IDE MENULIS OPINI (3) - Opini dengan Gaya Bertutur? Coba Saja!

Sabtu, 15 Oktober 2016 | 03:30 WIB
0
823
IDE MENULIS OPINI (3) - Opini dengan Gaya Bertutur? Coba Saja!

Menulis opini tidak harus persoalan yang berat-berat macam Pilkada langsung atau Pilkada tidak langsung yang bikin kening berkerut. Kunci know the audiences tetap harus dipegang, bahwa seorang penulis opini harus tahu kepada khalayak mana pesan akan disampaikan. Kalaulah terpaksa membuat artikel mengenai Pilkada, khususnya Pilkada DKI Jakarta yang mengharu-biru itu untuk konsumsi anak-anak remaja, sesuaikanlah ragam bahasa yang sesuai buat mereka. Ya, ketahuilah pembacamu!

Apa yang kamu rasakan, jadilah puisi indah …(setidak-tidaknya indah menurutmu) apa yang kamu lihat dan alami, jadilah berita... (setidak-tidaknya penting dan menarik buatmu), apa yang kamu khayalkan, jadilah fiksi... (setidak-tidaknya fiksi keren menurutmu) dan apa yang kamu pikirkan jadilah opini... (setidak-tidaknya opini dahsyat menurutmu). Ini rumus baku dalam dunia tulis-menulis dan jangan pernah kamu merasa rendah diri.... PD aja lagi!

Jadi di sini harus saya garisbawahi, sesungguhnya "bahan baku" menulis itu tidak jauh-jauh, ADA DALAM DIRI kamu sendiri! Catat poin ini, ya!

Percayalah dengan kemampuanmu sendiri karena kamu dibekali Tuhan kemampuan merasakan, melihat, berimajinasi, dan lebih-lebih.... berpikir, yang kesemuanya itu adalah modal dasar menulis alias bahan baku utama menulis.

[irp]

Dalam menulis opini biasa berlaku hukum "yang ringan bisa jadi berat" dan sebaliknya "yang berat bisa jadi ringan". Kaidah pertama terkait dengan bahasan mengenai peristiwa/fenomena keseharian tetapi ditinjau dari sisi filsafat. Jangan takut menulis yang berat-berat, sebab tetap ada "audiences"-nya sendiri untuk tulisan semacam ini.

Kaidah kedua, inilah yang membuat tulisan bisa tampil keren.... sebab seberat apapun bahasan dan persoalannya di tangan penulis andal, tulisan menjadi mudah dipahami. Nah, kamu mau pilih yang mana?

Sebagai pemula, atau bahkan penulis yang sudah mahir sekalipun, saya sarankan tempuhlah kaidah kedua, "jadikanlah persoalan/bahasan berat menjadi ringan dan mudah untuk dipahami" oleh pembaca dengan strata analisa berbeda.

Jujur, cara ini malah memerlukan keterampilan tambahan, yakni bagaimana penulis bisa menyesuaikan bahasan berat itu ke dalam bahasa bertutur ringan sebagaimana si penulis berbicara. Istilah kerennya story telling, tetapi saya biasa membahasakannya "tulisan dengan gaya bertutur" saja.

 

Apakah tulisan dengan gaya bertutur akan "merendahkan" bobot tulisan atau menjadikan tulisan kehilangan marwahnya (wibawa)? Tergantung dari sudut mana melihatnya.

 

Dalam pandangan penulis atau editor "garis keras" yang berpegang pada pakem penulisan yang "baku, baik dan benar", tentu saja cara menulis artikel/opini dengan gaya bertutur akan merendahkan marwah tulisan. Akan tetapi jangan lupa, di belahan lain, koran sekaliber The New York Time, mulai lebih gencar menerapkan penulisan dengan gaya bertutur ini; bukan hanya untuk opini, melainkan berita yang ditulis wartawan profesional sekalipun!

The Niemand Lab atau The Poynter Institute gencar membahas soal story telling ini dalam menulis berita maupun opini. Bayangkan, berita yang selama ini terpenjara oleh kaidah 5W1H dan rumus Rudyard Kippling harus dijejalkan di lead (paragraf) pertama yang membuat berita menjadi kerontang dan miskin gaya, tiba-tiba menjadi berita sebagaimana wartawan atau reporter menceritakannya dengan gaya bertutur!

Apakah ini kemenangan gaya blogger yang sudah biasa bertutur kata lewat tulisan melawan gaya bahasa jurnalis yang terpenjara oleh kaidah 5W1H? Saya belum berani menyimpulkannya sejauh itu, salah-salah saya dituding "jurnalis murtad" karena sampai sekarang profesi saya tidak lain adalah jurnalis.

Tetapi satu hal, saya terbiasa "open mind", memandang dan menerima sesuatu yang baru dengan pikiran terbuka. Jarang saya bersikap defensif apalagi mempertahankan kelaziman yang belum tentu benar tetapi sudah dianggap sebagai "kebenaran". Contohnya ya menulis berita atau opini dengan gaya bertutur tadi.

[irp]

Diterapkan secara drastis pun tentu akan memantik perlawanan. Bukan hanya dari editor atau penulis senior arus utama yang barangkali lebih nyaman menyampaikan pesan dengan gaya bahasa kaku untuk media massa, perlawanan bisa jadi datang dari pembaca itu sendiri.

Bayangkan kamu baca salah satu berita di Harian Kompas, misalnya, tetapi si wartawan yang menulis berita itu menggunakan kata "saya" yang lebih ekspresif, intim dan interaktif (dengan pembaca), pastilah kamu bertanya-tanya; "Ini berita apa curhat blogger?"

Itu semua karena persoalan tidak biasa, persoalan melawan "kelaziman" (mainstream), dan persoalan melawan "kenyataan" yang selama ini dianggap benar.

Kalau kamu masih berpola pikir mainstream bahwa membuat berita atau opini menggunakan gaya bertutur itu sebagai ketidaklaziman dan bahkan keliru, itu artinya kamu tidak bisa "move on" atas kenyataan bahwa "gaya lain" dalam penulisan, yakni gaya bertutur, sudah diambang pintu dan bahkan sudah siap melangkah masuk.

Coba kamu pikir-pikir dulu sebelum saya melanjutkan bahasan ini lebih jauh.....

(Bersambung)

***

[irp posts="1301" name="IDE MENULIS OPINI (2) - Cari Jawaban untuk Pertanyaan Mengapa"!"]