Kata Beriman Yang Sering Terlupakan

Jangan sampai kita yang beragama dipertanyakan oleh mereka yang tidak bertuhan tentang apa sebenarnya manfaat beragama karena mereka tidak melihat arti kata beriman dalam kehidupan.

Kamis, 17 Oktober 2019 | 06:12 WIB
0
673
Kata Beriman Yang Sering Terlupakan
Ilustrasi beragama (Foto: eduspensa.id)

Dalam suatu sesi mengampu Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di kelas, saya menanyakan kepada mahasiswa saya apakah mereka percaya kepada Tuhan. Mungkin bagi mahasiswa saya saat itu atau bahkan pembaca artikel ini akan berpikir pertanyaan saya itu seharusnya tidak perlu dijawab karena status mereka beragama sesuai dengan identitas yang mereka miliki.

"Saya tidak mengharapkan jawaban 'Ya' atau 'Tidak' dari pertanyaan saya itu," demikian saya menimpali pertanyaan awal itu saat mahasiswa sedang berpikir jawaban apa yang seharusnya diberikan. 

"Tetapi, saya ingin kalian berpikir apakah ada bukti dari iman yang kalian miliki di dalam kehidupan ini," lanjut saya.

Pernyataan saya ini untuk menanggapi berbagai masalah yang dialami mahasiswa dan bagaimana mereka mengatasinya dengan iman yang mereka miliki, seperti stres maupun depresi akibat berbagai masalah yang dihadapi hingga kecemasan atau rasa takut berlebihan yang terkadang berbuntut ke upaya bunuh diri atau sikap negatif lainnya.

Benar, saya tidak sedang mengajar agama di kelas saya itu karena saya memang bukan seorang pengajar mata kuliah agama di kelas pluralis itu. Saya ingin mengajak mahasiswa saya merenungkan apakah mereka justru merasakan makna beriman dalam tindakan nyata di kehidupan mereka atau justru terjebak dalam berbagai masalah tanpa mengerti peran iman yang mereka miliki.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata beriman dengan pola kata kerja (verba) memiliki arti mempunyai iman (ketetapan hati); mempunyai keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan ketetapan hati ini seharusnya bermakna besar sebagai pembuktian dari kata beragama karena disikapi atau terlihat jelas aplikasinya  dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tutur-kata, cara berpikir maupun bersikap.

Artikel yang saya tulis ini, secara lebih luas, ditujukan agar kita melihat apakah kita memang benar beriman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Idealnya, dalam kehidupan kehidupan beragama yang dilindungi oleh negara dan konstitusi, bangsa Indonesia  dapat hidup tenteram dan damai di berbagai aspek kehidupan, baik dalam berpolitik, berekspresi menyampaikan berbagai pandangan maupun dalam beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya.

Kenyataan yang terjadi, seperti kita lihat sendiri belakangan, kehidupan berdemokrasi di negeri ini justru tercoreng oleh sikap yang justru tidak menggambarkan kehidupan beriman itu sendiri.  Kebebasan demokrasi yang dilandasi iman, apapun agama yang dianut umatnya, seharusnya bukan terletak pada kebebasan yang dapat diartikan sebebas-bebasnya tanpa batas aturan.

Kebebasan sejati adalah bagaimana kita mempertanggungjawabkan kebebasan itu berdasarkan undang-undang yang berlaku dan ajaran agama sehingga tidak timbul tindak anarki apalagi sampai kerusuhan yang ditunggangi dengan kedok agama untuk menghalalkan kepentingan pribadi maupun kelompok.

Sikap pengingkaran kehidupan beriman ini bahkan tidak tanggung-tanggung dilakukan oleh mereka yang dikenal luas di kalangan publik sebagai tokoh yang taat beribadah. Sebagai suatu contoh, kita bisa melihat dari sejumlah pejabat yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mulai dari pejabat tingkat daerah hingga pemerintah pusat.

Skenario lebih buruknya adalah dalih dari beberapa orang yang masuk kategori sesat logika (logical fallacy) saat mereka berusaha membunuh aparat keamanan termasuk pejabat negara maupun anggota masyarakat lain dimana mereka anggap itu sebagai kebenaran dalam ajaran agama mereka .

Permasalahan pengingkaran iman ini bahkan terlihat jelas dalam kehidupan berdemokrasi. Perselisihan antara dua kubu pendukung capres dari pilpres tahun ini seakan tidak pernah berhenti walaupun pilpres itu sendiri telah berakhir.

Ada kubu yang sempat secara terbuka mengultuskan memilih salah satu capres sebagai suatu tindakan iman untuk menjerat massa pendukung seakan memilih capres yang tidak diusungnya itu adalah tindakan yang bertentangan dengan iman walaupun faktanya capres maupun cawapres dari kedua kubu semuanya seiman.

Konflik bernuansa SARA masih terus berlanjut dengan saling adu fitnah, caci-maki hingga penganiayaan atau bahkan penculikan akibat tidak dapat menerima kekalahan suara dari kubunya sendiri atau sebaliknya; ada yang menjadi sangat arogan karena kubu yang didukungnya memenangkan suara terbanyak.

Hak menyampaikan pendapat di publik baik sikap penentangan terhadap kebijakan pemerintah maupun pejabat legislatif seperti yang dilakukan di depan Gedung DPR/MPR Jakarta belakangan sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang dan negara. Namun, kita harus sadar dan jujur berkata apakah aksi unjuk rasa itu tidak ditunggangi oleh kepentingan kelompok tertentu maupun pribadi.

Apalagi kalau aksi unjuk rasa itu justru mencederai kepentingan masyarakat luas lewat aksi anarki maupun berbagai bentuk kekerasan yang justru bertolak belakang dari semangat demokrasi dimana fakta terburuknya adalah sama sekali tidak mencerminkan sikap beriman.

Tanpa menyebut secara detail aksi penculikan dan pemukulan yang dilakukan oleh kelompok tertentu dalam suatu aksi demonstrasi itu, saya ingin mengajak kita semua melihat secara jernih permasalahan ini apakah wujud dari sikap beriman. Pertanyaan saya ini sepenuhnya membutuhkan kejujuran dan bukan debat kusir dengan dalil agama yang hanya ditujukan untuk menyesatkan umat akibat dimotori oleh kepentingan kelompok tertentu dan tujuan memecah belah bangsa.

Haruskah kita menyalahkan Tuhan hanya karena pemimpin yang kita dambakan tidak terpilih? Bukankah Tuhan terlalu sempurna untuk dipersalahkan?

Bukan berarti kita tidak menemukan hambatan atau permasalahan termasuk kekecewaan dan emosi negatif lainnya dengan kita beriman. Namun, dengan iman yang dimiliki, kita seharusnya punya jaminan bahwa kita tidak akan terkendali oleh masalah atau keadaan, melainkan tetap mampu memegang kendali dengan kondisi seburuk apapun. Dengan demikian, kita tetap dapat mengendalikan diri dan mencoba mencari perspektif positif dari setiap permasalahan.

Pelajaran terbaik di sini adalah justru permasalahan demi permasalahan itu yang mendewasakan kita dalam kehidupan beriman. Kita tidak perlu larut dalam kekecewaan dan kekesalan mendalam apabila pemimpin yang kita dambakan tidak terpilih.

Ini termasuk kenyataan bahwa pemimpin yang terpilih itu hanya handal beretorika tanpa mampu kerja sesuai amanah yang diberikan. Dengan iman, sebaliknya kita dapat mensyukuri keadaan tersebut.

Kenapa tidak?  Kita dapat mensyukurinya karena hal ini dapat dijadikan pelajaran berharga bahwa memilih seorang pemimpin harus melalui seleksi mendalam berdasarkan kompetensi dan latar belakang keberhasilan yang dimilikinya, bukan malah terjerat ke dalam pencitraan yang seringkali digaungkan saat masa kampanye atau bahkan politik pencitraan lain lewat berbagai kedok, termasuk kedok agama dan kesukuan.

Akan sangat kontradiktif apabila kita bandingkan negara kita sebagai negara beragama dengan negara-negara ateis yang justru tidak mengakui keberadaan Tuhan. Swedia, misalnya, justru dikenal berhasil sebagai negara  makmur yang menciptakan toleransi tinggi di kalangan penduduk dan memiliki pemerintahan yang bebas korupsi. Negara yang mayoritas warganya tidak mengenal Tuhan ini justru mampu hidup saling menghormati dengan kaum minoritas yang beragama.

Jangan sampai kita yang beragama ini dipertanyakan oleh mereka yang tidak bertuhan tentang apa sebenarnya manfaat beragama karena mereka tidak melihat arti kata beriman dalam kehidupan kita. Iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati.

***