Nyaris semua kata yang diimbuhi tambahan kata "pri" selalu hilang makna dari bentuk aslinya, dan selalu ditafsirkan dengan seenak-enaknya. Kata "pri" sendiri bila dilihat dari bahasa Jawa Kuno (saya tidak mau menyebutnya sebagai Sansekerta, karena acuannya nanti jadi India), berasal dari kata "prih".
Menurut Rama Zoetmulder "prih" arti pokoknya adalah usaha keras, pengerahan tenaga, perhatian besar. Kata "prih" ini kemudian melahirkan kata "aprih", lalu jadi "amrih" dan terakhir jadi "pamrih", yang arti sebenarnya tetap sama.
Pamrih sendiri justru sering disalah artikan negatif, karena dianggap sebagai seolah memiliki agenda tersembunyi, keinginan untuk mendapat imbal balik. Padahal hidup sendiri sejatinya ya "pamrih", harus ada imbal baliknya.
Sayangnya, kemudian pamrih justru dibelokkan menjadi suatu bentuk kata sifat yang membuat seseorang tampak kurang ikhlas, penuh itungan, dan seterusnya.
Ini tampak sekali dalam peribahasa Jawa yang cukup populer: sepi ing pamrih, rame ing gawe. Sebenarnya asal usul peribahasa ini awalnya hanya untuk menunjukkan keguyuban dalam gotong royong atau kerja bakti. Tapi akhirnya ditarik kemana-mana. Super ngawur!
Pada akhirnya, kata "pri" sering digunakan untuk menggantikan kata "pro" yang dianggap berasal dari Barat. Sehingga pada suatu kurun, orang Jawa sangat suka memberi nama anaknya dengan kata-kata yang menggunakan awalan kata pri: seperti Prihatin (kekuatan hati), Pribadi (kekuatan diri), Prihatmaka (kekuatan jiwa),dan seterusnya.
Nah dari sinilah muncul kota kata yang paling ngawur, pada konteks pribumi. Istilah ini tidak dikenal sama sekali, hingga Indonesia merdeka. Bahkan dalam bahasa aslinga Jawa, tidak pernah ada. Pribumi mulanya merupakan pennerjemahan bebas dari kata "inlanders". Ini istilah usang bukan saja politis, tetapi juga sangat menghinakan yang digunakan oleh pemerintah kolonial.
Inlanders adalah pembagian secara statistik kelompok penduduk di masa Hindia Belanda, di luar Kelompok Eropa dan Timur Asing, dan ia diposisikan pada strata yang paling bawah. Sehingga jargon yang paling nyata. Muncul sebagai peringatan di banyak klub societeit, restoran bergengsi, pemandian umum, dan lain-lain yang konon di depannya tertera tulisan: Verboden voor Honden en Inlander! Anjing dan Inlanders Dilarang Masuk!
Coba lihat, bagaimana para kolonialis itu menghinakan, bahkan anjing saja dianggap lebih penting.
Sebenarnya, istilah ini nyaris lenyap selama masa Orde Lama. Karena apa? Nyaris semua ideologi dunia masuk diwakili oleh berbagai partai politik maupun ormas. Semua orang, walaupun memiliki semangat nasionalisme tinggi, tetapi tidak jatuh menjadi sektarian. Bahkan PKI sekalipun sebagai organisasi paling radikal, tidak pernah mendikotomikan warga sebagai pribumi dan non-pribumi.
Istilah ini justru menjadi sengit dan berdaya ledak, ketika Orde Baru berkuasa. Dan ironisnya hanya untuk menunjuk hidung pada kelompok minoritas Cina, wabil khusus dalam konteks ekonomi. Seolah-olah (dan tentu saja itu sebuah dramatisasi) segala yang berbau pribumi adalah kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Padahal ketiganya bukan melulu masalah dan hasil kerja kolonialisme (ekternal) tetapi juga feodalisme (internal).
Dan, apakah golongan Cina yang didisriminasi itu menjadi lemah, justru sebaliknya mereka menguasai nyaris semua sektor ekonomi dan budaya populer. Di bidang perdagangan dan industri tidak usah ditanya, tapi yang tersamar terutama dalam bisnis hiburan, gaya hidup, prestasi olahraga, dan lain-lain. Bahkan pencilan-pencilan mereka pun tetap muncul di dua bidang yang sangat "pribumi": politik, pemikiran, dan agama.
Dan dua mantra rasis dan inferior inilah, pri dan non-pri, yang hendak dihapus oleh semangat reformasi. Puncaknya dilakukan secara elegan oleh Gus Dur!
Lalu ketika ada Gubernur yang baru dilantik, belum apa-apa sudah menyatakan dalam pidatonya: "Kini saatnya Pribumi menjadi tuan rumah!" Dia bukan sekedar rasis, tetapi juga inferior dan tipu-tipu!
Siapa yang disebut pribumi di DKI Jakarta? Orang Betawi? Betawi itu adalah akulturasi Sunda, Cina, dan Koja Handramaut! Apalagi etnis yang lainnya!
Satu-satunya yang bisa dipahami dari pernyataan itu, adalah titipan dari orang di belakangnya: Selamat Datang (Kembali) Orde Baru!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews