Dari sisi status, Majelis Ulama Indonesia (MUI),tak lebih dari lembaga swadaya masyarakat. Namun, tak dapat ditampik pengaruh organisasi yang konon mewadahi para ulama di Indonesia itu sangat besar. Apa saja yang menjadi fatwa mereka acap menjadi pegangan masyarakat muslim.
Sekali lagi, dari sisi status, mereka adalah LSM. Namun posisi mereka di tengah kalangan masyarakat muslim terbilang sangat sakti. Mereka memiliki kemampuan memengaruhi alam pikir masyarakat, tak terkecuali dalam urusan makanan mana yang boleh dan tak boleh dijadikan pengganjal perut.
Teranyar, AntaraNews merilis, dari sekadar proses sertifikasi produk halal saja, mereka mendapatkan pendapatan tak kurang dari Rp 240 triliun per tahun. Perlu digarisbawahi, jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan dari zakat yang notabene sebagai salah satu dari lima kewajiban muslim, selain syahadat, salat, puasa, dan haji.
Bagaimana tidak, dalam laporan tahun 2015 saja -menurut data pajak.go.id- Badan Zakat Infak dan Sedekah (BAZNAS) hanya mendapatkan sekitar Rp 98 miliar.
[irp]
Itu sekadar gambaran saja, seperti apa pengaruh MUI, terutama jika dikaitkan dengan kekuatan mereka "menanamkan" kebutuhan publik pada eksistensi mereka.
Belum lagi jika dikaitkan dengan berbagai dimensi lainnya, dari persoalan sosial hingga politik. Apalagi memang dari lima khittah lembaga itu, di antaranya memberikan wewenang pada mereka memberikan fatwa di samping sebagai pembimbing bagi masyarakat muslim.
Maka itu, apa yang menjadi sebuah keputusan lembaga ini, berdampak serius pada sudut pandang masyarakat muslim dan bahkan dalam keputusan-keputusan mereka.
Tak terkecuali dalam urusan politik. Belakangan mereka pun kerap menghiasi berbagai media di tengah polemik yang mengarah ke pertarungan politik, terutama di DKI Jakarta, di mana umat muslim terpecah dalam dua kubu yang anti-pemimpin nonmuslim dengan yang pro.
[irp]
Ada kesan terlihat dari sikap MUI di tengah polemik itu, kecenderungan mengamini hal-hal beraroma diskriminasi. Mereka terseret ke sana hingga mengeluarkan berbagai pernyataan yang disimpulkan bahwa mereka berdiri di tengah pendapat mayoritas. Nyaris tak ada telaah yang adil, sehingga sudut pandang masyarakat muslim pun makin kokoh mengiyakan tudingan-tudingan beraroma diskriminasi.
Memang, MUI terlihat berusaha untuk menjalankan satu peranan dari lima khittah mereka yakni Ri’ayat wa khadim al ummah, atau pembimbing dan pelayan umat. Namun di sini juga memperlihatkan satu kecenderungan yang rentan menyesatkan alam pikir masyarakat luas, yang berujung pembenaran atas diskriminasi.
Maka itu, mau tak mau harus diakui, Pilkada DKI takkan dapat lepas dari gerak langkah organisasi tersebut. Entah untuk menciptakan pesta demokrasi itu berjalan elegan dan berisikan semangat kebangsaan, atau tersandung hal-hal yang mengarah pada meruncingnya persoalan beraroma perpecahan.
Dari yang telah dimunculkan sejauh ini yang memiliki korelasi langsung pada perjalanan menuju Pilkada pada 2017 mendatang, MUI belum terlihat mampu menjembatani umat ke jalan tepat agar terhindar dari jurang kebencian dan kemarahan ke kalangan umat agama lain.
Apakah ke depan akan terus seperti itu? Hanya MUI dan Tuhan saja yang tahu.
***
[irp]
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews