Kuli Kontrak di Perkebunan Deli

Kota Medan yang pernah mendapat julukan Paris van Sumatera atau Paris-nya Sumatera dibangun di atas kesenangan tuan kebun sekaligus penderitaan para kuli.

Senin, 24 Februari 2020 | 22:30 WIB
0
466
Kuli Kontrak di Perkebunan Deli
Kuli Kontrak (Foto: Merdeka.com)

Saya membeli novel "Kuli" di terminal Blok M, Jakarta, pada tahun 1999. Novel setebal cuma 115 halaman itu saya beli hanya seharga Rp5.000. Tetapi, isi novel Madelon Hermine Szekely-Lulofs itu sangat dahsyat, jauh melampaui harganya.

Novel itu mengisahkan kehidupan kuli kontrak di perkebunan Deli, Sumatera Timur, kini Sumatera Utara. Kuli kontrak dalam sejarah penjajahan di Tanah Air identik dengan perbudakan. Di bagian akhir novel ini kuli bernama Ruki sudah mengumpulkan duit dan berencana pulang ke Jawa bersamaan dengan habis masa kontraknya.

Namun, ia tergoda berjudi dan kalah sampai seluruh uang bahkan pakaian yang melekat di badan melayang. Ruki pun kembali ke tuan kebun menghamba untuk dipekerjakan kembali. Tragis. Perjudian dan lintah darat seperti sengaja diciptakan tuan-tuan kebun untuk membuat para kuli terus terpaksa bekerja di perkebunan.

Madelon menulis novel ini pada Juli-November 1931. Edisi Indonesianya baru terbit pada 1985. Kuli bukan novel pertama yang ia tulis. Sebelumnya ia menerbitkan novel "Berpacu Nasib di Kebun Karet" yang ia tulis Desember 1929-Juni 1931. Namun edisi Indonesianya terbit pada 1985 setelah novel "Kuli."

Saya membeli novel "Berpacu nasib di Kebun Karet" di toko buku bekas di Taman Ismail Marzuki pada tahun 2000 seharga Rp10.000. Novel ini mengisahkan suka duka sebuah keluarga Eropa yang bekerja di perkebunan, sejak membuka lahan. Sangat mungkin ini kisah Madelon dan suaminya yang pernah bekerja sebagai tuan kebun di Deli.

Dua novel Madelon yang terbit di Eropa itu membuka mata dunia betapa kejamnya penjajahan. Madelon dianggap penghianat oleh kaum kolonial. Tetapi, bagi penentang penjajahan, ia dianggap pahlawan. Pada sekitar 2006, saya membeli novel lain karya Madelon berjudul "Tjut Nyak Dien."

Dua novel Madelon bukanlah "perjumpaan" pertama saya dengan kuli melalui buku. Di awal 1999, saya membeli buku "Toean Kebon dan Petani" karangan Karl J. Pelzer. Pelzer mengisahkan tokoh bernama Jacobus Nienhuys merintis perkebunan di Deli.

Pada 1997, saya membeli buku "Menjinakkan Sang Kuli" yang ditulis Jan Breman. Breman antara lain mengungkapkan penderitaan para kuli kontrak di Deli. Jika kedapatan bersalah, mereka dihukum, mulai pemotongan upah, penyiksaan biadab, hingga hukuman mati.

Penyiksaan biadab bisa berupa diseret kuda dengan tangan terikat, dipukuli dengan daun jelatang lalu disiram air, ditusuk bagian bawah kuku dengan serpihan bambu, atau digosok alat vitalnya dengan merica halus untuk kuli perempuan. Banyak yang tak tahan lalu memutuskan bunuh diri.

Buku Jan Breman ini suatu ketika saya lihat bertengger di pojok buku langka toko buku Kinokuniya, Plaza Senayan, Jakarta. Harganya saya duga ratusan ribu rupiah. Padahal, saya membelinya seharga Rp24.300 pada 1997.

Pada 2006, saya menemukan kembali novel tentang kuli. Judulnya "Berjuta-,juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract" yang ditulis Emil W. Aulia. Saya meresensi novel itu untuk Koran Tempo. Dalam resensi itu, saya "menelanjangi" bahwa sejumlah adegan dalam novel itu diambil dari buku Jan Breman dan novel Madelon.

Pada 2015, saya membeli buku berjudul "Sumatera Tempo Dulu: Dari Marcopolo sampai Tan Malaka" yang disunting Anthony Reid. Di buku itu ada tulisan Tan Malaka yang mengungkap kontras kehidupan kuli dan mandor perkebunan.

Tan Malaka mengungkapkan para kuli menghadapi tekanan pekerjaan yang berat. Mereka membanting tulang sejak dini hari hingga malam dengan upah 0,40 Gulden per hari, cuma cukup untuk mengisi perut dan menutup punggung. Mereka tinggal di bangsal serupa kambing dalam kandang. Mereka sewaktu-waktu bisa kehilangan istri dan anak gadis mereka jika tuan kebun menghendaki.

Sebaliknya, mandor perkebunan yang umumnya orang Belanda dan Eropa bisa lekas kaya karena gajinya besar dan mendapat bagian tetap dari dividen, apabila sudah bekerja minimal setahun. Di luar gaji puluhan ribu setahun, mereka mendapat bagian keuntungan sekitar 200.000 gulden. Tuan kebun lebih-lebih lagi, tidak hanya mendapat gaji tetap sebagai direktur atau adviseur, tetapi juga mendapat bagian besar
dari keuntungan kebun.

Pada 2015, saya membeli buku "Koeli Kontrak Tempo Doeloe" karangan Mohammad Said di pojok buku langka toko buku Kinokuniya, Plaza Senayan. Harganya selangit, Rp900 ribu. Said juga antara lain bercerita tentang penderitaan kuli Deli yang karena berbuat kesalahan kepada Sultan Deli lalu dirantai dan diberati bola besi serta tetap harus bekerja di bawah terik matahari.

Said juga mengungkapkan pada 1903, van den Brand menerbitkan brosur di Amsterdam. Judulnya "De Millionen Uit Deli" atau berjuta-juta dari Deli. Rupanya judul novel Emil diambil dari brosur ini. Ada dua tafsir terhadap istilah "berjuta-juta dari Deli." Pertama, kekayaan yang melimpah ruah disalurkan dari Deli. Kedua, berjuta-juta kisah derita, keringat, darah, dan air mata kuli.

Kota Medan yang pernah mendapat julukan Paris van Sumatera atau Paris-nya Sumatera dibangun di atas kesenangan tuan kebun sekaligus penderitaan para kuli.

***