Istilah Ilmiah dalam Novel Belenggu

Belenggu jadi bukan hanya kisah tentang cinta segitiga, tetapi juga catatan zaman, tentang cara manusia modern mencari makna diri di tengah perubahan sosial, budaya, dan batin.

Minggu, 25 Mei 2025 | 07:05 WIB
0
41
Istilah Ilmiah dalam Novel Belenggu
Ilustrasi Mencri 'Makna' (Sumber Pexels oleh pratik prasad)

Belenggu adalah novel rkarya Armijn Pane yang terbit pada 1940 (sebelum kemerdekaan), mengangkat persoalan batin dan rumah tangga seorang dokter bernama Sukartono. Sebagai latar, profesi Tono sebagai dokter jelas memengaruhi gaya penulisan novel ini.

Namun yang menarik, Belenggu tidak sekadar menjadikan dokter sebagai tokoh utama, tapi juga menampilkan dunia kedokteran dan psikologi melalui kosakata yang sangat ilmiah, bahkan asing untuk pembaca awam termasuk saya sendiri.

Karena itulah yang membuat saya bertanya-tanya: bagaimana seorang novelis tahun 1940-an bisa begitu akrab dengan kata-kata seperti diagnose, chronisch, psychiatrie?
Jawabannya memang sederhana: karena tokohnya seorang dokter.

Tapi kalau dilihat lebih dalam, penggunaan istilah medis atau ilmiah itu tidak hanya memperkuat karakter Tono, tapi juga menjadi cara untuk menyampaikan isi hati yang tidak bisa diungkap lewat kata-kata biasa.

Berbagai istilah seperti diagnose, chronisch, prognose, psychiatrie, therapie, muncul dalam narasi maupun dialog. Istilah ini tidak hanya untuk kesan “profesional”, tetapi juga menggambarkan cara tokoh-tokohnya melihat dunia. Misalnya, dalam menggambarkan hubungan rumah tangga yang retak, dikatakan:

“Apa jadinya nanti? Pikirannya merintis jalan, seolah-olah menyelidiki penyakit, membuat prognose. Selamanya seperti sekarang? Berpisah-pisahan? Selalu saja chronisch? Penyakit chronisch berangsur-angsur akan merusakkan badan, seperti syphilis mengendap-endap dalam badan, pada suatu ketika akan terbit dengan hebat, atau seperti penyakit t.b.c.” (Belenggu, hlm. 98).

Kata-kata medis ini dipakai untuk menggambarkan rasa sakit hati dan kebuntuan dalam hubungan.

Rasanya kayak luka batin itu bukan sekadar “sakit hati biasa”, tapi penyakit yang diam-diam menggerogoti, seperti t.b.c. atau syphilis. Dari sini saya merasa: oh, tokoh ini memang merasakan hancur.

Tak hanya itu, Armijn Pane juga memasukkan istilah teknis seperti koptelefoon, opname. Dalam dialog Yah, diceritakan:

“Entahlah, Tono," kata Yah dengan pelahan-lahan. "Aku tiada pernah menduga hatiku sendiri." Dia berhenti sebentar, seolah-olah mengenangkan sesuatu hal.
“Ada kawanku, pernah menyanyi di depan radio. Entah apa sebabnya dia hendak memakai koptelefoon, tapi sebentar kemudian dilepaskannya lagi, dia menjadi bingung, karena didengarnya suara orang lain, suaranya sendiri tiada dikenalnya... Dia tiada percaya suara itu memang suaranya sendiri... Tiada hendak dikenalnya. Tidak benar, katanya, salah opname katanya.” (Belenggu, hlm. 101).

Bagi saya, ini bukan cuma cerita soal alat perekam atau teknologi, tapi juga metafora tentang identitas. Menunjukkan kenyataan identitas bisa seasing suara sendiri saat didengar dari luar. Kadang kita juga tidak mengenali diri sendiri. Bagi saya, ini cara Pane menggambarkan betapa mudah kita kehilangan diri sendiri dalam kehidupan modern yang kaku dan penuh standar.

Dari hal tersebut, Belenggu, menunjukkan bahwa Armijn Pane, yang memiliki latar pendidikan tinggi dan wawasan luas, tidak menulis Belenggu dengan gaya narasi biasa. Ia menyisipkan istilah dan logika ilmiah ke dalam struktur psikologis para tokohnya. Dengan begitu, Belenggu jadi bukan hanya kisah tentang cinta segitiga, tetapi juga catatan zaman, tentang cara manusia modern mencari makna diri di tengah perubahan sosial, budaya, dan batin.

***