Ahok versus Tempo Edisi Berikutnya, Berpihak kepada Siapa?

Jumat, 7 Oktober 2016 | 09:02 WIB
0
678
Ahok versus Tempo Edisi Berikutnya, Berpihak kepada Siapa?

Sampul majalah Tempo edisi Juni 2016 itu menggambarkan seorang pria berkacamata dan berbusana putih-putih sedang berdiri di antara deburan ombak berupa tangan-tangan manusia. Di antara tengan-tangan manusia itu terselip lembaran uang kertas. Pria itu memakai pelampung keselamatan yang melilit di perutnya.

Judul sampul majalah itu berbunyi Duit Reklamasi untuk Teman-teman Ahok dengan keterangan tambahan di bawahnya; “KPK menelusuri dugaan aliran dana pengembang reklamasi ke relawan Ahok. Kesaksian pembawa uang”.  Pria berkacamata dan berpelampung itu digambarkan sebagai Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Atas laporan utama majalah Tempo yang menceritakan bagaimana uang sebanyak Rp 30 miliar itu sampai ke Teman Ahok ini Anggota DPR dari PDI Perjuangan Junimart Girsang dalam rapat kerja dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  pada Rabu 15 Juni 2016,  langsung mempertanyakan soal aliran dana ke Teman Ahok tersebut.

"Kami mendapat info, ada dana pengembang reklamasi Rp 30 miliar untuk Teman Ahok melalui Sunny dan Cyrus. Saya tidak tahu apakah KPK telah melakukan pemeriksaan pada Sunny atau Cyrus,” kata Junimart sebagaimana dikutip Tempo.co, 20 Juni 2016.

Sunny yang dimaksud Junimart adalah Sunny Tanuwijaya yang merupakan staf khusus Gubernur DKI Jakarta Ahok, sementara Cyrus Network Public Affairs adalah lembaga konsultan politik yang dipimpin Hasan Nasbi. Tentu saja Sunny menolak mentah-mentah “temuan” Majalah Tempo yang masih berupa “dugaan” itu.

Grup Majalah Tempo dengan Koran Tempo dan Tempo.co kemudian memborbardir pemberitaan susulan atas “temuan” berupa “dugaan” itu dari berbagai sisi. Namun belakangan Dewan Pers memutuskan Tempo bersalah atas dua berita yang menuduh Ahok dan Teman Ahok menerima dana dari pengembang.

Dua berita yang oleh Dewan Pers diputuskan sebagai melanggar kode etik itu ialah KPK Usut Rp 30 Miliar darri Pengembang ke Teman Ahok yang ditayangkan Tempo.co 16 Juni 2016 dan Staf Ahok Disebut sebagai Perantara Uang Pengembang, dimuat di Koran Tempo pada hari yang sama.

Dari adanya pemberitaan Majalah Tempo  cum suis media satu grupnya tentang dugaan adanya uang pengembang kepada Teman Ahok, disusul merahnya Ahok kepada wartawan Tempo saat meliput di Balai Kota, juga pengaduan soal etis atas berita tersebut ke Dewan Pers sampai kemudian Dewan Pers memutuskan dua berita itu melanggar kode etik jurnalistik, jelas ada “sesuatu” antara Tempo dengan Ahok dan kompradornya.

Dari sisi Tempo, jelas ini karya jurnalistik yang dilindungi Undang-undang Pers dan karenanya sah-sahnya menentukan sudut pandang (angle) pemberitaan. Adagium “netral” dalam jurnalistik sudah menjadi barang usang yang harus ditinggalkan dan ditanggalkan, karenanya harus diganti dengan “keberpihakan”.

Dari sisi Teman Ahok atau Ahok sendiri yang menjadi sasaran tembak media menilai, “orkestra” yang dimainkan Tempo tidak lebih dari kepentingan politik dengan maksud memojokkan dirinya terkait pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta petahana.

Bagi Tempo, fakta-fakta yang muncul kemudian tentang Ahok, tidak hanya sekadar berita tentang reklamasi Jakarta oleh pengembang yang sarat dugaan adanya politik uang itu, terus diolah dengan sudut pandang yang tentu saja “menyudutkan” Ahok dan dalam dunia jurnalistik --sekali lagi-- menentukan sudut pandang adalah sah-sah saja dan itu domain media.

Sudut pandang yang dimainkan Koran Tempo edisi Kamis 6 Oktober 2016 lalu yang berjudul Pemilih Loyal Ahok Berpaling; Ahok ditinggalkan 5,5 persen pemilih loyal, adalah sah dari sisi jurnalistik. Angle ini sangat menarik dan memikat pembaca dibanding mengangkat isu yang tak kalah menariknya bahwa elektabilitas Ahok tersisa hanya tinggal 31 persen baik hasil Lingkaran Survei Indonesia maupun hasil survei terbaru PolMark Indonesia.

