Persis 21 tahun enam bulan lalu, tepatnya 1 Juni 1995, salah satu pendapat Robert William Liddle terpampang di Harian Kompas. Isinya, lebih kurang, soal skeptisnya pemerhati politik Indonesia itu.
Menurut sosok yang akrab juga dengan panggilan Bill Liddle ini, demokrasi bagi rakyat di negeri ini masih belum beranjak dari sekadar impian. Tegasnya, masih mimpi.
Jika diterjemahkan lebih jauh, mimpi identik dengan tidur. Jadi, demokrasi itu sendiri baru lahir ketika masyarakatnya bangun lebih dulu, beranjak dari kemalasan, dan melupakan nikmatnya kasur dan bantal.
Sekali lagi, itu hanya tafsir pribadi saya atas pernyataan skeptis Liddle.
Lagi, saat Liddle bicara ketika itu, Indonesia masih di tangan Haji Muhammad Soeharto. Sekarang, Pak Haji itu telah tiada, dan dia pun sudah meninggalkan kursi presiden negeri ini persis tiga tahun kurang sebulan jika dihitung sejak Liddle mengemukakan rasa skeptisnya di Kompas itu.
Rasa skeptis itu sendiri jelas agak menjewer Pak Harto, meski di beberapa kesempatan Liddle mengaku sebagai pengagumnya. Paling tidak, ia sudah proporsional dengan zaman itu dan dengan siapa yang memimpin Indonesia kala itu.
Di situlah Liddle menunjukkan sebuah sikap yang sekilas terkesan pragmatis, mengagumi Soeharto di satu sisi tapi mencela di sisi lain -terlepas celaannya terbilang sangat santun dan terkesan "njawani".
[irp posts="2188" name="Masya Allah, Bila Jokowi Ikut Doa dan Jumatan Akbar"]
Tapi dua sikap diperlihatkan Liddle tidaklah dapat dikatakan keliru. Ya jika melihat lagi bagaimana dia menerjemahkan masyarakat kelas menengah, misalnya, yang didefinisikannya sebagai kalangan yang buka kalangan yang bekerja di pemerintahan, juga berkepentingan relatif berbeda dengan pemerintah.
Bagi dia, kalangan menengah itulah yang diyakini sebagai unsur paling menentukan dalam membuat demokrasi bukan lagi sekadar mimpi.
Nah, ketika sekarang isu makar menyeruak lagi, ambisi mengulang kejadian 1998 mulai terlihat lagi, apakah ini sebagai simbol demokrasi yang betul-betul sepenuhnya menyala? Apalagi memang pengaruh kalangan menengah kini kian kuat.
Belum juga. Saya masih berpikir Liddle pun akan mengiyakan ini.
Kenapa? Ya salah satunya, demokrasi yang digaung-gaungkan sebagai prinsip terbaik untuk sebuah negara non-monarki, belum menjadi karakter.
Sebut saja sikap pemerintah yang selama ini melunak kepada rakyat, di sisi lain kebebasan berekspresi jauh lebih terbuka. Tapi faktanya, penangkapan atas dugaan makar masih terjadi dan lagi-lagi kental aroma masyarakat menengah tadi; yang baik secara ekonomi sekaligus pendidikan.
Penangkapan figur-figur seperti Sri Bintang dan kawan-kawan, misalnya, masih jamak dinilai sebagai pembelengguan baru atas demokrasi yang terbilang masih asing dengan kita, alias baru diakrabkan.
[irp posts="2075" name="Antara Diplomasi Jokowi, Kuda Prabowo dan Lebaran Kuda"]
Ada yang setuju dan banyak yang tak setuju. Tapi paling tidak, ketidaksetujuan atas sesuatu itu menjadi stimulus juga agar negeri ini betul-akrab dengan demokrasi.
Penangkapan atas sosok yang berseberangan, ada juga yang menilanya tak lebih sebagai metode Orde Baru tetap berkuasa yang hanya didaur ulang lagi versi pemerintahan terkini.
Bahkan ada juga yang menyetarakan presiden Joko Widodo tak berbeda dengan Pak Harto dalam melihat lawan. Menurut mereka yang berpendapat begitu, ada sinyal Jokowi akan mengulang skenario "gerak catur" yang terkesan berbeda tapi memiliki keserupaan.
Tapi, itu hanya bagian dari dugaan. Apakah nanti betul-betul menggunakan jurus Pak Harto? Masih perlu disimak dulu. Yang jelas, itu akan menjadi petunjuk baru sudah sejauh mana demokrasi di negeri ini tertanam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews