Gunakan air seperlunya, juga pada tempatnya. Jangan buang-buang air hanya karena berpikir persediaan air masih berlimpah.
Setelah cuci kaki, saya menutup keran air kurang kencang. Dari keran itu air masih menetes. Tadinya saya mau mengencangkan keran itu agar air tidak menetes. Tapi gak jadi. Lalu iseng, air yang menetes itu saya hitung, 18 tetes dalam 10 detik. Kemudian air itu ditampung pake ember. Saya lihat jam dinding, pukul 19.20. Sekarang pukul 22.10, ember hampir penuh.
Saya jadi mikir (asalnya gak mikir), mungkin kalau sampai pagi, jumlah air yang menetes itu bisa sampai tiga ember. Tiga ember air bersih, yang bagi masyarakat di daerah-daerah tertentu harus didapat setelah berjalan kaki hingga beberapa kilometer, pulangnya harus angkat beban, ember berisi air. Kalau air yang menetes itu terbuang percuma (kerannya tidak ditutup rapat atau air itu tidak ditampung) betapa saya tidak berempati dengan mereka.
Tiga ember air bersih adalah surga yang didambakan.
Mengingat-ingat dua kejadian lalu, ada dua pengalaman. Pertama, tahun 1990 ketika dalam bus menuju Bandung. Di sekitar Gunung Kapur, saya merasakan mau buang air besar yang sangat kuat. Saat itu musim kemarau, di sekitar daerah itu tidak ada sungai, tidak ada air. saya tahan dengan segenap jiwa dan raga, sampai keringetan.
Akhirnya bus sampai Ciburuy, saya turun. Lalu berjalan dengan sangat hati-hati menuju masjid. Dengan harapan di masjid itu ada toilet atau pancuran. Tapi ternyata, di toilet yang saya temui tidak ada air, apalagi pancuran. Sementara Mr. T makin gak sabar mau keluar. Akhirnya saya pun nyerah, lalu jongkok, menulaikan tugas kemanusiaan.
Untungnya persis di sebelah toilet itu ada gang, langkah orang yang lewat bisa terdengar jelas. Setelah khatam, saya tunggu orang lewat. Beberapa menit kemudian, terdengar langkah kaki yang mendekat. Pintu toilet saya buka sedikit, lalu berteriak memanggil-manggil orang yang baru lewat itu. Awalnya dia kebingungan, siapa yang manggil. Akhirnya dia nyamperin, mendekat ke toilet, ‘Ada apa?’ katanya.
Melalui celah pintu saya sodorkan uang gocengan. “Kang tolong belikan tiga botol besar Akua. Di sini gak ada air.” waktu itu harga satu botol besar Rp600.
Orang yang saya tidak kenal itu pun mengambil uang yang saya sodorkan, dan pergi. Tinggal saya menanti-nanti. Akhirnya terbukti, orang itu tidak berbakat jadi politisi. Dia benar-benar malaikat yang diutus Tuhan untuk menolong saya. Coba kalo dia punya bakat jadi politisi, mungkin Dana Alokasi Cebok (DAC) itu pun diembat juga.
Ia datang membawa tiga botol besar Akua, plus kembaliannya. Lewat celah pintu toilet yang saya buka sedikit, ia menyodorkan ketiga botol itu. “Kembaliannya silakan ambil.” kata saya. Sekali lagi, orang itu benar-benar titisan Hoegeng, jujur, dan suka membantu tanpa pamrih.
“Tidak, terima kasih,” katanya, sambil berlalu. Saya benar-benar tertolong. Saya tercenung. Saya yakin, hati orang itu sama beningnya dengan air yang ia bawa dalam botol. Atau mungkin lebih.
Kejadian kedua, satu malam tiba-tiba saya terbangun. Perut saya mulas, mau buang air. Saya pun ke toilet, nyalakan rokok, duduk di kloset, dengan tenang mengikuti ritual seperti biasa, ngeprint sampai selesai. Lalu flush. Tapi alangkah kagetnya ketika membuka keran, mau wipe out, tak ada air yang keluar.
Bingung, gak kepikir kalo harus pake tisu. Akhirnya saya putuskan meraih ember. Lalu, sambil nyumpah-nyumpahin PDAM Bogor, saya berjalan dengan gaya sedemikian rupa ke depan rumah. Lalu saya isi ember dengan air dari kolam ikan. Kembali ke kamar mandi pelan-pelan, jangan ada proyektil yang jatuh. Lalu cebky pake air kolam ikan. Saat itu satu ember air bersih begitu saya dambakan bak rembulan.
Jadi, gunakan air secukupnya. Kalau tidak mau menanam pohon, ya jangan dibuang-buang air. Paham ya?!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews