Cao Lang, Gadis Tiongkok Yang Berprofesi sebagai "Mobile Receptionist"

Rabu, 11 Oktober 2017 | 15:25 WIB
0
739
Cao Lang, Gadis Tiongkok Yang Berprofesi sebagai "Mobile Receptionist"

Tidak banyak waktu saya setiba di hotel Pavilion yang terletak di Futian Qu, Shenzhen. Ini hotel bertarif lebih dari Rp2 juta semalam, berbentuk seperti tower kembar yang menjulang ke langit. Saya menempati salah satu kamar di lantai 17 di mana pemandangan tertuju langsung ke Huaqiang Bei Lu (road) yang ramai di bawah sana. Buah-buahan segar menyambut saya di tengah meja kecil; anggur hijau, pir dan apel yang siap santap.

Di depan teras kamar Pavilion yang sengaja saya buka, saya berhadapan dengan apartemen dan perkantoran yang menjulang tinggi, berharap bisa saling menatap dengan salah satu perempuan Tiongkok berkulit langsat di sana, sebagaimana yang pernah saya baca dalam buku cerita.

Kebiasaan saya adalah mandi sesering mungkin selagi bisa, apalagi perjalanan Jakarta-Hongkong memakan waktu 4 jam, belum lagi harus ke luar rumah pagi hari untuk menuju Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Keringat empat musim yang kurang sedap sudah tercium oleh diri sendiri, khawatir tercium oleh orang lain juga. Saya cuma mau bilang, saya mengguyur tubuh dengan air hangat yang memancar dari shower sebelum menuju lantai 2. Di sana ada Restoran Jepang "Hokkaido".

Oh, gadis Tiongkok itu sudah menunggu di sana!

Baiklah, sebelum saya bercerita banyak mengenai "4 Pendekar Tiongkok Yang Menggetarkan Dunia ICT" yang serius atau produk-produk Huawei yang beragam dan tidak sebatas gawai, saya akan bercerita mengenai seorang gadis bernama Kris. Ia gadis Tiongkok yang tadi menyambut di lobi hotel dan memperkenalkan diri. Saya mendengar ia menyebut dirinya "Grace", tetapi belakangan saya tahu panggilan yang benar adalah "Kris".

Saat bertukar kartu nama, saya meminta ia menulis nama Tiongkok-nya. Ia pun menulis "Cao Lang". Kini perempuan itu duduk di seberang meja, sederet dengan wartawan Tribunnews, Mas Choirul. Yunny Christine dari Huawei Indonesia menjelaskan bahwa pekerjaan Kris atau Cao Lang adalah "Mobile Receptionist", sebuah desk baru di Huawei. Wow!

Istilah "mobile" yang disematkan pada kata "receptionist" ini saja sudah menggelitik keingintahuan saya yang besar. Saya ingin memperdalam Cao Lang dengan pekerjaannya itu. Di bawah nama pada kartu namanya tertulis jabatan "Customer Relationship Manager International Conference Center", nomenklatur yang panjang dan rumit, sepanjang rambut Kris yang legam mengkilat itu mungkin.

Pikiran saya terkunci pada anggapan bahwa di mana mana yang namanya receptionist ya duduk di belakang meja atau counter, saat tamu datang lalu berdiri, menghormati dan menyapa tamu tentang apa keperluannya. Lha kalau "mobile receptionist" sesuai namanya, dia tentulah bergerak ke sana ke mari, seperti Kris yang menjemput saya dan teman-teman, memesankan tempat duduk di restoran, menawarkan menu makanan, sampai nanti membayar makanan.

"Apa memang begitu tugasnya?" tanya saya kepada Yunny yang langsung dijawabnya, "Kira-kira seperti itulah. Tapi sesungguhnya, lebih dari sekadar itu."

Mari pandangan sejenak kita arahkan pada Cao Lang alias Kris yang duduk di seberang meja saya, seorang perempuan Tiongkok berusia 23 tahun dengan tinggi badan 175 centimeter, demikian pengakuannya kemudian. Ketika saya tanya dalam Inggris di mana ia menyelesaikan kuliahnya, ia menjawab, "Sekolah bisnis di Montpellier, Perancis."

Ahhhaaaa... ini dia!

Saya langsung membuka percakapan dalam bahasa Perancis sederhana yang sedikit saya kuasai, setidak-tidaknya mengimbangi percakapan Mandarin Yunny dan Kris yang dominan, seperti perempuan bertengkar memperebutkan cowok saja kedengarannya.

Dari percakapan jelang salmon dan tuna sashimi dihidangankan, saya bisa menggali mengenai pekerjaannya itu. Katanya, di Huawei sendiri yang memiliki 180.000 karyawan di seluruh dunia, mengharuskan adanya jenis pekerjaan baru yang disebut "mobile receptionist".

Di kantor pusat Huawei di Shenzhen tempat Kris bekerja, ada 180 Kris-Kris lainnya. Umumnya perempuan. Dan, perempuan yang dipilih adalah setipe dengan Kris, yakni tinggi badan di atas rata-rata atau di atas 170 centimeter, ramping, langsing, gesit, ramah, dan tidak "jutek" kalau diajak bercakap-cakap.

Menurut Yunny, jenis pekerjaan baru "mobile receptionist" ini berbeda dengan Humas atau PR yang harus lebih menjelaskan Huawei dengan segala aspeknya ke luar maupun ke dalam organisasi. "Ada sedikit irisan dengan pekerjaan Humas, tetapi apa yang dilakukan Kris menyangkut hal-hal kecil dan teknis saat berhadapan dengan tamu," katanya.

