Mengapa Aksi Bela Islam Berujung pada 2 Cara Penggulingan Jokowi?

Minggu, 6 November 2016 | 07:58 WIB
0
632
Mengapa Aksi Bela Islam Berujung pada 2 Cara Penggulingan Jokowi?

Tidak ada demonstrasi besar umat Islam di era politik Indonesia modern sebagaimana yang ditunjukkan Aksi Bela Islam sekaligus aksi “Anti Ahok” pada 4 November 2016 lalu. Namun aksi mulia yang diakui berbagai pihak berjalan damai itu diwarnai oleh orasi provokatif di depan Istana Negara mengenai dua cara penggulingan pemerintahanan yang sah.

Adalah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang berorasi di depan massa pendemo soal dua cara penggulingan pemerintahan atau menjatuhkan Presiden RI itu, yakni lewat Parlemen Ruangan dan Parlemen Jalanan. "Duo F" Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dan Fadli Zon berada di tengah aksi unjuk rasa.

"Jatuhkan Presiden itu ada dua cara, pertama lewat Parlemen Ruangan dan kedua lewat Parlemen Jalanan," kata Fahri saat menyampaikan orasi dalam "Aksi Bela Islam" di depan Istana Negara, Jakarta, Jumat 4 November 2016, menuntut proses hukum terhadap calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait dugaan penistaan agama.

Tidak lupa Fahri mengingatkan Presiden Joko Widodo berhati-hati dalam menyikapi proses hukum terhadap Ahok yang sesungguhnya masih berlangsung. Dalam orasi itu terungkap,  Presiden mengintervensi proses hukum terhadap Ahok.

"Jadi hukum harus ditegakkan seadilnya tanpa intervensi. Kalau tidak, Parlemen Ruangan bisa bertindak untuk menggalang mosi tidak percaya atau Parlemen Jalanan yang bertindak menuntut Presiden mundur," kata Fahri.

[irp]

Parlemen Ruangan dimaksudkan upaya penggulingan Presiden di Mahkamah Konsitusi sampai Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat jika terbukti Presiden melakukan tindak kriminal. Sedangkan Parlemen Jalanan bisa dilakukan dengan pengerahan massa besar-besaran sebagaimana ditunjukkan aksi massa damai 4 November itu.

Apa yang digelorakan Fahri di depan Istana Negara itu bisa disebut "melenceng" jauh dari niat mulia jutaan massa yang ingin menunjukkan pembelaannya terhadap Islam yang dianggap dilecehkan oleh Ahok terkait pernyataannya mengenai Surat Al Maidah 51.

[caption id="attachment_1778" align="alignleft" width="457"] Soeharto dan Gus Dur (Foto: Pepih Nugraha/Kompas)[/caption]

Namun demikian, apa yang disebut Fahri dengan dua cara penggulingan pemerintah yang sah -melalui Parlemen Ruangan dan Parlemen Jalanan- itu bukan omong kosong karena pernah terjadi di Indonesia.

Pertama, penggulingan pemerintah melalui Parlemen Ruangan terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tahun 2002. Meski secara konstitusi Presiden RI tidak bisa dijatuhkan oleh Parlemen, namun para politik Senayan yang tokoh utamanya masih hidup dan bahkan sempat "bernostalgia" pada Aksi 4 November lalu, toh para politisi menggalang kekuatan penggulingan Presiden RI dengan alasan tersangkut kasus "Bulog Gate".

Alhasil, Gus Dur jatuh dan terusir dari Istana digantikan wakilnya, Megawati Soekarnoputri. Pada titik ini, Megawati harus berterima kasih pada si tokoh utama penggulingan Gus Dur yang ironisnya dua setengah tahun sebelumnya justru menaikkan Gus Dur dengan cara merampas kesempatannya menjadi Presiden RI selaku pemimpin partai (PDIP) pemenang Pemilu 1999.

Orang kemudian mengenang sekaligus mengenal si tokoh itu sebagai salah satu "Brutus" yang pandai bernyanyi dangdut di Senayan, "Kau yang mulai, kau yang mengakhiri.... Kau yang berjanji, kau yang mengingkari".

[irp]

Kedua, penggulingan pemerintah melalui Parlemen Jalanan pernah terjadi pada diri Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Pada tahun 1998, ribuah mahasiswa dan aktivis mengepung dan berkumpul di Gedung MPR/DPR Senayan Jakarta. Mereka menuntut Presiden Soeharto mundur akibat akumulasi aparat keamanan yang bertindak brutal menembaki mahasiswa Trisakti.

Di samping itu, kekuatan Soeharto selaku Presiden sudah berada di titik nadir meski ia bisa saja memerintahkan militer untuk menghabisi rakyatnya sendiri yang sedang mengepung Senayan dan siap-siap bergerak menuju Istana. Alhasil lewat pidato yang naskahnya disusun Yusril Ihza Mahendra, Soeharto menyatakan BERHENTI, bukan mundur selaku Presiden RI. Wakilnya, BJ Habibie, kemudian menggantikannya selama 2,5 tahun berikutnya.

 

Meski bernada provokatif dan tergolong "hate speech" terhadap pribadi Presiden Jokowi, tetapi apa yang diungkapkan Fahri itu ada benarnya. Setidak-tidaknya Jokowi harus menyadari bahwa dua cara itu bisa menimpa dirinya juga.

 

Namun karena niat mulia jutaan pendemo yang bermaksud menyatakan Bela Islam yang diduga telah dilecehkan Ahok telah diwarnai orasi politik Fahri mengenai dua cara lenggulingan pemerintah, maka Presiden Jokowi langsung menyatakan bahwa ada "aktor-aktor politik" menunggangi aksi damai tersebut.

Atas sinyalemen Jokowi yang disampaikan pada pergantian hari 5 November tengah malam itu Kepolisian RI sebagaimana disampaikan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar akan menyelidiki "informasi intelejen" yang menyebut aktor-aktor politik berada di belakang aksi damai yang berujung pada kerusuhan itu.

Menurut Jokowi pula, kerusuhan setelah unjuk rasa damai itu telah dimanfaatkan oleh apa yang ia sebut aktor-aktor politik. Namun Jokowi yang tampil dengan jaket cokelat dan menjadi viral di medsos itu tidak menyebut secara eksplisit apakah yang dimaksud "aktot-aktor politik" yang menunggangi itu adalah sejumlah politikus yang hadir pada aksi unjuk rasa seperti Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Amien Rais.

Adapun terhadap dugaan kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok sendiri, Kapolri Jenderal Tito Karnavian berjanji akan menuntaskannya selama dua minggu, sebagaimana yang disampaikan Wapres Jusuf Kalla saat menerima perwakilan pengunjuk rasa.

Dengan orasi Fahri Hamzah yang tanpa tedeng aling-aling itu jelaslah, bukan sekadar isapan jempol belaka mengenai adanya sekelompok orang atau segelintir pentolan politikus tertentu yang memiliki agenda menjatuhkan Presiden RI dengan cara apapun, bahkan dengan mendompleng aksi mulia membela Islam oleh jutaan pengunjuk rasa yang menggetarkan itu.

***