Hadiah Terbaik Apa di 77 Tahun Ulang Tahun Indonesia?

Masyarakat Jawa sangat "mengagungkan" angka 7 sebagai segala hal baik. Sesuatu yang menunjukkan kesadaran akan keterbatasan, kebutuhan akan kebersamaan dan kesediaan berbagi secara adil kepada sesama.

Selasa, 23 Agustus 2022 | 07:50 WIB
0
145
Hadiah Terbaik Apa di 77 Tahun Ulang Tahun Indonesia?
Bus di Jakarta tahun 1960-an (Foto: LIFE)

Di masa gelap Orde Baru, kata "hadiah" memiliki makna ironis dan tragik yang luar biasa. Terutama kalau membanding, hadiah untuk anak Presiden dengan keluarga biasa.

Perlu dicatat, keluarga biasa di sini pembandingnya juga keluarga yang "rada gedongan", elit yang barangkali tak semua keluarga mampu juga melakukannya. Sialnya hadiah di situ, selalu dimaknai sebagai apa yang disebut bagian dari upaya memandirikan bangsa. Sesuatu yang populer sebagai "swasembada", suatu capaian yang hingga hari ini masih juga dianggap sebagai ukuran kemajuan. 

Swasembada sendiri dalam hubungan antar bangsa, sering diejek sebagai "mental local pride", sesuatu kebanggaan sesaat yang dilebih-lebihkan. Mengingat hadirnya globalisasi sesungguhnya telah meruntuhkan hal seperti itu.  

Saya ingin sedikit bernostalgia, kembali pada ironi dan tragika "hadiah dari Bapak ke Anak" di masa Orde Baru. Dulu ketika seorang anak telah menginjak usia akil balik, salah satu hadiah paling "wah" adalah ketika ia dibelikan televisi untuk ditaruh di kamarnya sendiri. Tapi Pak Harto memberi hadiah masing-masing anaknya tidak sekedar pesawat televisi, tetapi stasiun televisi.

Bahkan makin menjadi, bukan sekedar hadiah sebuah mobil. Ketika bahkan antar saudara kandung (antar Bambang dan Tommy) saling bersaing untuk membangun pabrik mobil.  

Sedemikian rupa, hingga bisnis keluarga besar ini menggurita sampai ke hal-hal yang tidak lumrah. Bagian yang sampai sekarang masih sering membuat saya geli adalah hadiah pabrik kondom di Banjaran Bandung kepada salah satu anaknya. Mungkin, Si Bapak tahu bahwa kekuasaan dan kekayaan itu berkosekuensi pada libido yang makin tak terkendali.

Ironisnya sekali lagi, hal tersebut selalu saja dibalut sebagai "bagian dari swasembada". Yang tentu saja menggunakan uang negara untuk membangunnya. Dan mudah diduga, proyek seperti ini tak berumur panjang. Amburadul dan akhirnya sekalipun tetap ada, pasti akan beralih kepemilikan.

Lalu apa (ada) yang menjadi hadiah bagi ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke 77 ini? 

Minggu lalu, Tim Nasional Sepakbola Indonesia U-16 berhasil menjuarai Piala AFF. Kemenangannya diklaim sebagai hadiah bagi "moment Agustusan" ini. Tapi seorang pengamat sepakbola, mengejeknya agar hal tersebut jangan dibesar-besarkan. Di usia di bawah 16 tahun, bukanlah ukuran keberhasilan di masa datang.

Di level ini, semestinya prestasi bukan menjadi parameter. Di usia ini, para pesepakbola masih diharapkan untuk bermain untuk kegembiraan, bukan kengototan apalgi mengejar prestasi instan. Dimana sportifitas, mentalitas, dan hal-hal non teknis lebih penting dikedepankan. 

Masih di bulan yang sama, Pemerintah RI, khususnya Kementrian Pertanian mengklaim beroleh penghargaan atas keberhasilannya berswasembada beras dan meningkatkan ketahanan pangan. Bagian yang tak terlalu ditonjolkan aleh kurunnya antara 2019-2021.

Tak kurang dari Jokowi sendiri yang menandaskan bahwa selama tiga tahun terakhir Indonesia sudah tidak melakukan import beras umum, tapi bukan beras premium. Di tengah-tengahnya ada beras medium, yang ukuran di luar faktor harga, juga persentase beras kepala (butir hampir utuh hingga utuh).

Di titik inilah, kemudian timbul gugatan dan perdebatan. Karena tak kurang dari empat negara yaitu: India, Thailand, Vietnam, bahkan Pakistan merasa bahwa pada kurun waktu tersebut masih melakukan eksport beras umum ke Indonesia.

Saat kita telisik lebih mendalam, terdapat dua pra-kondisi yang berbeda. Jika kita melulu berswasembada, tentu konsekuensinya harga beras justru semakin mahal. Beras impor selalu digunakan sebagai argumentasi sebagai penstabil harga, agar beras umum tetap murah dan terjangkau bagi semua kalangan, terutama masyarakat di tingkat terbawah.

