Psikologi dan Psikiatri sebagai Pseudosains

Sementara, ilmu psikologi tidak sampai dua ratus tahun usianya, namun sudah merugikan begitu banyak orang. Sudah waktunya kita sadar akan hal ini, dan tidak lagi tertipu.

Selasa, 15 September 2020 | 21:55 WIB
0
180
Psikologi dan Psikiatri sebagai Pseudosains
Ilustrasi psikologi (Foto: tirto.id)

Tulisan ini lahir dari rasa prihatin. Psikologi dan Psikiatri telah menipu begitu banyak orang. Di Indonesia, budaya berpikir kritis sangat tidak berkembang, sehingga kita begitu mudah ditipu oleh sesuatu. Kebodohan kita di Indonesia ini dimanfaatkan oleh ilmu psikologi dan psikiatri untuk mengeruk uang dari penderitaan yang kita alami.

Psikologi dan Psikiatri adalah pseudosains. Semakin lama, saya semakin yakin atas pandangan ini. Pseudosains adalah ilmu palsu. Ia mengaku diri sebagai ilmu pengetahuan. Padahal, aslinya, ia hanya sebentuk penipuan belaka.

Dengan mengaku sebagai ilmu pengetahuan, psikologi dan psikiatri telah menipu dan memanipulasi banyak orang. Korbannya pun bukan orang biasa, melainkan orang yang sedang rapuh secara mental. Mereka percaya, bahwa ilmu psikologi dan psikiatri bisa membantu mereka. Yang terjadi sebaliknya, kedua ilmu tersebut mengeruk banyak uang, tanpa memberi kesembuhan apapun.

Psikologi adalah ilmu tentang perilaku manusia. Sementara, psikiatri adalah bagian dari ilmu kedokteran yang terkait dengan kesehatan mental. Kedua ilmu ini mengklaim mampu membantu orang untuk hidup sehat secara mental. Sekali lagi, klaim ini adalah penipuan besar.

Dehumanisasi

Ada enam pandangan yang ingin saya tawarkan. Pertama, psikologi dan psikiatri menjadikan manusia sebagai obyek. Manusia dilihat sebagai benda yang bisa dimanipulasi sesuai kebutuhan. Sejatinya, ini adalah pelanggaran atas Hak-hak Asasi Manusia. Ini adalah dehumanisasi.

Manusia dijadikan obyek eksperimen. Di titik ini, manusia dilihat sama seperti tikus dan monyet. Ini jelas pelanggaran berat terhadap konsep ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan ada untuk mengembangkan kehidupan, dan bukan untuk memanipulasinya.

Dua, manusia juga seringkali dijadikan obyek beragam tes yang tidak masuk akal. Tes dibuat dalam budaya dan waktu tertentu. Ia tidak bisa sembarangan diterapkan, apalagi untuk “mengukur” manusia. Ini adalah salah satu omong kosong terbesar yang pernah saya dengar.

Hasil tes mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Hasil tes juga bisa mempengaruhi jalan hidup dan karir seseorang. Ini soal kehidupan nyata, dan bukan alat tes yang tidak jelas dasar dan gunanya.

Di Indonesia, sekali lagi, karena kita lemah sekali di dalam pemikiran kritis, kita gampang percaya pada para psikolog dan psikiater penipu. Kita pun dimanipulasi, dikeruk uangnya, hancur karirnya dan malah terganggu secara mental.

 Sesat Dasar Berpikirnya

Tiga, psikologi dan psikiatri modern berpijak pada pengembangan konsep ego yang sehat. Terapi dan “tes omong kosong” dilakukan untuk membentuk ego, atau kepribadian, yang sehat. Ini jelas salah paham yang sangat berbahaya. Segala masalah mental manusia justru timbul, karena “ego”.

Tidak ada “ego” yang sehat. Ego adalah sumber penderitaan. Ini bukanlah teori belaka, melainkan pola alam semesta yang sudah berulang kali terbukti. Dengan mengembangkan ego yang sehat, psikologi dan psikiatri justru memperparah penderitaan manusia.

Empat, psikologi dan psikiatri berpijak pada kerangka teori yang salah kaprah. Dua aliran besar muncul disini, yakni psikoanalisis dengan beragam cabangnya, dan behaviorisme juga dengan beragam cabangnya. Psikoanalisis melihat manusia sebagai mahluk yang didorong oleh hasrat-hasrat gelap tidak sadarnya. Behaviorisme ingin mengubah perilaku manusia, tanpa perubahan cara hidup yang lebih mendalam.

Keduanya adalah sebentuk manipulasi pada manusia. Keduanya adalah dehumanisasi, sekaligus pelanggaran harkat dan martabat manusia. Banyak pemikir besar di bidang psikologi dan psikiatri sudah sadar akan hal ini. Mereka pun beralih ke tradisi meditatif Asia, seperti Yoga dan Meditasi, sebagai jalan keluar.

Saya menaruh simpati besar pada psikologi humanistik. Pendekatan mereka sangat manusiawi, mirip dengan filsafat dan tradisi meditatif Asia. Sayangnya, pendekatan ini hampir tak dapat ditemukan di Indonesia. Kita justru mendapatkan jenis psikologi dan psikiatri yang dangkal dan merusak.

Lagi pula, jika psikologi humanistik dekat dengan filsafat dan tradisi meditatif Asia, mengapa kita tidak langsung belajar ke sumbernya? Mengapa kita mendalami barang turunan kedua, atau KW? Tradisi meditatif Asia dan filsafat kritis bisa membebaskan orang dari penderitaan dan kebodohan. Ini sudah terbukti selama ribuan tahun.

Alat Penindasan

Lima, karena dirinya juga miskin sikap kritis, ilmu psikologi dan psikiatri kerap hanya menjadi alat penguasa untuk menindas. Psikologi, terutama psikologi organisasi, hanya menjadi kaki tangan orang kaya untuk menindas pekerjanya, yakni dengan menciptakan pekerja yang patuh dan rajin, namun bersedia dibayar murah. Psikiatri hanya menjadi alat penguasa untuk menindas orang-orang dengan gaya hidup dan cara berpikir berbeda. Mereka diterapi dan dipaksa untuk menjadi “normal”.

“Normal” itu tidak ada. “Normal” itu sebentuk penindasan. Tidak ada manusia yang “normal” sesuai dengan kehendak penguasa, atau masyarakat luas yang bodoh. Setiap orang unik dengan pola hidupnya masing-masing.

Enam, psikologi dan psikiatri juga kerap kali menciptakan ketergantungan. Orang-orang yang sedang rapuh dimanfaatkan untuk dikeruk uangnya. Terapi omong kosong seolah menjadi kebutuhan. Padahal, kerap kali, terapi tersebut yang menjadi sumber masalah yang sebenarnya.

Psikiatri malah lebih berbahaya. Orang diberikan obat yang tidak menyelesaikan masalah. Sebaliknya, orang justru menjadi ketergantungan obat. Uang terus keluar, namun kesembuhan tak kunjung datang. Penyakit baru dalam bentuk ketergantungan justru berkunjung.

Jangan Mau Tertipu

Psikologi dan psikiatri telah menyalahgunakan kepercayaan masyarakat. Mereka seolah ingin menolong. Namun, sesungguhnya, mereka hanya menipu dan memanipulasi. Mereka justru merendahkan harkat dan martabat manusia.

Para praktisi psikologi dan psikiatri sebaiknya mulai berpikir ulang tentang ilmu yang mereka dalami. Hidup manusia singkat. Jangan menghabiskan hidup untuk menipu dan memanipulasi manusia yang sedang rapuh. Itu tindakan yang amat sangat kejam.

Masyarakat luas juga jangan tertipu. Kita harus berpikir kritis tentang praktek ilmu psikologi dan psikiatri. Jika ingin hidup sehat dan bahagia, tradisi meditatif Asia, seperti Yoga dan Meditasi, jauh lebih bermanfaat. Ajaran mereka sudah terbukti ribuan tahun kemanjurannya.

Sementara, ilmu psikologi tidak sampai dua ratus tahun usianya, namun sudah merugikan begitu banyak orang. Sudah waktunya kita sadar akan hal ini, dan tidak lagi tertipu.

***