manusia dilakukan melalui Internet. Itu sebabnya disebut Internet of Things atau IoT itu tadi.
Jadi bicara IoT penerapannya tidaklah yang keren-keren saja. Ternyata barang "sepele" seperti sepeda ini menjadi "booming" lagi dan menjadi gaya hidup baru masyarakat Tiongkok berkat tersambung ke Internet. Memudahkan dan memaksimalkan pemanfaatan benda mati yang menjadi perlengkapan hidup seharti-hari juga dipikirkan oleh perusahaan sekaliber Huawei.
Saya masih punya beberapa catatan menarik. Tetapi episode ini saya cukupkan sampai di sini dulu.
***
Catatan perjalanan sebelumnya tentang Cao Lang, si gadis Tiongkok yang semampai.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews