Belajar Memilah Ruang Publik dan Ruang Privat

Selasa, 5 Maret 2019 | 12:31 WIB
1
731
Belajar Memilah Ruang Publik dan Ruang Privat
Ilustrasi surealis (Foto: Rumahfilsafat.com)

Di Indonesia, kita perlu belajar untuk berpikir terpilah. Artinya, kita perlu belajar untuk membedakan antara ruang publik dan ruang privat. Di dalam ruang publik, kita berperan sebagai warga negara dan bagian dari masyarakat. Di dalam ruang privat, kita berperan sebagai mahluk pribadi dengan pandangan hidup yang khas, namun tetap menghargai hukum serta hak-hak orang lain.

Dua Lapis Kenyataan

Di mata semesta, semuanya adalah satu energi. Tidak ada perbedaan. Fisika modern sudah lama menyatakan hal ini. Energi itu satu, dan tak akan pernah lenyap. Ia hanya berubah.

Namun, itu satu lapis kenyataan yang disebut dengan kenyataan alamiah (natural reality). Manusia hidup di lapis kenyataan lain, yakni kenyataan sosial (social reality). Kenyataan sosial dibentuk oleh manusia itu sendiri dalam hubungannya dengan manusia lain. Ia lalu menghasilkan budaya, filsafat, hukum, seni, politik dan agama.

Kenyataan sosial itu beragam. Ia juga berubah. Ia tidak mutlak. Ketika orang melihat kenyataan sosial sebagai mutlak, yakni seragam dan tak berubah, ia jatuh ke dalam kebodohan.

Ruang Publik dan Ruang Privat

Kenyataan sosial juga perlu dipilah. Ada ruang publik. Inilah tempat, dimana orang berpikir sebagai warga negara, dan sebagai bagian dari masyarakat. Ruang publik, sebagaimana dinyatakan oleh Jürgen Habermas, adalah tempat berbagai sudut pandang berjumpa dan mencari dasar yang adil serta rasional untuk hidup bersama.

Kenyataan sosial juga memiliki ruang privat. Di dalam ruang privat, orang berpikir sebagai pribadi yang unik. Ia memiliki pandangan dunia yang khas. Ia bebas menentukan arah hidupnya, sejauh itu tidak bertabrakan dengan hukum dan hak-hak orang lain.

Ruang publik adalah ruang politik. Di dalam politik, tidak ada minoritas dan mayoritas. Kedua konsep ini adalah konsep yang sesat. Ini bertentangan dengan keberadaan negara hukum yang secara universal melindungi semua warganya.

Ruang publik juga adalah ruang profesionalisme. Orang dilihat dalam konteks kinerjanya sebagai seorang profesional, entah sebagai pengusaha atau pelayan masyarakat. Kompetensi menjadi utama di dalam bidang ini. Tidak ada tolok ukur lainnya.

Sementara, ruang privat adalah ruang agama. Orang memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Tidak ada tekanan dari luar. Iman dan spiritualitas berkembang dalam penghayatan hidup pribadi, jauh dari campur tangan politik dan ekonomi.

Ruang privat juga adalah ruang hubungan pribadi. Di dalamnya, ada cinta dan persahabatan antar manusia. Ini tak boleh dicampuri oleh politik ataupun kepentingan ekonomi.

Campur Aduk

Di Indonesia, kita masih berpikir campur aduk. Tidak ada pembedaan antara ruang privat dan ruang publik. Kita juga tidak diajar untuk berpikir terpilah. Akibatnya, banyak hal yang cukup sederhana menjadi rumit, karena kebodohan kita sendiri.

Politik dicampur dengan agama. Nilai-nilai agama diracuni oleh kerakusan para politisi palsu. Rakyat pun menjadi bingung. Politik menjadi kacau, karena diisi oleh diskriminasi, prasangka, perpecahan, ketakutan dan kerakusan.

Profesionalisme dicampur dengan hubungan pribadi. Kompetensi menjadi nomor dua. Kolusi dan nepotisme mewarnai banyak sisi kehidupan. Tak heran, sebagai bangsa, kita terus ketinggalan dalam persaingan dengan banyak negara.

Pola pikir campur aduk menghasilkan kekacauan. Ia juga menghasilkan sikap tak beradab yang berujung pada kekerasan dan ketidakadilan. Fungsi-fungsi pemerintahan maupun swasta tak berjalan dengan optimal. Kita terjebak pada lubang yang kita buat sendiri, karena kebodohan kita.

Belajar untuk memilah adalah hal penting untuk kita sekarang ini. Kesatuan bangsa bergantung padanya, apalagi menjelang pemilihan umum April 2019 ini. Mutu hidup bersama kita sebagai bangsa juga tergantung padanya. Jangan ditunda lagi.

***