KBBI Bukan Kitab Suci

Sayangnya, apa yang disampaikan Bapak Presiden justru melebar ke hal-hal yang tak substansial. Ternyata efek pilpres yang lalu belum juga berakhir.

Sabtu, 25 April 2020 | 05:22 WIB
0
492
KBBI Bukan Kitab Suci
pic: liputan6.com

Usai wawancara Najwa Shihab dengan nara sumber Presiden Joko Widodo pada 21 April 2020 lalu, polemik perihal kata mudik dan pulang kampung menjadi trending topik sekaligus mendominasi lini masa media sosial. Dari orang awam hingga para ahli bahasa beramai-ramai mengunggah postingan dengan berbagai argumentasinya.

Sebagian ahli menghakimi dengan penilaian salah benar sambil merujuk kitab besar KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sementara ahli bahasa lainnya menggunakan pendekatan semantik, linguistik dan sosiologi sehingga tak mempersoalkan pembedaan makna antara kata mudik dan pulang kampung.

Lalu seperti biasa, selain berbagai pembelaan, komentar-komentar pedas dan sarkastik ala netizen +62 pun berhamburan. Mereka berpesta pora seperti kawanan harimau kelaparan yang berhasil menangkap rusa.

KBBI bukanlah kitab suci. Sementara bahasa, berkembang seiring perubahan waktu dan adanya pergeseran makna karena perubahan budaya. Karena itulah KBBI telah mengalami revisi berulangkali.

Kenyataan di dalam percakapan sehari-hari, kata "mudik" banyak dipahami sebagai peristiwa migrasi dari kota ke kampung halaman hanya pada waktu menjelang perayaan hari besar. Jelas, di sana ada penyempitan makna.

Kosa kata ini oleh pemerintah dijadikan sebagai pembeda untuk memperlakukan secara berbeda orang-orang yang melakukan aktifitas yang sama menjelang hari besar: pulang ke kampung halaman.

Mereka yang pulang itu perlu diklasifikasikan agar dapat diberlakukan aturan yang berbeda. Bayangkan kalau semua orang dilarang pulang kampung apapun alasannya.

Orang-orang yang bekerja di Jakarta dan mudik untuk berlebaran pasti akan berpikir seribu kali untuk melakukannya karena kemungkinan besar mereka tidak siap dikarantina selama 14 hari sebelum memasuki wilayah di kampung halamannya.

Tetapi orang-orang yang memang tak punya pilihan lain dan harus pulang kampung halaman karena sulitnya hidup di ibukota, mereka akan siap di karantina di sana. Sebab tujuan mereka pulang kampung bukan untuk bergembira ria berlebaran.

Mereka melakukannya karena terpaksa untuk keberlangsungan hidup selanjutnya. Urusan karantina 14 hari, tentu bukan masalah berarti bagi mereka, lagi pula itu demi kebaikan bersama.

Sayangnya, apa yang disampaikan Bapak Presiden justru melebar ke hal-hal yang tak substansial. Ternyata efek pilpres yang lalu belum juga berakhir.

Duh Gusti, paringono amplop.

***