Majapahit Tahun 1336

Dari kesadaran yang tinggi terhadap keberadaan Nusantara, Gajah Mada meletakkan dasar-dasar negara yang kokoh, sebagaimana terungkap dalam perundang-undangan Majapahit.

Senin, 2 November 2020 | 16:25 WIB
0
290
Majapahit Tahun 1336
Ilustrasi Majapahit (Foto: Biem.co)

Majapahit tahun 1258 saka atau 1336 M. Ketika itu, Majapahit di bawah pemerintahan Sri Gitarja yang bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi. Di bawah Ratu Tribhuwana, Majapahit  mulai mapan dan memasuki masa kejayaannya serta mencapai puncaknya di zaman Hayam Wuruk yang bergelar Sri Rajasanagara, yang memerintah tahun 1350-1389.

Kehidupan keagamaan pada masa itu, sangat baik. Ada toleransi di sana. Ada saling menghormati, serta hidup berdampingan secara damai pula di kala itu. Setidaknya ada dua agama resmi, yaitu Agama Siwa dan Agama Buddha. Menurut Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawiwaha, pada dasarnya antara kedua agama itu tak terdapat perbedaan karena keduanya adalah satu

Prasasti Waringinpitu yang dikeluarkan oleh Raja Kertawijaya pada 1369 Saka (1447) menyebut nama-nama pejabat birokrasi kerajaan di tingkat pusat. Di antaranya Dharmmadhyaksa ring kasaiwan, pejabat tinggi yang mengurusi Agama Siwa dan Dharmmadhyaksa ring kasogatan, pejabat tinggi yang mengurusiAgama Buddha (historia.id).

Ketika Majapahit berjaya, dunia mendekati masa akhir  Zaman Abad Pertengahan (abad ke-5 sampai awal abad ke-17). Menurut para cerdik pandai, Abad Pertengahan adalah  zaman peralihan antara Zaman Kuno—Zaman Yunani dan Zaman Romawi—dan Zaman Moderen, yang dimulai dengan Zaman Renaisans, pada abad ke-17. Abad ini antara lain diwarnai terpecah-pecahnya Eropa menjadi negara kerajaan dan republik kecil; feodalisme menjadi tatanan masyarakat yang dominan; pengaruh Gereja Katolik sangat besar;  dan banyak terjadi peperangan baik perang agama maupun perang dinasti.

Abad Pertengahan juga sering diasosiasikan dengan masa suram, masa kegelapan di mana kesewenang-wenangan penguasa Gereja, fanatisme sempit, fundamentalisme, radikalisme, dan ketidakluwesan. Di zaman Abad Pertengahan itulah pecah Perang Salib (1096-1291) dalam beberapa periode. Di zaman ini pula pecah Perang Seratus Tahun yang dimulai tanggal 24 Mei 1337 dalam beberapa fase antara Inggris dan Perancis, yang berakhir tanpa ada penandatanganan perdamaian.

Pada abad pertengahan muncul dua pola kekuatan yang ditandai dengan berbagai bentuk dualisme. Munculnya dualisme antara kaum rohaniawan dan masyarakat umum. Dualisme antara budaya Latin dan Teuton, dualisme antara kerajaan Allah dan kerajaan-kerajaan duniawi, dualisme antara ruh dan tubuh. Semua itu diwakili oleh dualisme antara Paus (pemimpin agama) dan Kaisar (kepala negara/pemerintahan).

Namun, Zaman Abad Pertengahan juga ditandai dengan makin banyaknya didirikan sekolah—karena itu disebut Zaman Skolastik (dari kata dalam bahasa Latin, schola yang berarti antara lain, sekolah, perguruan atau tempat menerangkan atau mengajarkan hal-hal secara ilmiah)—dan banyak pengajar ulung bermunculan. Di zaman ini pula, berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-contra-nya, untuk kemudian ditemukan pemecahannya (Simon Petrus L Tjahjadi, 2004).

Karena itu, dalam Abad Pertengahan ditemukan bakal-bakal dalam suatu peradaban yang lebih baru dan maju—misalnya sistem persekolahan atau universitas, teknik, dan filsafat Zaman Moderen. Banyak ahli sejarah sekarang menganggap Abad Pertengahan sebagai periode “seribu tahun pengecambahan dan pertumbuhan” (Jostein Gaarder dalam Simon Petrus L Tjahjadi) bagi kultur moderen Manusia Barat.

Di Zaman Abad Pertengahan ini pedagang sekaligus petualang dari Venetia, Italia yakni Marco Polo yang pernah melakukan perjalanan ke  China, hidup (1254 – 1324).  Kisah perjalanan Marco Polo ditulis dengan judul Il milione yang dikenal dalam bahasa Inggris dengan judul the Travels of Marco Polo, Perjalanan Marco Polo.

Bagi orang-orang Italia pada waktu itu, perdagangan dengan negara-negara diTimur sangatlah penting sehingga dalam Practica della mercatura, buku pegangan mengenai perdagangan asing, dijelaskan rute perdagangan ke China. Di zaman itu, China diperintah oleh Dinasti Yuan (1279-1368). Dinasti ini didirikan oleh Kublai Khan, orang Mongol yang pernah mengirimkan pasukannya untuk menyerang Jawa, di zaman awal Majapahit.

Di awal pemerintahan Dinasti Yuan ini (zaman Kublai Khan), astronomi dan instrumen yang berhubungan dengan ilmu falak Arab-Persia diperkenalkan ke China, dan astronom China Guo Shoujing mengoperasikan sebuah observatorium. Namun demikian, konsepsi dasar astronomi tetap China, dan tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengadopsi kerangka matematika dan teoritis Timur Tengah.

Demikian pula, dokter dan ahli bedah Timur Tengah berpraktik dengan sukses di China, tetapi teori medis China tetap tidak terpengaruh oleh praktik Barat. Dalam geografi, peta dunia China abad ke-14 memasukkan pengetahuan geografis Arab ke dalam pandangan dunia China (britannica.com).

Tetapi, apakah Majapahit pada waktu itu terpengaruh oleh situasi Zaman Abad Pertengahan yang sangat terasa dan dirasakan Eropa? Bukankah ketika Gajah Mada sedang gigih-gigihnya ingin menyatukan seluruh Nusantara di Eropa sedang mulai pecah Perang Seratus Tahun? Tetapi, apakah Gajah Mada atau penguasa Majapahit mendengar tentang hal itu?

Apakah mereka pernah mendengar tentang kemajuan di bidang pendidikan di Zaman Abad Pertengahan atau kekelaman di zaman itu? Barangkali, mereka sudah mendengar kemajuan yang dicapai China yang beritanya dibawa oleh para pedagang dari daratan China. Akan tetapi yang jelas, negeri itu—Majapahit—baru  berumur sekitar 43 tahun, didirikan sekitar tahun 1293 oleh Raden Wijaya.

Entah mendengar atau tidak, tahu atau tidak kemajuan negara-negara di belahan dunia lain, yang pasti pada tahun 1336 menurut catatan sejarah, Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada yang baru diangkat menggantikan Arya Tadah seperti diungkapkan dalam Kitab Pararaton, mengucapkan sumpah yang disebut Sumpah Palapa. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati jabatannya sebelum bisa menyatukan seluruh Nusantara.

Dalam sumpahnya itu, Gajah Mada mengatakan: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa” [Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”].

Sumpah itu memberikan gambaran jelas bahwa Gajah Mada mempunyai kesadaran penuh tentang kenegaraan dan batas-batas wilayah kerajaan Majapahit, mengingat Nusantara berada sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua samudra besar yaitu Samudera Hindia dan Samudra Pasifik, di samping diapit-apit oleh lautan Cina Selatan dan Lautan Indonesia. Dari kesadaran yang tinggi terhadap keberadaan Nusantara, Gajah Mada meletakkan dasar-dasar negara yang kokoh, sebagaimana terungkap dalam perundang-undangan Majapahit (Slamet Mulyana, 1965).

