Dalam 'Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan', Soe Hok Gie (1942 - 1969) menulis; "Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi."
Siapa yang mematikan demokrasi, dan terutama proses demokratisasi?
Para aktivis demokrasi, pasti dengan serta merta akan memberondong dengan kata-kata; para elite, kaum oligarkis, politik elitis, partai politik, penguasa...
Benarkah? Atau para jelata yang disalah-salahin terus karena bodoh?
Belum lama lalu membaca ringkasan disertasi dalam sebuah promosi doktor di UGM, "The Absence of Popular Control; Disorientasi Perkembangan Kapasitas Politik Kolektif Aktivis Pro-Demokrasi Indonesia Pasca-1998." Sebuah tulisan yang tajam, terukur, dan telak dari Willy Purna Samadhi, Doktor ke-limaribu sekian dari UGM, yang lulus dengan excelent.
Menurut Willy, yang terjadi adalah konsolidasi elit, bukannya 'konsolidasi demos untuk demokrasi kewargaan'. Problemnya memang pada para pelaku demokrasi itu sendiri. Demikian disertasi Willy.
Stop sampai di situ, selanjutnya komentar saya; apalagi ketika semua berbondong-bondong masuk dalam kekuasaan (konsolidasi elit), tetapi senyampang itu akhirnya juga sama-sama plonga-plongo. Karena perut yang kekenyangan dan mata mengantuk karena kurang tidur dan kurang tulus.
Dan mereka juga tidak tahu, bagaimana sesungguhnya membantu Jokowi setepatnya dalam situasi transisi ini.
Belum pula para person yang bisa kita sebut nama yang condong ke sini dan ke sana, yang lebih sibuk dengan istilah-istilah demokrasi namun sekedar sebagai pansos.
Jadi, apa yang membedakan 1945, 1966, 1998, 2019? Wong soal IKN saja semua orang bisa kayak jadi Presiden.
Dalam 'Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan', Soe Hok Gie (1942 - 1969) menulis; "Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi."
Dan amat sedikit gentlemen seperti Gie ini.
Sunardian Wirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews