IDE MENULIS OPINI (5) - Mulailah dengan Oret-oretan Cakar Ayam!

Minggu, 30 Oktober 2016 | 12:00 WIB
0
637
IDE MENULIS OPINI (5) - Mulailah dengan Oret-oretan Cakar Ayam!

Mulailah dengan oret-oretan di atas secarik kertas. Itu kebiasaan saya saat memulai menulis opini. Boleh jadi kamu punya kebiasaan lain yang berbeda dengan apa yang biasa saya lakukan. No problemo!

Sekarang setiap orang pegang gawai (nah, biasakan menyebut "gawai" untuk menggantikan kata "gadget" yang ribet) dan bisa memanfaatkan piranti ini untuk membuat oret-oretan. Kerennya sih membuat sistematika dan alur penulisan; membuka dengan cara membetot perhatian pembaca seperti apa, gaya bertutur atau gaya penjelasan mana yang akan digunakan, dan alternatif solusi apa yang ingin ditawarkan. Wuih.... juga ribet, ya?

Nggak juga sih. Itulah pentingnya oret-oretan di tangan. Dengan oret-oretan di tangan itu, paling tidak gagasan utama atau "main idea" sudah termaktub, minimal kamu tidak lupalah. Tinggallah melempar pertanyaan atau pernyataan berupa asumsi-asumsi dasar yang memerlukan penjabaran. Ini juga perlu kamu catat sebagai oret-oretan kasar, nggak apa-apa disebut oret-oretan cakar ayam. "Ruh" dari penjabaran atas asumsi itulah yang akan membentuk tubuh tulisan berupa opini yang kamu tulis kelak.

[irp]

Jika memerlukan penekanan atas jawaban terhadap asumsi-asumsi itu, kamu segera naikkan derajatnya sebagai "sub-sub judul" (kalau lebih dari satu). Penting diingat, sebaiknya kata "Kesimpulan" tidak diterakan atau ditulis telanjang sebagai "sub judul", salah-salah terperosok pada penyusunan makalah atau skripsi di mana biasa tertulis "Kesimpulan dan Saran", yang harus dihindarkan saat menulis opini untuk konsumsi media massa. Masih bingung?

Begini saja. Ambil saja contoh peristiwa aktual yang terjadi. Contoh sajalah terpilihnya Ketua DPR baru. Nah, "Terpilihnya Ketua DPR Baru" itu adalah gagasan utama yang harus kamu catat, di benak atau di atas secarik kertas. Dari sini kamu bisa mem-break down (apa ya dalam bahasa Indonesia-nya? lupa nih, swear…)  -- merinci kali, ya? -- ke dalam beberapa pertanyaan kritis atau pernyataan bergizi.

Boleh saja pertanyaan itu: "Mau dibawa ke mana DPR kita?" Atau kalau mau dalam bentuk pernyataan yang datar-datar, tulis saja sementara "DPR di bawah kepemimpinan Setya Novanto", “DPR setelah beralih ke Ade Komarudin”, “Wajah DPR lima tahun ke muka", dan "Wajah DPR kita". Pernyataan berupa quasi kesimpulan atas terpilihnya Ketua DPR baru juga boleh, misalnya "Kemenangan ketiga Koalisi Merah Putih" (kalau masih Novanto), atau “Ade Komarudin Rawan Dikudeta”.

Jangan lupa, meski baru berupa "sub-sub judul" dari sebuah gagasan utama "Terpilihnya Ketua DPR Baru", mereka berpotensi juga menjadi JUDUL artikel atau judul opini loh... Kalau kamu mau ambil judul "DPR Di Tangan Setya Novanto", misalnya, maka siap-siap saja kamu memberi sub-sub bahasan mengenai (mungkin saja) wajah DPR dari masa ke masa, gaya para mantan ketua DPR dari masa ke masa, mengulas sosok Setya Novanto, DPR sebagai penyeimbang di saat Jokowi menjabat sebagai Presiden RI, tantangan DPR selama lima tahun ke depan, prioritas Undang-undang yang harus diselesaikan DPR di bawah Setya Novanto, dan seterusnya dan seterusnya....

 

Seperti sudah saya ingatkan dalam postingan-postingan sebelumnya mengenai ide dalam menulis opini ini, carilah kebaruan (novelty) dari peristiwa terbaru (aktual).

 

Tantangan penulis di mana pun adalah mencari dan menemukan kebaruan itu. Ya.... yang namanya DPR dengan fungsinya itu 'kan itu-itu saja dari masa ke masa, yang namanya pemilihan Ketua DPR juga berlangsung lima tahun sekali, dan tetap itu-itu juga, bukan?

Tetapi, cobalah cari hal-hal baru atau kebaruan dari peristiwa terbaru ini. Bisa saja bahwa Setya Novanto terpilih berkat disahkannya UU MD3 di mana pemenang pemilu tidak otomatis menjadi Ketua DPR, atau yang paling menohok, misalnya, PDIP sebagai pemenang pemilu harus menelan pil pahit karena gagal mendudukkan kadernya sebagai Ketua DPR. Atau bisa saja kedudukan Ade Komarudin sebagai Ketua DPR baru menggnatikan Novanto rawan gugatan, rawan “kudeta”.

[irp]

Wellll..... rasanya terlalu jelas dan terang-benderang saya menjelaskan. Nah tinggal kamu mencobanya, bukan? Membaca teori yang saya berikan cukup sekali saja, tidak perlu diulang-ulang. Selebihnya, kamu latihan, latihan dan terus latihan.

Seorang anak kecil saat belajar naik sepeda perlu terjatuh, jatuh, dan terjatuh lagi. Lututnya bisa jadi baret-baret, badannya memar, atau kepalanya bonyok-bonyok. Wajar saja, namanya juga belajar. Selebihnya, si anak dengan suka-cita main sepeda setiap hari tanpa bosan, mengayuh sepeda ke sana ke mari tanpa henti.

Nah, hakekat menulis bagi pemula juga sama dengan seorang anak kecil bermain sepeda. Mencoba naik sepeda, jalan mengayuh lalu terjatuh, itu biasa. Intinya, kamu jangan kalah sama anak kecil dalam urusan menulis!

Maaf agak merundung!

***