Cerita siang kemarin, Sari Roti ketiban sial karena harga saham mereka katanya jatuh. Itu diceritakan dengan bangga oleh mereka yang antipati pada perusahaan tersebut, lantaran merasa punya kekuatan berlebih. Obrolan dan perhatian mereka tertuju ke soal jatuhnya harga saham itu, dan agak melupakan hal-hal lain yang jatuh; "saham" humor dan religi.
Saya harus mendahulukan humor daripada religi, kali ini.
Ya, karena bagi mereka yang mengerti bahwa humor itu setara menghirup aroma surga, takkan takut mendahulukan humor daripada kepercayaan kepada Tuhan. Sebab sudah bukan rahasia, yang ada tawa dan gembira itu, ya di surga. Jangan berharap itu ada di neraka.
Jika kemampuan humor sudah terjamin baik, maka mereka lebih siap untuk menjadi religius. Mereka bisa berbicara dengan Tuhan di mana saja mereka merindukan-Nya. Tak meremehkan Tuhan dengan anggapan bahwa Tuhan cuma bisa marah-marah. Mereka memuliakan Tuhan sebagai pemilik kegembiraan dan segala kebaikan, dan hanya menginginkan kebaikan.
[irp posts="2295" name="Pak Hakim, Jangan Lindungi Oknum Penista Agama!"]
Kemarahan dan kedengkian iblis pada Adam, karena merasa bapaknya manusia ini lebih dimuliakan, membuat Dia marah. Artinya, Dia hanya marah jika ada yang lebih dulu marah-marah tidak jelas. Kemarahan-Nya jelas, karena ketidaksukaan-Nya pada kemarahan. Jika saja iblis tidak lebih dulu marah-marah, Dia takkan marah. "Aku sesuai sangkaan hamba-Ku," kata-Nya.
Jadi, mereka yang rajin melihat sisi jenaka dari keseharian akan ada saja yang dapat ditertawakan. Tapi mereka lebih suka menertawakan diri sendiri, sebenarnya. Apalagi jika makin besar kesadaran seseorang, kian besar pengetahuan seseorang, kian besar alasannya untuk tertawa. Sebab dia menyadari, kelak di surga sana pun Tuhan menyambutnya dengan senyum indah-Nya, bukan dengan wajah masam seperti layaknya para pemarah.
[irp]
Alasan terangnya, ketika dikitari oleh para pemarah, tawa pun diharamkan cuma karena berpikir serius itu harus identik dengan muka masam, merah padam, dan bahkan menghitam. Jadi ini kenapa sebagian yang memih beragama dengan tertawa-tawa, ada yang memang memilih tertawa diam-diam. Bukan karena takut, tapi tak suka bising. Toh, sejatinya tawa bisa dilakukan dalam hening--dalam hati.
Seperti juga cerita kemarin itu, saat roti pun menjadi sasaran kemarahan. Andai di dunia ini yang beragama memiliki selera humor sama baiknya, maka akan pecah tawa di mana-mana. Menjadi sebuah tawa yang dapat menembus langit, dan mengirimkan pesan ke surga bahwa merekalah penghuninya kelak.
Tapi begitulah ceritanya.
[irp posts="2289" name="Apa Penting dan Perlunya Berpikir Minoritas?"]
Jika sudah marah, roti pun bisa terlihat seperti musuh bertampang bengis yang harus dilawan mati-matian, tak peduli jika yang mati justru rakyat kecil juga yang sehari-hari menarik gerobak roti.
Marah itu bikin nurani mati. Sulit diberikan napas buatan pada siapa saja yang sudah tenggelam dalam kemarahan itu, terlepas napas buatan itu ditawarkan oleh sosok sekelas Paramitha Rusady, misalnya, tak mampu meredakan kemarahan itu.
Beda andai selera humor masih hidup dengan baik, dipupuk dengan baik, orang-orang akan terdorong untuk lebih menertawakan diri sendiri dan mencari kelucuan pada cara berpikir hingga tindakan diri sendiri. Tak cukup sekadar memiliki selera humor, tapi hanya dapat menertawakan orang-orang.
Ya, saya sendiri mencari cara-cara sederhana saja untuk dapat menertawakan diri sendiri. Misal sedang bertemu dengan orang-orang penting dan saya baru saja habis mengupil, tak tahu lagi ke mana upil tadi harus saya jentikkan, yo wes, jadikan buah tangan untuk orang penting tadi.
Atau, jika tak tega seperti itu, ambil upil tadi, masukkan ke dalam dompet. Siapa tahu bahwa upil itu memiliki mukjizat yang tak dimiliki Kanjeng Dimas; membuat duit berlipat ganda hanya lewat upil. Mukjizat yang terjadi seperti ini yang jauh dari kehebohan, sering kali lebih aman bukan? Setidaknya tak bikin Anda disorot tivi hingga berhari-hari, sementara Anda hanya menjadi orang yang sedang dikuliti.
Jadi, jangan juga menempelkan itu pada roti yang akan Anda kunyah sendiri. Apa pun mereknya, ya?*
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews