Rasis

Beragama bukannya membuat jiwa tenang, malah sibuk cari musuh. Semua orang dicari kesalahannya, hanya karena tak sama dengan agamanya yang tertentu itu.

Sabtu, 17 April 2021 | 04:20 WIB
0
203
Rasis
Ilustrasi rasis (Foto: BBC.com)

Apakah kalau kamu sudah beragama kemudian tidak rasis? Bagaimana kalau justeru setelah beragama malah jadi rasis? Bagaimana mungkin? Mungkin saja.

Apa yang tak mungkin menurut manusia? Agama apa sih yang dianutnya? Bisa dipastikan, agama tertentu. Juga penganut tertentu. Karena sudah barang tentu hanya orang tertentulah yang berperilaku tertentu seperti itu.

Entah karena cethek ilmu agamanya, atau mendapatkan guru agama yang juga tak kalah dangkal ilmunya. Jadi makin dangkal dan dongkol saja isinya.

Beragama bukannya membuat jiwa tenang, malah sibuk cari musuh. Semua orang dicari kesalahannya, hanya karena tak sama dengan agamanya yang tertentu itu. Cuma karena tak punya ilmu memadai, mangsud membela agama justeru bisa berakibat sebaliknya.

Dikira memuliakan agama, padal malah menista. Dikira tuhan seneng, padal mungkin saja sebel (itu kalau kita gambarkan tuhan berkarakter seperti manusia, sebatas pengertian kita).

Mangka ada yang berkutbah di mimbar, bahwa manusia dengan kulit item, tidak masuk sorga.

Waduh. Dia yang mengucapkan itu, sudah pasti dia pula yang telah menghina, menistakan, karena mendustakan tuhan. Gimana mungkin? Jangan-jangan cerminan diri yang ngomong?

Tapi, senyampang itu, bagaimana dengan etnis China yang berkulit putih atau berkulit kuning seperti bangsa Jepang? Apakah mereka juga tak layak masuk sorga? Lantas, yang paling berhak masuk sorga siapa? Dirinya semata, dengan kulit sebagaimana miliknya, meski mulut dan hatinya kotor seperti itu?

Mati aja takut, ribet ngomongin sorga. Dikiranya sorga bisa untuk beli onde-onde. Padal dia bisa beli onde-onde karena honornya berkutbah. Tapi, kok sayangnya, dia nggak menjaga lidahnya, yang sebagai penyambung dapat menikmati sorga dunia?

“Hati manusia adalah seperti binatang buas. Barangsiapa hendak menjinakkan, akan diterkamnya,” berkata Ali bin Abi Thalib suatu ketika.

Tapi, di tepi sebuah pantai, ada larangan membuang sampah sembarang. Sebenarnya bukan larangan, tapi ajakan.

Kalimat awalnya, preposisi untuk menjelaskan; bahwa binatang tidak pernah membuang sampah di laut. Baru kemudian kalimat ajakannya; Mari kita tiru perilaku binatang!

@sunardianwirodono