Jangan Cengeng dengan Politisasi Agama

Betul bahwa di Amerika politisasi agama menjadi strategi yang oleh Domke dan Coe sebagai "the God Strategy.

Jumat, 20 Maret 2020 | 08:45 WIB
0
599
Jangan Cengeng dengan Politisasi Agama
Eep Saefulloh Fatah (Foto: tempo.co)

Di seputaran Pilkada DKI 2017, di satu grup pertukaran pesan yang saya ikuti, ada yang mengunggah tulisan yang katanya ditulis Eep Saefulloh Fatah. Eep konsultan politik Anies-Sandi. Dalam tulisan itu, Eep kurang lebih mengatakan janganlah kita "cengeng" dengan politisasi agama di Pilkada DKI karena Pilpres Amerika, terutama ketika Kennedy dan Nixon bertarung, juga mempolitisasi agama. Tulisan Eep itu viral di media sosial. Kita tahu penggunaan politik identitas di Pilkada DKI 2017 begitu nyata.

Tak lama kemudian, satu peserta di grup pertukaran pesan tadi mengunggah foto buku "God Stretegy: How Religion Became A Political Weapon in America" karangan David Domke dan Kevin Coe. Buku ini seolah melegitimasi tulisan Eep.

Saya penasaran, apa betul di negara kampiun demokrasi itu agama dipakai sebagai senjata politik untuk menyerang rival. Kalau ya, seperti apa agama digunakan sebagai senjata politik. Saya kemudian mendatangi toko buku Kinokuniya, Plaza Senayan, Jakarta, untuk memesan buku itu. Karena Kinokuniya mesti memesannya dari Amerika, saya baru mendapat buku itu sekitar sebulan kemudian.

Betul bahwa di Amerika politisasi agama menjadi strategi yang oleh Domke dan Coe sebagai "the God Strategy. Untuk menggambarkan bagaimana agama digunakan dalam politik di Amerika Serikat, Domke dan Coe mengutip pidato pelantikan Presiden Barack Hussein Obama: “We know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christian, Muslims, Jews and Hindus and nonbelievers.”

Domke dan Coe juga mengutip pidato John F. Kennedy yang sangat terkenal pada September 1960: “I believe in an America where the separation of Church and state is absolut; where no Catholic prelate would tell the President—should he be a Catholic—how to act, and no Protestant minister would tell his parishioners for whom to vote.”

Dari pidato Obama dan Kennedy tersebut tergambar bahwa agama digunakan sebagai strategi politik dalam konteks demokrasi, kesetaraan, dan keberagamaan, juga sekularisme. Penggunaan agama dalam konteks politik semacam itulah yang menyebabkan Barack Obama yang punya darah muslim dalam dirinya serta John F. Kennedy yang minoritas Katolik bisa menjadi presiden di Amerika yang mayoritas penduduknya beragama Protestan.

Dalam konteks Kennedy versus Nixon, ada pernyataan menarik Nixon yang membuktikan bahwa tidak ada penggunaan agama sebagai senjata politik.

Setelah kalah dari Kennedy, kepada ajudannya Pete Flanigan, Nixon berkata: “Pete, here’s one thing we can satisfied about. This campaign has laid to rest for ever the issue of a candidate’s religion in presidential politics. Bad for me, perhaps, but good for America.” Saya menemukan pernyataan Nixon itu di buku Paul Johnson berjudul "A History of the American People" yang saya beli di Museum Afro-American History di Washington pada 2018.

Penolakan penggunakan agama sebagai identitas juga terjadi pada Pilpres Amerika 2008. Ketika itu Barack Obama dan John McCain bersaing merebut kursi Presiden AS. Dalam sebuah kampanye, seorang ibu pendukung McCain menyebut Obama Arab, Muslim, dan teroris. McCain menjawab, “Tidak Bu, Obama bukan Arab, bukan pula teroris, kita tidak perlu menebarkan kebencian seperti itu.

Dia adalah warga negara Amerika Serikat yang baik dan memiliki perbedaan konsepsi dengan saya, dan itulah mengapa kami berkompetisi dalam Pilpres kali ini”. Adegan McCain ini banyak dikutip media atau pakar untuk menunjukkan bahwa tidak ada penggunaan agama di Pilpres Amerika.

Bagaimana dengan Trump? Ketika mengikuti Fellowships dari East-West Center pada 2017, saya mendapat kuliah dari Profesor Christopher Chapp di Macalister University, Minneapolis, Minnesota, AS. Profesor Chapp mengatakan Trump mengabaikan civil religion, tetapi cenderung sektarian. Dengan perkataan lain, Trump menggunakan politik identitas, termasuk politisasi agama.

Saya menulis hasil kuliah Profesor Chapp untuk Media Indonesia dengan judul "Trump dan Civil Religion". Civil religion ialah terminologi yang diintroduksi sosiolog agama Robert N. Bellah. Simpelnya civil religion ialah nilai-nilai Amerika, seperti pluralisme, demokrasi, sekularisme, kesetaraan.

Saya setiap hari melaporkan kegiatan fellowship saya melalui Media Indonesia. Suatu ketika staf Kedubes Amerika di Jakarta mengirim pesan kepada saya bahwa kantornya menerjemahkan tulisan-tulisan saya itu ke bahasa Inggris dan mengirimnya ke Washington.

***