Mengapa Orang NTT Berwatak Keras?

Mungkin kita semua harus menajamkan diri dalam dunia humaniora. Biar hati dan pikiran kita selalu jernih untuk melihat orang lain.

Sabtu, 29 Mei 2021 | 18:09 WIB
2
818
Mengapa Orang NTT Berwatak Keras?
Potretan orang NTT itu identik dengan kekerasan. padahal nyatanya tidak seperti asumsi di dalam media. Dokpri

Potretan orang NTT selalu identik dengan kekerasan. Namun, ketika kita berbicara tentang kekerasan, ada bejibun pertanyaan dan asumsi yang berkejaran di dalam benak pikiran kita.

Apa Itu Kekerasan?

Akar kekerasan; kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip.” Mahatma Gandhi.

Kekayaan Tanpa Bekerja

Keadaan dunia terkadang konyol dan penuh misteri. Bak permainan petak umpat. Di mana ada yang menghabiskan separuh hidupnya untuk bekerja. Namun, ia tidak pernah menikmatinya. Ada yang bekerja keras. Tapi, tiada hasil yang memuaskan. Ada yang tidak bekerja. Namun, rekeningnya selalu disesaki oleh cuan.

Aneh tapi nyata! Sebagai perantau, orang NTT tentu punya target untuk mengubah hidupnya. Bekerja adalah bagian dari kehidupan. Untuk itu, orang NTT memiliki filosofi yakni;”At meop on ate, tah on usif, artinya bekerjalah seperti seorang hamba dan makanlah seperti gaya seorang raja.”

Memang, makna kekayaan tanpa bekerja ada benarnya bagi orang NTT. Zaman premanisme telah memberikan tekanan emosional, finansial dan teror bagi siapa saja.

Sejarah kelam itu telah meninggalkan stigmatisasi bagi orang NTT. Akibatnya, kami yang baru menginjakkan kaki di kota metropolitan Jakarta di sangka preman.

Hadeeeuh, makin runyam nih dunia. Jika asumsi didasari pada penilaian subjektif. Apakah budaya lain tidak pernah bersentuhan dengan preman? Cukup diam dan bertanya pada rembulan malam sobatku. Karena saya tidak bisa meneruskannya. Takut semakin berdosa dengan preman berdasi.

Ilmu Tanpa Kemanusiaan

Preman-preman yang berasal dari NTT memang tidak berilmu. Mungkin budaya lain punya preman berdasi? Itu adalah kesalahan terbesar sebagai orang berintelektual.

Jika semua orang NTT di sangka preman. Saya adalah bagian dari orang NTT. Jadi, saya adalah bagian dari preman NTT. Silogisme anak pinggiran yang tidak tahu arti preman. Namun, stigmatisasi itu selalu melekat dalam diri saya.

Seolah-olah budaya orang NTT tidak ada kebaikannya. Semuanya terlihat jelek di mata publik. Dan penggerak atau tokoh demagogi adalah mereka yang menamakan dirinya sebagai kaum intelektual.

Apakah ini yang disebut Mahatma Gandhi sebagai ilmu tanpa kemanusiaan? Entahlah. Mari masuk dan berkontemplasi akan kehiduan kita sendiri. Mungkin kita pernah masuk dalam kematian akal sehat (Common Sense).

Faktor apa saja yang membentuk karakter orang NTT menjadi keras?

Sebagai atoin meto (orang yang menghuni tanah kering), tentu keseharian kami selalu ditemani dengan tanah gersang, batu karang, pegunungan, laut, sabana dan cara didikan orangtua yang terlalu keras.

Selain itu, keterbatasan finansial memicu berbagai kekacauan (chaos). Sedari kecil, kami sudah dididik dengan budaya rotan. Istilah orangtua Timor; diujung rotan, ada emas.”

Sampai kini pun tak ada emasnya. Justru yang ada adalah teror emosional melalui bahasa verbal maupun non-berbal dalam keseharian.

Bagaimana perasaan orang NTT, ketika disangka sebagai preman?

Sebagai insan yang punya batas kesabaran, tentu setiap kali mendengar anekdot yang bernuansa premanisme, hati semakin membuncah. Rasanya ingin makan orang saja.

Ah yang benar saja? Sekadar intermezzo sobatku. Biar ngak mumet dengarin celotehku.

Marah, kecewa dan emosi yang diutak-atik adalah perasaan yang kami alami, ketika kehadiran kami ditolak oleh budaya lain.

Mungkin kita semua harus menajamkan diri dalam dunia humaniora. Biar hati dan pikiran kita selalu jernih untuk melihat orang lain.

Sebagai epilog, izinkan saya untuk mengutip salah satu quote novel saya “ Pelangi itu indah karena banyak warna. Manusia itu sempurna karena banyak karakter. Indonesia itu ada karena banyak budaya, bahasa, dan ras. Yang terpenting bagi pelangi, manusia dan Indonesia adalah kerja sama.” Novel Terjebak.

 (Fredy Suni).