Malioboro: Wajah Baru, Persoalan Baru

Bikin kesepakatan baru kapan saja boleh melakukan ritual agama di sepanjang trotoar jalan seperti ini. Bikin aturan perlu izin atau tidak. Boleh bersamaan atau harus bergiliran.

Jumat, 1 April 2022 | 09:52 WIB
0
298
Malioboro: Wajah Baru, Persoalan Baru
Jalan Milioboro. Jogjakarta (Foto: republika.co.id)

Karena saking banyaknya yang mendesak saya menuliskan tentang apakah itu namanya flexing atau eksibisionis atau pamer. Atau apa pun kegiatan bersama itu mereka menyebutnya. Maka saya berikan sedikit sumbang saran.

Pertama, dalam hal itu (dianggap) masalah agama sesungguhnya saya tidak mau berkomentar lebih jauh. Karena, posisi saya bukan bagian dari agama mereka. Komentar saya tidak berguna, bahkan untuk sekedar mengingatkan.

Bahwa aktivitas tersebut tidak "pas", tidak lumrah dilakukan di ruang publik. Bahwa itu dianggap sebagai preseden "gaya baru", karena selalu ada yang baru. Untuk itu sak karepmu, sak kuatmu, sak jelehmu wae...

Bagi saya, yang paling pantas mengingatkan adalah "bagian lain" dari agama mereka sendiri. Bahwa itu tidak pantas dan meresahkan. Bahwa hal seperti itu adalah suatu bentuk aneksasi ruang publik. Yang membuat orang lain merasa tidak nyaman. Sesuatu yang pada akhirnya justru merendahkan martabat agama mereka sendiri. Sekali lagi itu tugas mereka yang merasa satu iman dengan mereka.

Kedua, bila hal ini adalah masalah budaya. Dengan argumentasi penyamaan atau penganalogian bahwa kegiatan sejenis "menari bersama" atau "menyanyi bersama" dalam bentuk flash-mob yang ritmik itu kenapa dibolehkan. Kenapa yang ini dilarang atau dimusuhi? Siapa yang melarang, siapa yang memusuhi? Tidak ada. Sejauh ini publik hanya prihatin dan mempertanyakan. Hanya bertanya kok jadi begini sih ....

Justru ketika Malioboro diberi wajah baru. Ketika "hama-hama" lama dibasmi. Para pedagang kaki lima ditertibkan, dilokalisasi (istilah ini jangan-jangan keliru lagi) di tempat yang baru. Premanisme gaya lama dihabisi (walau dalam hal ini saya ragu). Kekumuhan dibersihkan. Tempat-tempat duduk sepanjang jalan kualitasnya diperbaiki. Trotoarnya dipercantik, parkir liar nyaris tak ada lagi. Saya pikir, wajar-wajar saja ada ada upaya-upaya mencari dan memberi "manfaat baru".

Mengaji berjamaah, membaca kitab suci secara bersama-sama di jalanan barangkali itu bentuk pemanfaatan ruang publik. Sekali lagi bahwa jika itu dianggap tidak lumrah, boleh juga dong masyarakat luas bertanya. Bertanya loh, sekali lagi hanya bertanya-tanya...

Ketiga, kenapa kita tidak memandangnya secara terbalik saja. Bukankah preseden di atas adalah justru sebuah undangan atau penawaran yang gress atau cara pemanfaatan paling muthakir. Bahwa siapa pun dari agama apa pun. Kelak boleh melakukan hal yang sama. Menunjukkan eksistensi mereka, mereka juga boleh melakukan syiar atau dakwah terbuka di ruang publik.

Bila ini terjadi sungguh membanggakan posisi kota ini. Bahwa jalanan bukan lagi milik sekelompok orang, tapi semua kalangan. Apa pun itu motivasinya.

Bila mereka berbalik melarang? Semoga jangan dan justru jadi hiperbolik. Karena bagaimana pun kota ini dibangun atas dasar toleransi. Kalau kalian boleh, kenapa kami dilarang!

Dari situlah harusnya kita membangun pondasi bersama. Bikin kesepakatan baru kapan saja boleh melakukan ritual agama di sepanjang trotoar jalan seperti ini. Bikin aturan perlu izin atau tidak. Boleh bersamaan atau harus bergiliran. Bikin kesepakatan sosial atau kalau perlu di-perda-kan, maka ajak masyarakat memperdebatkannya terlebih dahulu agar jauh lebih terbuka dan berkeadilan.

Jadi jelas aturannya, dilarang atau dibolehkan hal-hal seperti itu! Sederhana, sesederhana orang-orang Jogja asli di masa lalu yang dianggap kuno tapi sesungguhnya justru lebih demokratis, beradab dan efektif mengurai dan menyelesaikan masalah. Tidak seperti sekarang dibikin rumit, berlama-lama, lalu dipetieskan. Hanya sekedar memperbanyak masalah dan menambah penyakit sosial model baru...

Bahwa ada yang merasa aneh? Bukankah Jogja sendiri dibangun dengan keaneh-anehan. Keanehan yang bisa secara terbalik dibaca sebagai "keistimewaan".

Wong sudah jadi negara merdeka kok mau-maunya bergabung dengan NKRI. Wong kerajaan sak uplik kecil dan miskin, tapi mau-maunya menyumbang dan membiayai pemerintahan negara yang baru berdiri. Kalau ada daerah lain rebutan jabatan gubernur setiap lima tahun sekali. Di sini, Gubernur adalah raja yang bebas berkuasa selama-lamanya, sepanjang ia mau dan mampu.

Ayo kalau mau bertoleransi, bangunlah toleransi bersama yang tulus dan adil. Kalau cuma mau menang-menangan, mau jadi yang paling hegemonik. Paling bener sendiri, menjadi paling suci, mendaku punya kapling ini itu. Lalu malah ngajak ribut.

Jelas Jogja itu bukan tempatnya....

***