Lalu swasembada-nya dimana? 

Demikianlah, selalu terdapat banyak kontradiksi, bahwa yang tampak di permukaan tidaklah seindah realitas sesungguhnya. Saya sendiri lebih memaknai capai usia 77 tahun Indonesia, dari sisi nilai-nilai budaya Jawa. Angka 77 berunsur angkah tujuh yang dalam bahasa Jawa disebut "pitu".

Dari konteks ini, masyarakat Jawa sangat "mengagungkan" angka ini sebagai segala hal baik. Sesuatu yang menunjukkan kesadaran akan keterbatasan, kebutuhan akan kebersamaan dan kesediaan berbagi secara adil kepada sesama. 

Baiklah, coba kita urai satu persatu "makna lanjutan" daripadanya. 

Pertama, pitulungan. Inilah kata yang paling sering digunakan, yang berarti pertolongan. Tentu saja pertama-tama pertolongan Dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari keberuntungan. Keberuntungan dari watak baik bangsa ini saling tolong menolong dan gotong royong. 

Kedua, pitutur. Berarti dasar pelajaran, bukan saja dari pengalaman yang di masa lampau, bukan sekedar catatan sejarahnya tetapi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Yang sialnya, dalam konteks bangsa ini di masa kini justru lebih suka menggunakan materi pelajaran dari bangsa lain, tinimbang menggali pitutur luhur dari bumi ini sendiri yang sesungguhnya berserak dimana-mana. 

Ketiga, pituduh agak mirip maknanya dengan pitutur. Tapi bermakna vertikal, nasehat yang tua ke yang muda. Dari masa lalu untuk hari ini dan masa depan. Dan sebaik-baiknya pituduh adalah yang dilakukan terhadap diri sendiri. Sebuah introspeksi, yang kadang orang selalu lupa ketika jari telunjuk menuding ke depan, empat jari menunjuk ke belakang. 

Keempat pituwas, yang secara harafiah berarti bayaran, ongkos, atau ganti rugi. Kesadaran bahwa kondisi hari ini memiliki korelasi langsung yang tak terpisahkan dari masa lalu. Bukan sekedar sejak 77 tahun lalu saat negara ini diproklamasikan, tapi terentang jauh ke belakang. Kita berhutang budi pada masa lalu, pada para bapak bangsa, pada para pemberani yang telah rela berkorban. 

Kelima, pitungkas yang berati pesan. Pesan dari masa lalu, pesan hari untuk hari ini, dan utamanya pesan untuk masa depan untuk jangan terburu-buru. Sesuatu yang tampak nyata dalam makna "kerja, kerja, kerja". Kerja yang disadari "sekedar" mengejar ketertinggalan, membayar balik waktu dan dana yang terlalu banyak terbuang. Tak pernah ada kata terlambat, walau juga tak selalu selalu butuh kata "percepatan". 

Pitu yang dalam khazanah budaya akrab dengan konsep mitoni yang intinya adalah memohon keselamatan untuk si ibu, dalam hal ini "Ibu Pertiwi" maupun si anak yang bisa dipahami sebagai generasi penerus di masa depan. 

Itulah hadiah terbaik bagi bangsa ini. Melihat kembali ke dalam, hingga muncul kredo: "pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat".

NB: Dalam banyak reportase dilaporkan, terjadinya pembunuhan ajudannya sendiri yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo adalah sebuah ironi yang lain lagi. Inilah saat ketika para pembenci polisi yang akut, khususnya dari kelompok "salah paham". Memiliki posisi dan panggung yang sama dengan mereka yang bernalar bahwa memang "banyak hal salah" dalam manajemen institusi kepolisian. Bagi kelompok itu, apa yang terjadi adalah "cara indah" dari Tuhan untuk menunjukkan betapa bobroknya institusi tersebut. 

Bagi kedua-dua kelompok, inilah moment terbaik untuk bersih kepolisian. Yang bila terwujud adalah hadiah terbaik bagi bangsa ini. 

Tak kurang dari Jokowi sendiri, sebagai Presiden bukan saja menunjukkan keprihatinan, kegusaran, bahkan tak bisa dipungkiri kemarahannya. Keribetan, kecanggungan, dan kelambanan pengusutan peristiwa ini yang terlanjur "sok prosedural" mengungkap motif. Bukan saja membuat masyarakat makin marah, tapi terutama makin tidak percaya pada keujuran, integritas, dan kredibilitas kepolisian. 

Peristiwa ini harus dipahami betapa suramnya kehidupan semu-demokrasi yang dilandasi hibridisasi kerakusan kapitalisme dan stigmasi spiritualitas. Di sinilah menjadi penting menengok kembali kepada hal-hal baik dari angka 77. Bahwa kita butuh pertolongan Tuhan, harus mau belajar kembali, mendengar pesan dari masa lalu, berani membayar kesalahan, dan terutama jangan terobsesi dengan segala hal yang berbau "percepatan".

Tahun dimana kita butuh introspeksi jauh ke dalam, bukan terobsesi pada hadiah apa pun...

***