Kisah Syarwan Hamid dan Dua Jenderal Purnawirawan Lainnya

Minggu, 30 Juli 2017 | 21:32 WIB
0
1210
Kisah Syarwan Hamid dan Dua Jenderal Purnawirawan Lainnya

Mumpung tanggal 27 Juli masih belum jauh beranjak, jangan salahkan jika ingatan saya terjebak pada masa-masa peristiwa 27 Juli 1996, pada sebuah peristiwa politik penggulingan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) oleh rezim Soeharto yang kala itu berkuasa selaku Presiden RI.

Peristiwa berdarah berupa penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, oleh sekelompok militer berbaju preman dibantu warga sipil tak dikenal itu dikenal sebagai Kudatuli, Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli.

Banyak wajah-wajah berkelebatan dalam ingatan terkait peristiwa itu, sebelum maupun sesudah Peristiwa Kudatuli, khususnya dari kalangan PDI sendiri. Sudah barang tentu Megawati, Soeharto, Yogie Suardi Memet, Feisal Tanjung, Sutiyoso, Taufik Kiemas, Sabam Sirait, Tarto Sudiro, Kwik Kian Gie, Soetardjo Soerjoegoeritno, Alex Litaay, Soerjadi, Fatimah Achmad, Buttu Hutapea, Budiman Sujatmiko, Panda Nababan, dan... Syarwan Hamid.

Dari semua nama-nama itu, entah kenapa nama yang saya sebut terakhir, Syarwan Hamid, adalah nama yang paling sering berkelebat, bahkan ingatan saya singgah pada "penyamaran" kecil-kecilan saya selaku wartawan yang berhasil menembus salah satu ruang di mana Syarwan berkantor selaku Assospol Kassospol ABRI.

Saat itu, Syarwan mengumpulkan kader-kader PDI yang "mbalelo" dari kepengurusan Megawati dan memberi pengarahan mengenai siapa pengganti Megawati selaku ketua umum partai setelah dijatuhkan dalam Kongres Medan sebelumnya.

Intinya, Syarwan membandingkan kepemimpinan Fatimah Achmad dengan Megawati. "Coba dengar ucapan serta pernyataan Ibu Fatimah, jauh lebih jernih dan logis dibanding Megawati," katanya.

Saya mencatat perbedaan antara panggilan "Ibu" di depan nama Fatimah Achmad dan sebutan tanpa embel apa-apa di depan nama Megawati. Itulah salah satu "cuci otak" yang dilakukan Syarwan selaku Assospol Kassospol ABRI kala itu. Bagaimanapun dari sisi komando militer, ia telah menunaikan tugasnya dengan baik selaku prajurit. Saat itu tuga militer dan oraganisasi sipil yang berkhidmat pada Soeharto mempunyai tugas berat; menjatuhkan Megawati selaku ketua umum PDI!

Sebagai penggantinya, pemerintah Soeharto menyiapkan calon ketua umum "boneka" Soerjadi (kini sudah almarhum) dengan Sekjen Buttu Hutapea. Fatimah Achmad sendiri tidak digadang-gadang sebagai pengganti Megawati, hanya saja ia didorong sebagai sosok yang dianggap layak menandingi kharisma Megawati dan belakangan dia didapuk sebagai Wakil Ketua MPR medampingi Harmoko selaku Ketua MPR.

Singkat cerita, PDI di tangan Megawati kemudian tumbang dan direbut oleh duet "Soerjadi-Buttu" plus Fatimah Achmad. Dalam perjalanannya, Megawati bersama pengikut setianya mendirikan PDI Perjuangan.

Kembali ke kisah Syarwan Hamid...

Sebagai jurnalis politik, saya bersinggungan dengan Syarwan yang hobi mengoleksa kamera ini saat ia diangkat selaku menteri dalam negeri menggantikan Jenderal Hartono. Beberapa kali saya mewawancarainya secara khusus terkait penyusunan Undang-undang Politik yang saya sebut undang-undang "Dji Sam Soe" (234) merujuk pada penomoran tiga undang-undang politik pada masa 1998-1999.

Lama tidak mendengar kabarnya, apalagi melihat wajahnya, belakangan saya selintas melihat Syarwan pada Demo 411, saat kamera televisi menyorotnya sedang berada dalam sebuah mobil van. Rupanya ia turut "meramaikan" aksi bela Islam dengan tuntutan memenjarakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap telah menghina Islam itu.

Syarwan disebut-sebut turut serta dalam rapat-rapat GNPF-MUI, motor penggerak aksi, pasca Demo 411 untuk melakukan evaluasi. Sepanjang 2014-2015, Syarwan juga disebut-sebut terlibat dalam berbagai diskusi dengan Sri Bintang Pamungkas dan Ratna Sarumpaet yang menghendaki Presiden Jokowi tumbang.

Belakangan mau tidak mau saya mengingat Syarwan Hamid lagi ketika sejumlah purnawirawan TNI dan Polri menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Selasa 25 Juli 2017. Pada pertemuan itu Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar meminta Presiden Jokowi mempercayai para purnawirawan tetap mendukung ideologi Pancasila yang dipegang teguh dalam Sapta Marga.

"Memang diakui Pak Presiden, ada 1-2, 10-20 di antara kita yang terpengaruh. Dan kami akan berusaha supaya mereka kembali ke jalan yang benar dengan pedoman Sapta Marga," kata Agum saat itu. Agum tidak menyebut secara terang-terangan siapa saja purnawirawan TNI-Polri yang dianggap melenceng dari Pancasila itu.

Para purnawirawan yang terlihat hadir antara lain  Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, Jenderal Polisi (Purn) Awaloeddin Djamin, Jenderal TNI (Purn) Wismoyo Arismunandar, Laksamana TNI (Purn) Tanto Kuswanto, Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Laksdya TNI (Purn) Djoko Sumaryono, Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto. Selain itu juga hadir Jenderal Polisi (Purn) Drs Bambang Hendarso Danuri, Komjen Polisi (Purn) Yun Mulyana, Mayjen TNI (Purn) H.M Akip Renatin, dan Marsda TNI (Purn) F.X. Soejitno.

Meskipun dalam pertemuan para purnawirawan dengan Presiden Jokowi tidak disebutkan mantan jenderal yang "mbalelo" dan tidak setia pada Pancasila, akan tetapi bocoran di kalangan awak media menyebutkan, para jenderal yang dimaksud merujuk pada nama Adityawarman Thaha, Kivlan Zein, dan Syarwan Hamid, sosok yang sedang saya ceritakan ini. Kebetulan, ketiganya adalah alumni organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).

Adityawarman, lulusan pendidikan militer di Fort Bragg dalam bidang spionase dan anti teror yang ahli soal bahan peledak, disebut-sebut menyambut ajakan gerakan “People Power Indonesia” yang dibesut "vocalist" Sri Bintang Pamungkas untuk menggulingkan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Ia juga disebut-sebut berkordinasi dengan Kivlan Zein dengan menyebut Sekretaris Jenderal MPR sudah menyetujui diadakannya Sidang Istimewa.

Kivlan Zein pernah disebut "Jenderal K" semasa Presiden Abdrurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa. Ketika didesak wartawan apakah yang dimaksud "Jenderal K" itu adalah Kivlan, Gus Dur menyangkalnya sambil menyebut huruf pertama "K" dengan nama primata. Saat berkarier di militer, Kivlan menjabat Kepala Staf Kostrad saat Pangkostrad-nya dipegang Letjen Prabowo Soebianto.

Kivlan tokoh vokal yang sering bicara bernada SARA terhadap etnis Tionghoa ini disebut-sebut berkoordinasi dengan Adityawarman untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR menggulingkan Jokowi-JK. Nama Kivlan juga sempat mencuat pada peristiwa pembebasan sandera Indonesia oleh pemberontak Filipina.

Pertanyaannya, apakah ketiga purnawariwan jenderal itu serius dan memiliki kekuatan penggerak yang masif untuk sebuah aksi makar yang bisa menjatuhkan Jokowi-JK? Atau hanya sekadar berbeda sikap maupun pendapat saja untuk satu hal, dalam hal ini soal kepemimpinan Jokowi-JK, dengan cara mendukung organisasi atau sekelompok orang yang punya pandangan dan sikap yang sama? Atau... pemerintah yang terlalu reaktif bin agresif?

Hanya pihak intelijen yang bisa memastikan jawaban atas pertanyaan ini.

***