Banyaknya tamu Huawei yang datang bergelombang dari berbagai penjuru dunia mengharuskan Huawei membentuk divisi yang membawahi pekerjaan Kris ini. Kepada Kris dan karyawan semacamnya, mereka dibekali cek, uang tunai atau uang elektronik selama menemani tamu yang dihadapinya.

[caption id="attachment_3269" align="alignleft" width="563"] Cao Lang memilih menu makanan (Foto: Pepih Nugraha)[/caption]

Cao Lang-lah yang melakukan transaksi makan malam di Restoran Hokkaido yang salmon sashimi-nya masih sangat segar itu. Ia jugalah yang berurusan dengan penyewaan mobil Buick atau Alphard selama saya berada di Shenzhen. Hal-hal kecil dan pritilan semacam itulah yang dikerjakan Kris yang pada masa lalu mungkin masih dikerjain Humas perusahaan.

Selagi saya bercakap-cakap menggunakan bahasa Napoleon dengan Kris, saya teringat guru privat, Anny Rahimah Arman, yang mengajari saya bahasa sengau itu. Saya harus berterima kasih kepada guru privat yang kini tinggal di Paris itu, sebab berkat dialah saya menjadi orang paling keren di antara teman-teman Indonesia lainnya di meja makan restoran Jepang itu.

Kami berdua, maksudnya saya dan Kris, sejenak asyik berbicara dan saya terus menggali informasi sebanyak mungkin tentang pekerjaannya di mana bagi saya itu sesuatu yang baru, sebuah percakapan yang tidak bisa dimengerti rekan lainnya. Beruntunglah Cao Lang mau meladeni saya dan saya mendapat pengetahuan baru, yang ada kaitannya dengan organisasi bisnis Huawei.

Baiklah, meski mungkin hanya sekedar debu dari sebuah perusahaan raksasa besar yang "menggetarkan" para pesaing dari dunia Barat, bagi saya profesi yang disandang Cao Lang sangatlah menarik yang belum ada di Indonesia.

Hal ini dibenarkan Yunny Christine di mana dengan 2.780 karyawan Huawei di Indonesia, perusahaan yang didirikan Ren Zhengfeng tahun 1987 ini belum merasa harus memiliki "mobile receptionist" sebagaimana di kantor pusat di Shenzhen atau Shanghai, melainkan bisa dikerjakan oleh departemen komunikasi. "Huawei Indonesia belum membutuhkan pekerjaan semacam itu," katanya.

Waktu cepat berlalu. Selama tiga hari di Shenzhen, peran Cao Lang tidaklah kecil meski mengerjakan hal-hal kecil. Bahkan ketika saya meminta buku pegangan bagi peserta Seeds Future dari empat negara, yaitu Austria, Burkina Faso, Turki dan Indonesia, ia bisa meluluskan permintaan saya, padahal buku pegangan itu terbatas hanya untuk peserta.

Waktulah yang membuat kami, anggota rombongan dari Indonesia, lekas akrab dengan sosok Cao Lang yang sejatinya perempuan pemalu. Ia tidak banyak cakap, lebih sering memelototi ponselnya. Tetapi kalau diajak bicara, ia sigap dan penuh perhatian.

Saya pribadi lebih sering mengajaknya becanda, biar tidak jenuh. Tetapi kadang hal-hal berat saya tanyakan juga. Misalnya soal agama yang tidak ada kaitan langsung dengan pekerjaannya.

Saat berada di Museum Shenzhen, misalnya, saya bertanya tentang hal-hal berat yang bersifat pribadi, ya tentang agama itu tadi. Jujur, saya ingin membedah pikiran Kris alias Cao Lang ini soal agama sebagai, sebab konon orang Tiongkok tidak percaya Tuhan. Terlebih lagi, saya ingin tahu apa pegangan hidupnya kalau dia tidak beragama.

"Jadi agamamu Budha seperti diorama itu, Kris?" tanya saya agak kurang ajar saat berada di diorama kaca yang menggambarkan sekelompok orang Tiongkok penganut Budha. Kris menjawab, "Bukan."

"Jadi?" tanya saya.

"Saya tidak beragama," katanya. "Kamu mungkin tahu istilah 'atheis', dan itulah saya. Saya tidak percaya Tuhan, tapi saya percaya Budha."

"Jadi kamu menganggap Budha itu Tuhan? Katanya kamu tidak percaya Tuhan!?" tanya saya.

"Oh tidak, Budha adalah manusia. Dia Sidharta Gautama. Saya suka pemikiran dan jalan hidupnya."

"Jadi way of life yang kamu pegang apa dalam kehidupan sehari-hari jika Tuhan saja kamu tidak percaya?"

Agak bingung Cao Lang menjawabnya. Namun sesaat kemudian, "Kalau soal pegangan hidup, negara juga sudah memberi kami pegangan hidup."

Baiklah. Cao Lang selama keberadaan saya dan rombongan kecil di Tiongkok telah memberi pemahaman baru soal cakupan Huawei sebagai sebuah perusahaan raksasa, yang bahkan telah melahirkan pekerjaan baru bernama "mobile receptionist".

Terlebih lagi, saya sudah berhasil mengorek sebagian isi kepala Cao Lang dalam sebuah percakapan en passant alias sambil lalu.

Untuk sementara saya akhiri catatan saya di sini, masih akan diteruskan dengan catatan lainnya. Ditunggu...!!

***

Catatan perjalanan ke Tiongkok sebelumnya.