Membaca dengan Saksama Pembelaan Eep Saefulloh Fatah

Kamis, 7 September 2017 | 08:07 WIB
0
1014
Membaca dengan Saksama Pembelaan Eep Saefulloh Fatah

Di majalah online Tirto.id edisi terbaru, Eep Syaefulloh Fatah (ESF) diwawancarai secara khusus tentang peran sentralnya sebagai think-tank pemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta lalu. Banyak informasi menarik yang, minimal saya jadi mengerti duduk masalahnya. Kembali percaya itu masalah lain!

Pertama, terkait isu yang paling sarkastik. Ia mengaku bahwa sama sekali menolak dan tidak mengakui isu mengkapitalisasikan sentimen SARA (suku, agama, ras, antargolongan). Termasuk dalam konteks ini ia menolak menggunakan isu penolakan menshalatkan pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di masjid. Bahkan, Eep berkali-kali menyatakan bahwa isu itu justru merugikan pihak Anies-Sandi.

Pun demikian isu penggalangan massa melalui forum dakwah di masjid. Ia mengakui wawancara yang banyak beredar di media itu, berasal dari diskusi yang dilakukan beberapa tahun sebelumnya. Ia menangkis banyak tuduhan yang seolah semua adalah hasil kerja "negatif" tim Polmark yang dipimpinnya.

Dalam kaitannya, ia bersedia "konon" untuk menjadi Tim Pemenangan dan bukan sekedar Tim Pendampingan (ternyata ini beda jauh, minimal menurut beliau). Ia menyatakan bahwa ia sejak lama telah yakin bahwa Anies-Sandi pasti menang. Dasarnya apa?

Walau tingkat kepuasan terhadap Ahok nyaris 70 persen, tetapi berdasar survei yang dilakukannya yang real mau milih Ahok hanya di angka 40 persen. Hal ini katanya karena watak Ahok yang kasar dengan gaya komunikasi yang buruk, tidak ada kaitannya sama sekali dengan dia Cina atau Kristen. Eep beranggapan, pun jika seandainya tidak terjadi kasus Al Maidah 51, Ahok tetap akan bisa dikalahkan.

Statement ini sebenarnya sangat lemah, bagaimana mungkin ada aksi dan reaksi yang sedemikian dahsyat angka tetap mangkruk di 40-an persen. Ia juga menyangkal punya hubungan dengan berbagai demo yang digerakkan oleh Front Pembela Islan (FPI) dan GNPF-MUI.

Secara tidak langsung, Eep mengakui bahwa Anies-Sandi menerima limpahan berkah dari gerakan yang sebenarnya dipromotori oleh satu tim yang sebelah lagi itu. Makanya dalam banyak debat, ia menyarankan Anies-Sandi tidak secara frontal menyerang kelompok tim nanggung tapi banyak duitnya itu. Ia membiarkan Ahok-Djarot fokus menghadapi tim anaknya mantan Presiden ke-6 RI yang terbukti gagal total itu.

Intinya adalah, kalau kita membaca wawancara itu, Eep dan pasangan yang didukungnya adalah innocent, tidak punya salah, dan pantas menang. Artinya, apa yang terjadi pada Ahok melulu "kebodohannya" sendiri!

Ahok pantas menerima semua hal yang diakibatkan kecerobohannya. Menarik untuk saya catat, bagaimana ESF mengibaratkan di Indonesia: sensitivitas agama adalah satu-satunya bendungan yang tidak boleh dibobol. Sekali ia jebol, tak akan ada satupun yang bisa menolongnya. Tentu saja, bila hal ini dibaca oleh awam, setelah ini semuanya akan baik-baik saja. Sekali lagi, benarkah demikian?

Sebagai teman yang pernah tumbuh bersama, saya harus bilang ia sudah benar menamakan lembaganya Polmark. Political Marketing memang harus begitu kerjanya, setelah semua kerusakan pertama yang harus dilakukan adalah cuci tangan bersih-bersih.

Ini satu paket, setelah konfrontasi maka akan dilakukan rekonsiliasi. Seolah kerusakan itu sedemikian mudah diperbaiki. Hal ini sebagaimana sudah benar terjadi belakangan ini.

Kelompok-kelompok yang esok jadi beban, satu persatu bertumbangan dan dibiarkan menerima tulahnya sendiri-sendiri. FPI dengan Rizieq Shihab-nya, Buni Yani dengan celometan-nya, Ahmad Dhani dengan mimpi noraknya, dan terakhir Marco seorang aktivis yang akhirnya jatuh tak lebih sebagai seorang sinistik.

Sekali lagi saya hanya membaca, tanpa keinginan menganalisa! Apalagi adu debat.

Saya hanya pengen tertawa, apa ya kita harus saling beradu data?

Ini ironisnya: sebagai seorang Ahokers, saya sejujurnya sudah malas betul untuk mengungkap apa yang terjadi sesungguhnya. Apa yang diungkapkan ESF bagi saya hanya meneguhkan kredo Pilkada yang umum terjadi sejak lama di Amerika Latin, Brazil khususnya.

Bagi mereka Pilkada adalah sejenis bisnis hewan ternak, dan para pemilihnya adalah sekelompok makhluk yang selalu saja bersedia digiring kesana-kemari. Tanpa mengerti untuk apa semua itu!

***