Padahal, enam bulan sebelumnya, elektabilitas Ahok demikian perkasa dengan angka 59,3 persen alias hampir dua kali lipat. Bayangkan, hanya dalam waktu enam bulan elektabilitas Ahok tergerus sampai tinggal separuhnya! Ini juga sudut pandang yang menarik, bukan? Apa jadinya kalau survei dilakukan Desember 2016 atau Januari 2017 sebulan sebelum pelaksanaan Pilkada, di “atas survei” Ahok mungkin sudah jadi “underdog”.

Hanya saja yang cukup menarik adalah keberadaan PolMark Indonesia selaku pelaku survei di saat Eep Saefullah Fatah, si empunya lembaga survei partikelir itu, secara bersamaan merupakan konsultan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilkada 2017 ini. Tidak adakah konflik kepentingan di dalamnya terkait person pimpiman sebuah lembaga survei dengan posisinya yang juga konsultan untuk pasangan yang disurveinya?

Lihat saja pernyataan Eep Saefullah Fatah yang menegaskan bahwa pasangan Anies-Sandiaga berpotensi menjadi jawara di putaran pertama Pilkada DKI Jakarta, mengulang fenomena serupa dalam Pilkada 2012 lalu di mana pasangan Jokowi-Ahok menang di putaran pertama dan menang lagi di putaran kedua.

Artinya, Anies-Sandiaga diyakini dapat menjadi Gubernur dan wakilnya karena sudah dipastikan menang di putaran kedua. Tentu saja petahana Ahok dan pasangannya Djarot Saeful Hidayat dapat ditumbangkan dengan mudah.

Ini bukan main-main, reputasi Eep dalam urusan beginian sudah terbukti. Naiknya Jokowi-Ahok sebagai gubernur dan wakilnya pada Pilkada 2012 tidak lepas dari tangan dinginnya. Pernyataan Eep tentu saja terukur karena merupakan hasil survei PolMark Reseacrh Center (PRC), PolMark Indonesia, lembaga yang dipimpinnya, yang mengadakan survei 28 September hingga 4 Oktober 2016. Sebelumnya PRC telah mengadakan dua kali survei, yaitu pada Februari dan Juli 2016.

Survei ini dilakukan terhadap 1.100 responden yang merupakan warga Jakarta yang sudah punya hak memilih. Responden diambil dengan metode multistage random sampling (sampel acak bertingkat) dengan wawancara tatap muka. Margin of error survei ini adalah +/- 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan responden terdistribusi secara proporsional di setiap Kota di DKI Jakarta.

Hasil survei PolMark mengenai elektabilitas Ahok yang terus menurun sudah bukan “berita penting dan menarik” lagi.  Misalnya saja ketika hasil survei menunjukkan elektabilitas pasangan Ahok-Djarot  31,9 persen, Anies-Sandiaga 23,2 persen dan Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni 16,7 persen dengan masyarakat Jakarta yang belum menentukan pilihan sebesar 28,2 persen bukan berita hot lagi.

Sama halnya dengan media yang seharusnya independen, lembaga survei dan hitung cepat seharusnya juga tidak boleh berpihak dan menguntungkan atau merugikan pasangan tertentu. Lembaga survei tidak boleh mengganggu tahapan pilkada, tetapi harus menjaga situasi tetap kondusif, lancar, tertib dan bisa meningkatkan partisipasi publik.

Namun soal keberpihakan ini publik tentu belum melupakan koran Jakarta Post yang pada Pilpres 2014 lalu yang dalam editorialnya terang-terangan menolak pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun karena pasangan yang bertarung hanya ada dua, maka keberpihakan Jakarta Post jelas, yaitu kepada Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Berbeda dengan Pilkada DKI Jakarta yang terdapat tiga pasangan. Ketika Tempo secara tidak langsung dalam pemberitaannya menyatakan penolakannya terhadap Ahok, kepada siapa keberpihakan Tempo akan dilabuhkan? Kepada pasangan Anies-Sandiaga atau Agus-Sylvi?

Pertanyaan ini akan lebih terjawab ketika Ahok-Djarot masuk putaran kedua Pilkada nanti. Atau kalau Ahok-Djarot gagal masuk ke putaran kedua, usailah sudah perseteruan Tempo versus Ahok.

Setidak-tidaknya kasus Jakarta Post dulu dengan Tempo sekarang menunjukkan satu tren media di Indonesia, yaitu keberpihakan yang kental, kentara, atau bahkan terang-terangan dan secara bersamaan sudah meninggalkan netralitasnya. Bagi publik pembaca, sulit untuk mendambakan media yang benar-benar imparsial atau independen.

Konsekuensinya, mau tidak mau publik dalam hal ini khalayak pembaca akan memilih media yang “senafas” dan seirama dalam hal pilihan politik dengannya, seburuk apapun kualitas media tersebut.

Di mata pembaca, sekarang ini tidak ada media baik dan media buruk, yang ada adalah hanyalah media yang cocok dan selaras dengan minat serta kepentingan politiknya, apapun medianya.

Ini barangkali salah satu thesis mengapa publik semakin kehilangan selera terhadap media arus utama yang terlalu menunjukkan kecondongan atau keberpihakannya kepada pasangan tertentu sehingga menjadikan media sosial sebagai pelariannya.

***