Ahok dan Rezieq Sama-sama Tak Menistakan Kitab Suci

Rabu, 9 November 2016 | 07:27 WIB
0
677
Ahok dan Rezieq Sama-sama Tak Menistakan Kitab Suci

Penyelesaian hukum terkait dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjaha Purnama alias Ahok, nampaknya masih menyisakan teka-teki. Akankah Ahok ditetapkan sebagai tersangka atau malah terbebas dari seluruh tuntutan. Hampir seluruh energi bangsa ini tersedot ke dalam pusaran masalah, mulai dari presiden, para penegak hukum, elemen agamawan, tokoh masyarakat, hingga masyarakat umum.

Padahal, bila dibandingkan dengan kasus-kasus penistaan agama yang terjadi sebelumnya, penyelesaian masalahnya terbilang cepat dan tak bertele-tele. Apa istimewanya masalah ini sehingga nampak begitu alot proses hukumnya? Berbagai wacana pun mengemuka, mulai dari penafsiran ayat, tuduhan beking-membeking hingga persoalan utama yakni pernyataan yang diduga penistaan itu sendiri.

Nah, di sini, saya tak ingin menyampuri wilayah penafsiran, sebab ada perbedaan pandangan di kalangan para mufassir yang membuat ayat tersebut lumrah dalam kajian-kajian ilmu tafsir. Juga tak mau terlibat pembahasan hukumnya, toh itu urusan Kapolri cs. Jadi, saya hanya ingin fokus pada persoalan semantik atau sisi linguistik saja, di mana ada satu poin penting yang saya lihat sepi dari pembahasan, yaitu KONTEKS.

As we know, persoalan ini bermula dari perbedaan pemaknaan atas ujaran Ahok di Kepulauan Seribu tentang Al-Maidah ayat 51 yang akhirnya menimbulkan perdebatan. Sebagian orang menilai Ahok telah melakukan penistaan agama (Islam). Terlebih, hal itu didukung fatwa MUI dan pandangan-pandangan para ulama. Sedangkan, sebagian lain menilai Ahok tak melakukan penistaan agama.

Lalu banyak pula bermunculan pembedahan dari sisi gramatikal. Mulanya, saya pikir penjelasan gramatikal akan meredam friksi yang menganga di masyarakat, tapi nyatanya tidak.

Kadang saya berpikir subjektif, jangan-jangan ini bukan persoalan penistaan agama, melainkan kita (umat Islam) yang lagi sensi dan maunya marah-marah. Atau memang Ahok pantas diberi pelajaran berharga akibat retorika publiknya yang kerap menyayat.

Namun seiring perkembangan diskursusnya, saya melihat ada yang luput tadi, yaitu pembicaraan konteks. Lantas saya bertanya, bisakah suatu ujaran (pembicaraan/dialog) terlepas dari konteksnya?

Saya langsung merujuk KBBI Departemen Pendidikan Nasional bahwa konteks adalah (1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah penjelasan makna. (2) situasi yang ada hubungannya dengan kejadian.

Merasa tak puas, saya ingin merujuk langsung pandangan para ahli. Saya menemukan ini; menurut Halliday dalam bukunya Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial (1994:6) menerangkan bahwa konteks adalah teks yang menyertai teks. Maksudnya, konteks itu hadir menyertai teks/ujaran alias inheren dengan teks/ujaran yang bisa kita pahami sebagai latar belakang terjadinya suatu komunikasi.

Sejalan dengan Halliday, Mulyana pun berpendapat bahwa konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog (baca; Mulyana, 2005). Sehingga, sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, baik itu perkataan dengan arti, amksud, maupun informasinya, sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan/komunikasi tersebut.

[irp]

Oke, ndak perlu banyak-banyak teori, langsung contoh saja. Kisahnya begini, saya ingin kopidarat dengan 5 orang sahabat. Pada pukul 14.00 WIB di kafe Bayar Langsung, ternyata hanya saya dan 3 orang sahabat yang sudah jumpa muka sesuai kesepakatan. Dua orang teman lagi memberi kabar terlambat namun sudah di jalan, sebentar lagi tiba di lokasi.

 1. Lima menit berlalu, sahabat ke-4 tiba. Saya bilang, "Cepat sekali sampainya!"

2. Sejam kemudian, sahabat ke-5 tiba. Saya bilang, "Cepat sekali sampainya!"

Sekilas, dua perkataan saya di atas memiliki kesamaan bentuk (1 & 2). Tapi, sejatinya berbeda makna. Perkataan 1, menunjukkan saya benar-benar memuji sahabat ke-4 yang tiba di kafe hanya berselang 5 menit usai ia memberi kabar. Sedangkan perkataan 2, bermakna sindiran atau bukan makna sebenarnya. Secara konteks, tentu saja perkataan saya kepada sahabat ke-5 bermakna, "kamu datang sangat terlambat".

Dari contoh itu, perkataan saya tidak bisa dilepaskan dari konteks kejadian. Ada konteks yang menyertai perkataan saya tadi. Lalu bagaimana dengan perkataan Ahok dan Habib Rezeq yang beredar di Youtube dan sama-sama bikin heboh itu? Kalau kita menonton penuh video kedua tokoh ini, ternyata kita temukan konteks yang sama, "Tidak ada penistaan". Loh, kok bisa? Mari kita bahas.

Transkip Ahok: “Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Karena Dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho (orang-orang tertawa).

 

 

  • Struktur kalimatnya adalah kalimat pasif, jadinya "... Bapak-Ibu dibohongin (orang) pakai surat Al-Maidah 51..."

