Belenggu jadi bukan hanya kisah tentang cinta segitiga, tetapi juga catatan zaman, tentang cara manusia modern mencari makna diri di tengah perubahan sosial, budaya, dan batin.
Belenggu adalah novel rkarya Armijn Pane yang terbit pada 1940 (sebelum kemerdekaan), mengangkat persoalan batin dan rumah tangga seorang dokter bernama Sukartono. Sebagai latar, profesi Tono sebagai dokter jelas memengaruhi gaya penulisan novel ini.
Namun yang menarik, Belenggu tidak sekadar menjadikan dokter sebagai tokoh utama, tapi juga menampilkan dunia kedokteran dan psikologi melalui kosakata yang sangat ilmiah, bahkan asing untuk pembaca awam termasuk saya sendiri.
Karena itulah yang membuat saya bertanya-tanya: bagaimana seorang novelis tahun 1940-an bisa begitu akrab dengan kata-kata seperti diagnose, chronisch, psychiatrie?
Jawabannya memang sederhana: karena tokohnya seorang dokter.
Tapi kalau dilihat lebih dalam, penggunaan istilah medis atau ilmiah itu tidak hanya memperkuat karakter Tono, tapi juga menjadi cara untuk menyampaikan isi hati yang tidak bisa diungkap lewat kata-kata biasa.
Berbagai istilah seperti diagnose, chronisch, prognose, psychiatrie, therapie, muncul dalam narasi maupun dialog. Istilah ini tidak hanya untuk kesan “profesional”, tetapi juga menggambarkan cara tokoh-tokohnya melihat dunia. Misalnya, dalam menggambarkan hubungan rumah tangga yang retak, dikatakan:
“Apa jadinya nanti? Pikirannya merintis jalan, seolah-olah menyelidiki penyakit, membuat prognose. Selamanya seperti sekarang? Berpisah-pisahan? Selalu saja chronisch? Penyakit chronisch berangsur-angsur akan merusakkan badan, seperti syphilis mengendap-endap dalam badan, pada suatu ketika akan terbit dengan hebat, atau seperti penyakit t.b.c.” (Belenggu, hlm. 98).
Kata-kata medis ini dipakai untuk menggambarkan rasa sakit hati dan kebuntuan dalam hubungan.
Rasanya kayak luka batin itu bukan sekadar “sakit hati biasa”, tapi penyakit yang diam-diam menggerogoti, seperti t.b.c. atau syphilis. Dari sini saya merasa: oh, tokoh ini memang merasakan hancur.
Tak hanya itu, Armijn Pane juga memasukkan istilah teknis seperti koptelefoon, opname. Dalam dialog Yah, diceritakan:
“Entahlah, Tono," kata Yah dengan pelahan-lahan. "Aku tiada pernah menduga hatiku sendiri." Dia berhenti sebentar, seolah-olah mengenangkan sesuatu hal.
“Ada kawanku, pernah menyanyi di depan radio. Entah apa sebabnya dia hendak memakai koptelefoon, tapi sebentar kemudian dilepaskannya lagi, dia menjadi bingung, karena didengarnya suara orang lain, suaranya sendiri tiada dikenalnya... Dia tiada percaya suara itu memang suaranya sendiri... Tiada hendak dikenalnya. Tidak benar, katanya, salah opname katanya.” (Belenggu, hlm. 101).
Bagi saya, ini bukan cuma cerita soal alat perekam atau teknologi, tapi juga metafora tentang identitas. Menunjukkan kenyataan identitas bisa seasing suara sendiri saat didengar dari luar. Kadang kita juga tidak mengenali diri sendiri. Bagi saya, ini cara Pane menggambarkan betapa mudah kita kehilangan diri sendiri dalam kehidupan modern yang kaku dan penuh standar.
Dari hal tersebut, Belenggu, menunjukkan bahwa Armijn Pane, yang memiliki latar pendidikan tinggi dan wawasan luas, tidak menulis Belenggu dengan gaya narasi biasa. Ia menyisipkan istilah dan logika ilmiah ke dalam struktur psikologis para tokohnya. Dengan begitu, Belenggu jadi bukan hanya kisah tentang cinta segitiga, tetapi juga catatan zaman, tentang cara manusia modern mencari makna diri di tengah perubahan sosial, budaya, dan batin.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews