Yang Muda yang Diarep

Sibuk ngomong etika, atau menjaga marwah. Sementara generasi baru akan sibuk memisahkan dusta dari kata. Dan itu mencemaskan para tua, lebih karena menangisi ketersingkirannya.

Rabu, 18 Desember 2019 | 17:13 WIB
0
320
Yang Muda yang Diarep
Ilustrasi kunci (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Dulu ada film 'Yang Muda Yang Bercinta' (1977). Judulnya agak ngehek. Tapi nggak main-main, sutradaranya Sjumandjaja. Penulis skenarionya, Umar Kayam. Pemainnya? Selain beberapa aktor dan aktris top jamannya, juga WS Rendra.

Pada dekade awal Orba, anak muda dianggap pengganggu. Tukang protes doang. Ini film mencoba memahami gejolak anak muda. Maklum penulisnya Umar Kayam, jadi agak bau politik dikitlah. Meraih Citra untuk Pemeran Pembantu Wanita, Nani Wijaya, dalam FFI 1978, film ini dilarang diputar di Jakarta. Baru tahun 1993, bisa diputar. Kenapa? Waktu itu, Kodam V Jaya (wilayah DKI Jakarta), merasa cerita film berisi agitasi, berunsur propaganda, dan menghasut masyarakat.

Mungkin lantaran dialog-dialog yang muncul dari mulut Rendra, sebagai mahasiswa dan sekaligus penyair. Dari sini saja, kita ngerti tentang perbedaan cara pandang. Anak muda bisa dipandang lain oleh yang tua dan yang mapan. Seperti para petinggi tentara jaman Orba itu. Meski Umar Kayam juga generasi tak muda lagi (dari sisi usia).

Waktu itu, LHI (Lembaga Humor Indonesia) membuat acara lomba musik humor 'Yang Muda Yang Bercanda'. Melahirkan sosok Iwan Fals di antaranya, tapi lagi-lagi dengan lagu bernada protes. Sementara slogan yang ditabalkan dari kampus, mahasiswa tempo dulu adalah buku, pesta, cinta. Bukunya? Buku cinta juga sih!

Ketika tiba-tiba muncul Nadiem Makarim, membuat Jusuf Kalla dan yang pro dengannya, terasa makin tua. Ketika muncul William Aditya, Anies Baswedan yang belum tua menjadi begitu tua.

Demikian pula Fadli Zon dan para cs-nya, terasa makin jadul dengan hadirnya Billy Mambrasar, karena istilah kubu sebelah. Dan seterusnya, sebut misal Gibran Rakabuming di Solo, mau maju pilwakot dengan pilihan langsung rakyat, dibilang melanggengkan dinasti politik, dan tak peka etika politik.

Bayangin, soal etika dikedepankan, tapi sistem kebersamaan, yang dibangun lewat UU, peraturan, hukum, dilecehkan. Bukan dikampanyekan sebagai social religion yang mesti diawasi dan ditegakkan. Coba dengar pendapat majoritas anggota DPRD DKI Jakarta tentang etika. Apa maksud mereka tentang etika, kecuali untuk menutupi kebusukan dan ketakmampuan menegakkan sistem?

Pada sisi itu pula, Rocky Gerung pun terasa jadi begitu tua, takut tersingkir, dengan membangun narasi Jokowi yang tak tahu Pancasila. Tidak percaya sistem, namun tak mampu menyihir manusia mendadak mintilihir dengan mantra ‘merdeka’. Wong dirinya saja terjajah kehendak berkuasa, meski dalam pikiran.

Menjadi tua dan berlalu, memang menyedihkan. Setidaknya bagi yang menua tapi tak tahu cara menjadi elegant. Kemudian melecehkan yang muda tak ngerti apa-apa. Padahal dunia berubah. Dan yang tak berubah, tak adaptif, akan masuk dalam dunia pura-pura.

Sibuk ngomong etika, atau menjaga marwah. Sementara generasi baru akan sibuk memisahkan dusta dari kata. Dan itu mencemaskan para tua, lebih karena menangisi ketersingkirannya.

***