Pasar Lelang Politik di Pilgub Jakarta Itu Bernama Media Sosial

Minggu, 16 Oktober 2016 | 09:50 WIB
0
436

Kampanye terbuka Pilgub DKI Jakarta yang kompetitif, keras dan multi isu, kini beralih arena ke situs jejaring sosial (social network site). Seperti kita ketahui, intensitas perbicangan kontestasi DKI 1 oleh warge Jakarte lebih meluber dan penetratif di media sosial seperti facebook, twitter, dan blog interaktif ketimbang obrolan-obrolan selingan di warung kopi.

Fenomena media sosial (medsos) yang muncul sebagai produk generasi ketiga dalam komunikasi politik modern, benar-benar mengubah pola interaksi, komunikasi, penyampaian gagasan, kritik, pemasaran politik, hingga pengawasan yang tadinya penuh gap menjadi sangat terbuka dan borderless.

Media sosial memungkinkan siapapun menjadi produsen sekaligus konsumen informasi politik. Medsos pun telah ditata sedemikian rupa sebagai pasar lelang produk-produk politik oleh para produsen seperti partai politik maupun politisi perseorangan. Sehingga, bila ada politisi yang tak pandai “menjajakan” diri secara virtual, maka perhatian publik akan tertuju pada produk lain yang lebih baru dan segar.

Menurut Bruce I Newman (1999:3), pemasaran politik (political marketing) adalah kegiatan memasarkan produk politik berupa image, platform, pesan-pesan politik dan lain sebagainya kepada khalayak.

Tentu saja, kegiatan pemasaran politik pun mengalami perkembangan, mulai dari pemasaran dalam bentuk paket-paket retorika di pangung-panggung konvensional, pola hipodermik media massa, hingga model pemasaran terbaru yakni melalui media sosial.

Layaknya kita berjualan secara online, kegiatan pemasaran politik pun serupa itu dengan teknik promotion mix. Bedanya, produk politik bersifat intangible alias tidak menawarkan barang melainkan program, visi-misi, platform, image, dan sejumlah produk lainnya. Marketing politik bukan bertujuan menjual kandidat melainkan teknik menjalin relasi kuasa dengan konstituen.

[irp]

Di sinilah posisi media sosial begitu strategis sebagai pasar. Publik secara leluasa dapat melakukan tawar-menawar politik sebelum akhirnya secara serentak membeli produk-produk itu di bilik suara. Begitupun dengan kandidat yang hendak turun ke suatu lokasi, sudah barang tentu dapat membaca psikologi politik konstituen sekaligus posisi tawar mereka di area kantung-kantung pemilih.

Lalu, jikalau media sosial itu sebagai pasar lelang politik, lantas apa yang dipertukarkan dalam proses "jual beli" tersebut? Minimal dua hal:

Pertama, Product knowledge. Seluruh paket informasi mengenai hal-ihwal kontestasi politik (candidate, platform, brand dll) akan dipertukarkan secara dyadic dan terbuka lewat media sosial. Bahkan tak jarang, sebuah informasi yang teramat rahasia sekalipun dapat dipertukarkan dengan bebas.

Proses injeksi dan distribusi pengetahuan akan produk yang hendak ditawarkan dapat dapat dilakukan dengan efisien tanpa perlu lagi membuat event-event konvensional yang memakan banyak biaya ataupun belanja air time di televisi dan radio. Lewat interaktivity di media sosial, popularitas dan elektabilitas produk yang ditawarkan juga dapat diukur dan dievaluasi dengan pendekatan ilmiah semisal survei elektabilitas dll.

Kedua, Exchange value. Di sini kita melihat hubungan antara partai politik dan masyarakat virtual adalah hubungan literasi, dimana kedua pihak terlibat secara aktif membangun kesepahaman nilai-nilai politik yang tak sebatas transaksional. Ada kepuasan substansial yang ingin dicapai oleh kedua pihak, seperti komitmen menjalankan roda pemerintahan yang amanah dan relasional.

Mari sejenak renungkan, apa artinya menjadi bagian dalam euphoria helatan lima tahunan ini, jikalau tak ada kesepahaman dan kesepakatan yang mutualisme antara pemerintah terpilih dengan masyarakat nantinya. Jadi, ketika media sosial kini sudah berfungsi sebagai pasar lelang produk-produk politik para kontestan DKI 1, maka tawar-menawar yang rasional dan visibel harus dilakukan.

[irp]

Kalau membeli kucing dalam karung saja, kita begitu diwanti-wanti, maka membeli produk politik dalam bilik suara pun perlu ketelitian dan kehati-hatian.

Ingat, karakter produk politik tak bisa kita sentuh dalam sekali beli namun berjenjang dalam implementasi program-program pemerintahan terpilih nantinya.

Waspadalah!

***

[irp]