Sekte-Sekte Orang dalam Busway

Hari-hari berikutnya saya mencoba menjadi makhluk hidup kategori manusia baik, walaupun realitanya sangat sulit ketika sudah kepepet ego dan nafsu.

Rabu, 24 Juni 2020 | 23:12 WIB
0
426
Sekte-Sekte Orang dalam Busway
Ilustrasi orang dalam busway (foto:Tribunnews.com)

Salah satu kebiasaan saya menjelang weekend adalah keliling ibukota menggunakan busway. Selain murah, saya kira lumayan aman dan nyaman di dalamnya. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa di dalam busway terdapat bangku/kursi prioritas. Pada saat-saat bus mampir ke halte, sudah menjadi hukum alamnya di situ ada berbagai macam orang dengan beraneka umur. Jelaslah, ketika orang tua masuk ke dalam bus, di situ bisa kita lihat dua sekte manusia.

Yang pertama, yaitu manusia baik. Manusia baik ini akan segera mempersilahkan orang tua atau orang kategori prioritas bus lainnya untuk segera duduk di tempat dia duduk tadinya. Selain itu, dari sekte ini juga terlahir mereka yg bersikap superior seperti layaknya pegawai busway yang sering bilang "kursi prioritasnya mohon maaf" sembari menghadap kanan kirinya.

Tentu mereka ini akan merampas paksa tempat duduk anak muda atau orang yang sekiranya masih layak untuk berdiri. Selanjutnya mereka akan mempersilahkan kursi tersebut kepada mereka yang sudah lansia atau orang kategori prioritas lainnya.

Yang kedua, yaitu manusia belum baik. Dengan keegoisan yang amat tinggi, mereka ingin menempati fasilitas seenak jidatnya tanpa memandang aturan. Mereka akan segera acting "pura-pura tidak melihat" atau dengan "pura-pura tertidur" ketika ada seseorang yang diprioritaskan masuk.

Selain itu, ada yang lebih parah yaitu pura-pura telepon atau sedang sibuk dengan gadgetnya. Hal ini sering ditemukan, terutama mereka yang duduknya di kursi pojok belakang. Dan biasanya, mereka adalah seorang pria.

Namun ada satu hal yang jarang saya temukan di busway jurusan dan dari sekte manapun kala itu. Ketika busway mampir di halte Kartini, di situ bus kemasukan seorang "maaf", kelainan mental. Saya melihat sepertinya dia berumur anak SMP kelas satu.

Awal masuk, dia berdiri di hadapan saya sekitar pintu tengah bus. Walaupun memiliki kelainan, dia berani sendiri keluar rumah dan tak ragu untuk tebar senyum kepada siapapun orang di sekitarnya. Selang beberapa menit, kondektur bus mengingatkan dia untuk duduk di kursi. Tapi apa kata dia? Dia bilang "tapi om saya belum tua. Saya masih bisa berdiri" namun kondektur bus memaksanya untuk duduk hingga akhirnya dia pun duduk.

Setelah duduk, nampak sekali raut mukanya berubah. Yang semula sangat gembira tiba-tiba berkerut dan kelihatan murung. Sontak ini membuat saya tertegun bukan kepalang. Saya yang waktu itu masih dikategorikan manusia rantau baru, melihat hal tersebut serasa ada tombak yang menusuk ke dalam jiwa dan hati.

Menembus ke dalam naluri yang tak bertepi. Seorang yang memiliki kelainan mental saja bisa sampai care seperti itu dan tahu etika yang baik seperti apa. Tapi ketika saya memandang diri sendiri kok malah jauh dari sikap yang seperti itu.

Belajar dari dia, hari-hari berikutnya saya mencoba menjadi makhluk hidup kategori manusia baik, walaupun realitanya sangat sulit ketika sudah kepepet ego dan nafsu. Akan selalu saya ingat hari itu kala saya sedang berkerumun ataupun yang lainnya.

***