Bakal calon gubernur Jakarta dari Gerindra, Sandiaga Uno, diam-diam melakukan pendekatan (PDKT) kepada Sekretaris Daerah DKI Saefullah untuk dijadikannya sebagai pendamping. Bukan sebagai pendamping hidup, melainkan sebagai bakal calon wakil gubernur.
Tadi pagi Sandiaga mengunjungi Balai Kota untuk bertemu Saefullah. Namun ia menolak anggapan pertemuan itu sebagai pembicaraan politik, apalagi berniat meminang Saefullah sebagai pendamping. “Sama Pak Sekda belum bicara politik,” kilah Sandiaga sebagaimana terbaca di Kompascom.
Saat berada di Balai Kota, Sandiaga bahkan bertemu Gubernur DKI Jakarta basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang juga akan bertarung dalam palagan Pilkada DKI 2017. Di Balai Kota, Sandiaga berbasa-basi dengan mengajak Ahok berlari pada hari Minggu, tetapi Ahok menolak ajakannya. “Aku tolak karena aku nggak biasa lari,” kata Ahok.
Siapa sebenarnya sosok Saefullah yang didekati Sandiaga, mengingat ada ribuan nama Saefullah di Jakarta ini?
Bicara Saefullah sekarang ini identik dengan konsep hasrat untuk berkuasa atau “the will to power”-nya Friedrich Nietzshe. Hasrat ini tidak dilarang, sebab ia merupakan hak asasi setiap orang. Namun ketika hasrat itu meletup sedemikian hebat dan muncul secara tiba-tiba, apalagi Saefullah PNS aktif dan bukan politisi, maka publik layak bertanya-tanya.
Saefullah mengaku siap maju sebagai bakal calon gubernur atau wakil gubernur DKI Jakarta jika ada partai politik yang meminatinya. Namun sejauh ini belum ada parpol yang meliriknya, apalagi mengerlingkan mata.
Bukan karena Saefullah kurang ganteng, lebih karena partai-partai lain juga kebingungan dalam mengajukan calonnya, termasuk 7 parpol yang tergabung dalam Koalisi Kekeluargaan alias KoKeluar.
Saefullah adalah anggota ormas Islam, Nahdlatul Ulama yang pada Juni lalu sempat mau dijodohkan oleh para petinggi PKB level DKI Jakarta dengan Sandiaga. Akan tetapi, perjodohan itu tidak berlanjut karena pasti tidak akan disetujui orangtua masing-masing.
Tentang niat pencalonannya itu, Saefullah mengaku didorong oleh Nahdlatul Ulama, ormas yang membesarkannya. “Dorongannya bukan keras nih, tapi didorong keras sakali untuk maju,” kata Saefullah.
Saefullah adalah orang Jakarta tulen, mesti tidak disebut-sebut sebagai “Anak Betawi Asli” yang sudah terlebih dahulu melekat ke Si Doel. Ia dilahirkan di Sungai Kendal, Rorotan, Jakarta Utara, 11 Februari 1964. Ia merupakan Doktor jebolan Universitas Padjadjaran dan memulai memegang jabatan sebagai Kepala Sudin Pendidikan Jakarta barat tahun 2003-2004.
Ia mulai menjabat Sekda DKI sejak 11 Juli 2014 dan sebelum menjabat sebagai Sekda yang disandangnya sampai sekarang, ia adalah Wali Kota Jakarta Pusat dari 2008 hingga 2014. Jabatan Sekda dimulai sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo, menggantikan Fadjar Panjaitan.
Bahkan saat menjabat Wali Kota Jakarta Pusat, ia berada di bawah Gubernur Fauzi Bowo. Melihat catatan ini, nyatalah bahwa Saefullah PNS karier yang cemerlang. Akan tetapi, “The will to power” lebih menggoda hatinya. Bahkan ia berniat mengundurkan diri selaku PNS jika ada partai yang serius menimangnya, bukan asal PHP, pemberi harapan palsu.
Jauh sebelum Ahok menyebut nama Heru Budi Hartono dan kemudian Djarot Saiful Hidayat, nama Saefullah sempat digadang-gadang orang yang bakal mendampingi Ahok selaku bakal calon gubernur.
Entah kenapa Ahok galau dalam hal memilih pendampingnya sehingga tidak jadi berpasangan dengan Saefullah. Sampai sekarang boleh dibilang Ahok masih jomblo, meski sempat mengaku masih menjalin hubungan dengan Djarot.
Seperti Ahok masih harus "berpacaran" lagi dengan Djarot pada Pilkada Jakarta 2017 mendatang.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews