Jati diri itu persoalan pribadi, yang kepentingannya melulu hanya Tuhan (yang) perlu mengingat siapa nama kita. Siapa pun mahkluk lainnya toh pada akhirnya akan melupakannya.
Sebenarnya mudah saja, setiap kali orang tidak punya argumentasi yang jelas. Tidak punya nalar cukup untuk berbeda pendapat tentang suatu sikap. Ia paling mudah akan berlindung di balik alasan jati diri. Ya, jati diri! Jati diri itu ego, personal, tak lebih tak kurang. Ia akan menarik garis mundur (atau ke dalam, insight) sebagai diri pribadi, karakter unik yang berbeda. Ia akan bersikap saya disini, kamu di sana.
Kita beda, tak harus ama. Dengan catatan: yang kadang malah jadi aneh, inilah yang "paling cocok" buat saya. Jati diri itu sikap, keputusan dan otoritas pribadi. Salah? Ora salah, ning ya ora bener. Apa yang disebut bener, ning ora pener. Benar tapi tidak bijak! Konsep jati diri itu sudah salah sejak dari awal berpikir. Apa yang dsebut salah sejak dari pikirannya....
Puluhan tahun silam, orang yang paling "getol" memaksakan konsep jati diri adalah Ismail Saleh, saat ia menjadi Gubernur Jawa Tengah. Bagi saya ia adalah orang yang paling chauvinist mengedepankan konsep jati diri. Di Semarang bahkan ia menamakan stadion sepakbola yang didirikannya dengan nama Komplek GOR Jati Diri. Dulu megah, belakangan mangkrak.
Tidak sampai di situ, ia juga menyuruh membongkar atap-atap gedung bertingkat yang modelnya dianggap sangat Barat. Bahkan memintanya menggantinya dengan atap seperti joglo. Jejaknya bisa kita lihat sampai hari ini di kawasan kantor Gubernuran. Bentuk arsitektur yang malah jadi tampak tumpang tindih, gak eye chatching dan justru mengada-ada.
Membayangkan bagaimana repotnya, bila harus mengganti genteng, kalau pas atapnya bocor. Absurd sebenarnya, kalau ia sedemikian rupa jualan jati diri dengan mengedepankan "kejawaan". Karena mungkin ia lupa, namanya sendiri sama sekali tidak Jawa.
Namun toh, kiprahnya itu menarik Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, saat itu, yang kemudian menunjuknya sebagai Menteri Dalam Negeri. Jualannya laku, dan konsepnya itu digunakan Soeharto melanggengkan kekuasaannya hingga mencapai angka keramat 32 tahun. Anti jati diri bangsa dianggap subversif, melawan pemerintah dan jadi musuh negara....
Apa yang salah dari konsep Jati Diri?
Tidak ada, sampai kita mengubahnya dari konteks pribadi ke arah komunitas dan pada akhirnya masyarakat. Dan yang paling berbahaya dalam konteks bangsa!
Mereka lupa bangsa itu kumpulan banyak komunitas, dan juga masyarakat dengan karakter dan latar belakang yang berbeda-beda. Perbedaan yang diakui sebagai SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan). Sesuatu yang resmi dipelajari, tapi tak boleh terlalu didiskusikan.
Di Singapura, SARA itu sesuatu yang aib dibicarakan. Bahkan salah-salah kita bisa dihukum, bila terlalu menonjolkan perbedaan yang ada di depan umum. Lee Kuan Yew memang sangat belajar dari Soeharto tentang konsep ini. Ia sangat mengedepankan asas "One Singapore, One Nation". Menjadi sangat gampang dipahami bahwa di negara mini ini demokrasi sejati adalah bulshit!
Bila hari-hari ini terjadi kontroversi pencopotan Helmy Yahya dari Dirut TVRI, itu baik-baik saja sesungguhnya. TVRI sudah sejak lama memang ajang perang banyak kepentingan.
Kaum Kadrun sudah lama menguasainya. Ia sudah layak ditinggalkan, hingga muncul tokoh muda sejenis Helmy Yahya ini. Tentu ia butuh cara "hari ini" agar TVRI dilrik dan ditonton lagi. Sudah efektif sesungguhnya.
Saya pun akhir-akhir kalau nonton tipi lokal, lebih suka channel rakyat ini. Tak terlalu istimewa ada Liga Inggris di dalamnya, wong pertandingan yang disiarkan tidak selalu tim favorit saya. Tapi bahwa alasan pemecatannya karena Liga Inggris tidak sesuai jati diri bangsa. Wah itu sungguh keterlaluan yang parah.
Sejak kapan tontonan yang boleh tayang, apa pun itu, punya nilai jati diri bangsa? Setiap tontonan itu jati diri dari setiap individu. Setiap kepala punya hak untuk menonton atau tidak. Jika tidak boleh ditonton yang seharusnya tidak boleh tayang. Kalau tidak boleh ditonton di satu tempat, harusnya juga tidak boleh di mana pun. Sesederhana itu.Yang harus dipertanyakan itu Dewan Pengawas TVRI itu? Siapa pun mereka, mudah sekali mengidentifikasinya. Mereka tak lebih golongan "kadrun" yang over-sensitif terhadap segala hal yang bukan kepentingan mereka. Kalau hari ini mereka pakai dalih "jati diri bangsa". Mereka sungguh berbudi luhur, memuliakan si mbahnya kadrun. Memanjangkan usia pembodohan gaya Orde Baru.
Jati diri itu persoalan pribadi, yang kepentingannya melulu hanya Tuhan (yang) perlu mengingat siapa nama kita. Siapa pun mahkluk lainnya toh pada akhirnya akan melupakannya.
Kenapa jati diri bangsa itu aneh, bullshit, terbelakang, dan justru beban di masa depan. Ia dengan mudah berubah jadi hantu, dan justru makin menjauhkannya dari jalan menuju manusia sejati....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews