Mana Ada "Leader" dalam Megakorupsi e-KTP, Dituduh Pun Pasti Menyangkal!

Jumat, 10 Maret 2017 | 11:14 WIB
0
490
Mana Ada "Leader" dalam Megakorupsi e-KTP, Dituduh Pun Pasti Menyangkal!

Istilah "leader" (pemimpin) di sini terlalu keren jika disandingkan dengan kejahatan paling hina di dunia ini, yaitu korupsi. Istilah yang pas meski agak keren terdengar adalah "Godfather" atau kalau lebih mengindonesia ya pakai saja istilah "Kepala Bromocorah". 

Skandal megakorupsi pengadaan e-KTP sejatinya sangat melukai hati rakyat dan bangsa ini. Bayangkan, ada bandit-bandit berdasi dengan sepatu mengkilat dan kehidupan glamour masih tega menggasak uang rakyat. Mengapa disebut uang rakyat? Sebab pendanaannya menggunakan APBN, padahal semula diniatkan memakai dana hibah saja. Ada unsur pajak yang disetor rakyat dalam APBN dan ketika sudah memakai dana APBN, maka "bandit tripartit" yaitu pemerintah, anggota DPR, dan pengusaha siap bancakan uang rakyat itu.

Siapa "Godfather" atau "Kepala Bromocorah" dalam kasus megakorupsi e-KTP? Bisa banyak pihak. Masing-masing bisa berperan sebaga "Bromocorah" itu. Barangkali, besarnya dana yang diterima perorangan atau partai yang totalnya mencapai Rp2,3 triliun bisa dijadikan ukuran alias indikator sementara.

Baik, kita simak orang-orang dan para pihak yang disebut jaksa KPK menerima aliran dana proyek e-KTP dalam surat dakwaan pada persidangan yang berlangsung, Kamis 9 Maret 2017 kemarin: 

1. Gamawan Fauzi USD 4,5 juta dan Rp 50 juta

2. Diah Anggraini USD 2,7 juta dan Rp 22,5 juta

3. Drajat Wisnu Setyaan USD 615 ribu dan Rp 25 juta

4. 6 orang anggota panitia lelang masing-masing USD 50 ribu

5. Husni Fahmi USD 150 ribu dan Rp 30 juta

6. Anas Urbaningrum USD 5,5 juta

7. Melcias Marchus Mekeng USD 1,4 juta

8. Olly Dondokambey USD 1,2 juta

9. Tamsil Lindrung USD 700 ribu

10. Mirwan Amir USD 1,2 juta

11. Arief Wibowo USD 108 ribu

12. Chaeruman Harahap USD 584 ribu dan Rp 26 miliar

13. Ganjar Pranowo USD 520 ribu

14. Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Banggar DPR USD 1,047 juta

15. Mustoko Weni USD 408 ribu

16. Ignatius Mulyono USD 258 ribu

17. Taufik Effendi USD 103 ribu

18. Teguh Djuwarno USD 167 ribu

19. Miryam S Haryani USD 23 ribu

20. Rindoko, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR masing-masing USD 37 ribu

21. Markus Nari Rp 4 miliar dan USD 13 ribu

22. Yasonna Laoly USD 84 ribu

23. Khatibul Umam Wiranu USD 400 ribu

24. M Jafar Hapsah USD 100 ribu

25. Ade Komarudin USD 100 ribu

26. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara selaku direksi PT LEN Industri masing-masing Rp 1 miliar

27. Wahyudin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri Rp 2 miliar

28. Marzuki Ali Rp 20 miliar

29. Johanes Marliem USD 14,880 juta dan Rp 25.242.546.892

30. 37 anggota Komisi II lain seluruhnya berjumlah USD 556 ribu, masing-masing mendapatkan uang USD 13-18 ribu

31. Beberapa anggota tim Fatmawati yaitu Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan masing-masing Rp 60 juta

32. Manajemen bersama konsorsium PNRI Rp 137.989.835.260

33. Perum PNRI Rp 107.710.849.102

34. PT Sandipala Artha Putra Rp 145.851.156.022

35. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra Rp 148.863.947.122

36. PT LEN Industri Rp 20.925.163.862

37. PT Sucofindo Rp 8.231.289.362

38. PT Quadra Solution Rp 127.320.213.798,36

Jika melihat data dan angka di atas, jelas mantan Mendagri Gamawan Fauzi menerima uang korup paling banyak, yaitu USD4,5 juta plus Rp50 juta. Jumlah ini setara dengan Rp60 miliar! Yang menarik pula, besaran uang haram yang diterima para koruptor itu, meskipun ramai-ramai mereka sangkal (wajarlah, mana ada maling ngaku), seuai dengan kepangkatan masing, baik di pemerintah maupun di DPR.

Dari sini sebenarnya ada struktur dan hierarkis dan besar kemungkinan ada orang di antara mereka yang bertindak selaku "pengatur". Kalau tidak ada, mustahil Gamawan Fauzi yang saat itu berada di jabatan paling tinggi, yaitu Menteri Dalam Negeri, ditempatkan paling atas dengan jumlah uang yang diterima mencapai Rp60 miliar.

 Lantas apakah Gamawan bisa disebut sebagai "Godfather"-nya? Belum tentu. Boleh jadi dia hanyalah orang yang dibayar pihak tertentu, hanya saja jumlahnya sangat fantastis, mengingat pengadaan e-KTP adalah proyek di bawah kementrian yang dipimpinnya, yaitu saat dia menjabat Menteri Dalam Negeri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Wajarlah kalau ada anggapan dialah yang sebenarnya "Godfather" di balik megakorupsi ini.

Satu hal yang membuat geram publik, proyek e-KTP dimulai dari perencanaan dalam arti APBN untuk proyek itu belum turun. Tetapi, bancakan sudah terjadi dengan "dana talangan" yang berasal dari pihak ketiga, biasanya pengusaha atau konsorsium. Pengusaha dan konsorsium itulah yang kelak (dapat dipastikan) akan mendapat proyek dari e-KTP itu karena uang pelicin sudah digelontorkan ke pejabat pemerintah (Kemendagri) dan politisi (DPR). 

Model korupsi selalu begitu, termasuk dalam kasus Hambalang. Dalam kasus Hambalang yang mangkrak itupun tidak pernah disebut siapa "Kepala Bromocorah" dari bancakan itu. Akan tetapi, ada operator yang membagi-bagi uang dari pengusaha yang berharap dapat menggarap Proyek Hambalang tersebut.

**

Artikel ini lahir dari jawaban atas pertanyaan "Siapakah leader megakorupsi e-KTP" di Selasar.com.