 

 

  • Dibohongin: predikat

 

 

  • Orang: subjek

 

 

  • Bapak-Ibu: Objek

 

 

  • Pakai surat Al-Maidah: keterangan alat

 

 

Tentu saja, dalam konteks kalimat Ahok, yang disasar adalah subjek yaitu orang-orang yang menggunakan Al Maidah 51 dalam hubungannya dengan kontestasi DKI 1. Kalau kita melihat narasi peristiwanya, tentu saja ini merupakan respon Ahok dari peristiwa sebelumnya yang bermakna politis terkait Al-Maidah 51.

Dalam pembacaan narasi politik, saya melihat respon Ahok mengarah pada orang/kelompok yang mendeklarasikan Risalah Istiqlal. Terutama menyoal poin 4 dan 9. Biar tak bias, saya sertakan kedua poin tersebut:

Poin 4: Diserukan kepada seluruh umat Islam untuk berpegang kukuh kepada agamanya dengan hanya memilih calon Muslim, dan haram memilih non-Muslim dan haram pula golput.

Poin 9: Mengimbau kepada partai yang mendukung calon non-Muslim untuk mencabut dukungannya. Apabila tidak mengindahkan imbauan ini, maka diserukan kepada umat untuk tidak memilih partai tersebut.

Kok, bisa begitu konteks perkataan Ahok? Dalam perspektif teori naratif Walter Fisher dalam bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), salah satu hal utama yang jadi power narasi adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya.

[irp]

Nah, pembacaan narasi politik (konteks situasi) ini menjadi kuat lantaran dalam Risalah Istiqlal yang dikomandoi FPI, hadir pula sejumlah politisi dan partai politik yang berkepentingan langsung dengan kontestasi DKI 1.

Sehingga, kita bisa sampai pada konteks situasinya bahwa Ahok tidak sedang berusaha menghina para alim ulama dan umat Islam yang mendakwahkan Al Maidah 51, melainkan lebih spesifik dalam hal hak konstitusionalnya terkait kontestasi DKI 1 yang diatur dalam Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah disepakati menjadi Undang-Undang.

Ah, tapi masak tidak ada kesalahan Ahok dalam hal ini? saya pribadi menilai, AHOK SALAH dalam konteks epistemis, Yang dalam pandangan Imam Asyafii, haruslah ada kesamaan pengetahuan antara pra-partisipan komunikasi. Di sini, Ahok menyinggung Almaidah 51 yang tidak dalam kapasitas pengetahuannya, lebih dalam lagi tidak dalam kapasitas keimanannya.

Kayaknya, bukan cuma itu kesalahan Ahok. Dia telah menistakan ulama dan umat Islam. Sebentar, mari kita jawab dengan ceramah Habib Rezieq, sekaligus kita bedah struktur kalimatnya yang dianggap kontroversi juga.

Transkip:

"Kata Nabi Alihi Washolatu Wassalam, Sesungguhnya orang yang paling aku khawatir akan merusak aku punya ummat, akan menghancurkan aku punya ummat, aku lebih takut kepada dia daripada Dajjal. Ini orang lebih berhaya daripada Dajjal. Nabi ditanya, siapa ya Rasulullah? Nabi menjawab, ulamau su', ulama yang bejat, ulama yang buruk, ulama yang busuk, ulama yang suka memutarbalikkan ayat, yang mengharamkan yang halal, menghalalkan yang harom. Kaum Zindik yang menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk membenarkan daripada kemunkaran dan kebatilannya. Nauzubillahi min dzalik. Jadi kata Nabi, ini lebih berbahaya dari Dajjal, lebih menakutkan dari Dajjal, sudara. Dia nipu ummat pakai ayat Quran, dia nipu ummat pakai hadist Nabi..."

 

 

  • Struktur kalimatnya adalah kalimat aktif, jadinya "... Dia nipu ummat pakai ayat Quran, dia nipu ummat pakai hadist Nabi..."

 

 

  • Dia: subjek

 

 

  • Nipu: predikat

 

 

  • ummat: Objek

 

 

  • Pakai ayat Quran: keterangan alat

 

 

Adakah Habib Rezieq menistakan Quran? dengan tegas saya bilang, TIDAK. Kenapa? Sebab konteks situasinya adalah Rezieq sedang menegaskan dengan sebuah riwayat bahwa memang ada ulama dan kaum zindiq yang suka menggunakan ayat Quran dan hadist demi kepentingan pragmatis mereka, demi memuluskan perkongsian jahat mereka.

Tak tanggung-tanggung, Rezieq langsung meriwayatkan situasi dimana Nabi tengah berdialog dengan para sahabat tentang para ulama dan kaum zindiq yang menggunakan ayat Quran dan Hadist untuk membenarkan kemunkaran dan kebathilannya. Narasi yang dibawakan Sang Habib pun jauh dari kepentingan pragmatis, melainkan tengah berdakwah dalam sebuah majelis taklim.

Dalam konteks realitas kekinian, bisa saja yang dimaksudkan adalah para ustad abal-abal yang menjual ayat Quran dan Hadist demi mendapat kekayaan semata, menipu umat dengan kedok agama, atau para pemimpin muslim yang korup.

Jadi, setelah membaca tulisan ini, tak usahlah lagi kita berkubang dalam isu SARA yang memantik friksi antarumat muslim-nonmuslim. Kita adalah satu bahasa, satu tanah air, satu bangsa INDONESIA.

***