Pentingnya SPGDT Pada Pertolongan Pertama Kecelakaan

Kamis, 9 Februari 2023 | 15:32 WIB
0
139
Pentingnya SPGDT Pada Pertolongan Pertama Kecelakaan
DOsen Spesialis Medikal Bedah Prima Trisna Aji ketika mengajarkan SPGDT pada mahasiswa/Foto : Dokpri

Solo – Tingkat kejadian kecelakaan di Indonesia terbilang sangat tinggi dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia mencapai 103.645 Kasus pada tahun 2021 bahkan seiring meningkatnya tahun menjadi semakin meningkat. Sedangkan provinsi yang memiliki angka tingkat kecelakaan tertinggi adalah provinsi Jawa timur. Jumlah kasus kecelakaan lalu lintas di Jawa Timur menjadi yang tertinggi pada 23 Januari 2022. Berdasarkan data Korlantas Polri, jumlah kecelakaan di Jawa Timur mencapai 46 kasus.

Penyebab tingginya angka tingkat kecelakaan disebabkan oleh banyak hal, salah satu contohnya dalam kecelakaan darat banyak disebebkan oleh Budaya berlalu lintas yang buruk, kompetensi pengemudi pengendara, pemahaman regulasi dalam berlalu lintas, dan sarana dan fasilitas dalam transportasi darat. Meskipun tertinggi adalah kecelakaan darat tetapi tingkat keselamatan juga menduduki peringkat tertinggi. Sedangkan untuk kecelakaan udara memiliki tingkat keselamatan yang rendah dikarenakan dari Kecelakaan Pesawat Udara yang dialami negara Indonesia belum ada satupun yang selamat semenjak 10 tahun terakhir.

Tingginya angka kecelakaan darat tentunya harus didukung juga dengan upaya penyelamatan yang cepat dan tepat oleh regu penolong. Salah satunya penyebab kematian akibat kecelakaan darat ternyata bukan hanya karena benturan trauma yang dialami tetapi juga disebabkan oleh lambatnya pertolongan dan kesalahan ketika melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan.

Pada pasien yang mengalami Fraktur cedera Servikal pada leher tentunya tidak boleh ditolong dengan sembarangan. Dikarenakan ketika melakukan kesalahan dalam pertolongan maka akan menyebabkan penderita meninggal dunia. Dalam melakukan pertolongan pada pasien cedera servikal adalah dengan tekhnik Jaw trust kemudian dipasang Neg Collar hal ini bertujuan supaya tidak terjadi keparahan pada cedera penderita.

Selain itu hal yang paling penting pada Pertolongan Pertama pada Kecelakaan adalah mengetahui sistem SPGDT. SPGDT adalah sistem penanggulangan gawat darurat terpadu dimana apabila ada seseorang yang mengalami kecelakaan maka bisa ditolong dengan cepat dan tepat dengan sistem terpadu dan terintegrasi secara menyeluruh.

SPGDT dibedakan menjadi dua yaitu SPGDT S dan SPGDT B, SPGD S adalah sistem penanggulangan gawat darurat terpadu yang dijumpai dalam kehidupan sehari – hari di IGD Rumah Sakit seperti Stroke, Kecelakaan Lalu lintas, Jantung dll. Untuk prinsip pada SPGDT-S adalah dimana bisa mempertahankan kehidupan pasien. Sedangkan SPGDT-B adalah sistem penanggulangan gawat darurat terpadu bencana dimana korban jiwa akibat bencana yang terjadi dalam jumlah banyak. Prinsip dari SPGDT-B adalah bisa menolong korban sebanyak – banyaknya.

Untuk sistem penanggulangan gawat darurat terpadu sendiri sudah dilegalkan oleh pemerintah dan DPR yaitu tercantum pada Undang – undang nomor 36 tahun 2009. Tujuan dari SPGDT sendiri adalah bisa meningkatkan akses dan mutu pelayanan kegawatdaruratan, mempercepat respon time korban dan menurunkan angka kematian serta kecacatan.

Aplikasi pada SPGDT dalam menolong korban kecelakaan adalah ketika penolong pertama melihat korban kecelakaan maka penolong bisa segera menghampiri dengan melakukan pengecekan pasien meliputi keadaan korban, lokasi korban, alamat terjadinya kecelakaan serta kondisi korban. Yang kemudian penolong akan menelpon call center 118 untuk mengabarkan kejadian kecelakaan selanjutnya 118 call center akan menghubungi Rumah Sakit terdekat supaya untuk menolong korban kecelakaan tersebut.

Dosen Spesialis Medikal Bedah Prima Trisna Aji menyampaikan bahwa penolong pertama merupakan garda terdepan ketika menyelamatkan korban kecelakaan. Kesigapan penolong pertama akan berdampak pada keselamatan korban itu sendiri. Kita ketahui bahwa penolong memiliki hanya waktu kurang dari 10 menit pada pasien henti jantung dan henti nafas. Apabila lebih dari waktu itu maka akan terjadi kematian biologis pada korban tersebut. *Red