Yang disampaikan Gajah Madalah adalah sebuah visi. Visi adalah sebuah pandangan tentang tujuan, dalam hal ini, tujuan jangka panjang yang ingin dicapai negara. Visi berorientasi ke depan, tidak dibuat berdasarkan kondisi saat ini, mengekspresikan kreativitas, dan berdasarkan pada prisip nilai yang mengandung penghargaan bagi masyarakat.

Visi dan misi sebuah negara adalah sangat penting. Sebab tanpa visi dan misi, negara tidak akan berkembang dengan baik. Dengan adanya visi dan juga misi, maka tujuan pemerintahan negara tergambar jelas. Visi-misi NKRI, misalnya, tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alenia keempat yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tentu, semua itu baru bisa dicapai bila di negeri ini lahir manusia-manusia yang sehat baik secara jasmani maupun rohani, mental maupun spiritual; kreatif, tahan banting, tiak putus asa, pekerja tangguh, cepat tanggap terhadap perkembangan dan tuntutan zaman, berwawasan ke depan, berwawasan luas, terbuka, siap dan berani bertarung dengan bangsa-bangsa lain.

Dengan kata lain, bukan manusia yang lembek, tak berani bersaing, yang pasif, yang tidak kreatif, yang hanya puas dengan menjadi konsumen dan bukannya produsen. Bukan pula manusia berpikiran sempit, ekstremis, fundamentalis, mementingkan diri sendiri, kelompoknya, yang dibutuhkan.

Seperti Gajah Mada yang menyingkirkan semua penghalang terwujudnya mimpi besarnya, maka visi dan misi negeri ini hanya bisa diwujudkan dengan antara lain menyingkirkan, membabat habis segala perintang, segala kekuatan yang menghambat kemajuan, yang ingin membelokkan jalan Indonesia ke jalan lain bukan jalan NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak ada tempat bagi mereka yang memiliki paham lain yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.

Lebih tujuh abad silam, Gajah Mada meneriakkan sumpahnya. Dan, 92 tahun lalu, para pemuda dari berbagai suku, etnis, dan agama, kelompok serta golongan di Nusantara menegaskan persatuan Nusantara dalam Sumpah Pemuda, yang 17 tahun kemudian dipuncaki dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan lahirnya NKRI.

Begitu indah, semua itu. Namun sayangnya, kini keindahan itu dicoreng oleh kegaduhan, sikap-sikap intoleran,  fanatisme, pikiran dan  pandangan sempit dengan mengutamakan kelompoknya sendiri, kebencian, aksi anarkis, hingar-bingar, bahkan permusuhan politik, juga radikalisme, ekstremisme, dan fundamentalisme masih terus mewarnai negeri ini.

Orang juga bersaing mengklaim kebenaran. Tiap-tiap orang merasa dirinya pasti benar (bahkan paling benar) dan orang lain pasti salah. Ibarat kata, tidak ada niat baik untuk sesekali mencoba memakai sepatu orang lain. Tiap-tiap kelompok masyarakat mengonstruksi kebenaran menurut versi masing-masing, sesuai kepentingan masing-masing, dan menenggelamkan fakta di dasar samudra. Yang ditonjolkan adalah opini dan tafsir terhadap fakta. 

Sementara fakta yang dicatat sejarah, yang menjadi dasar persatuan negeri ini—Sumpah Palapa yang diucapkan di Zaman Kegelapan dan Sumpah Pemuda yang diikrarkan di Zaman Pergerakan—hendak dipungkiri. Apakah kita sedang memasuki “Zaman Kegelapan” atau pikiran dan hati kita yang gelap? Karena, nafsu Zaman Kegelapan-lah yang kini menonjol, dengan menyingkirkan “Zaman Skolastik” yang memberikan pencerahan, pikiran bening, dan hati bersih.

Majapahit tahun 1336, sudah berlalu. Semua menjadi catatan sejarah, yang tidak cukup hanya dibaca dan dikenang, tetapi perlu dijadikan guru kehidupan.

***