Testimoni Gus Mus Jelang Haul Ke-10 Gus Dur

Tidak perlu kita berusaha untuk mencapai sesuatu dengan pikiran kotor, emosional, serta ambisi tak terkira, serta dengan kesombongannya.

Senin, 30 Desember 2019 | 08:48 WIB
0
411
Testimoni Gus Mus Jelang Haul Ke-10  Gus Dur
Gus Dur dan Gus Mus di Mesir (Foto: Facebook/Pratitno Ramelan)

Senin, 30 Desember 2019 ini adalah haul ke-10 almarhum Gus Dur (Abdurrahman Wahid) tokoh besar NU yang juga mantan Presiden RI. Gus Dur wafat pada tgl 30 Desember 2009. Kata “haul” berasal dari Bahasa Arab, al-haulu yang berarti sekitar, perpindahan waktu, pemisah, dan setahun. Dalam KBBI haul berarti peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali.

Nah, menjelang haul tersebut penulis mendapat copy Testimoni Gus Mus dari seorang Kiai NU, KH Masyhuri Malik yang saya kenal baik saat dahulu berkumpul bersama Alm. Bapak H.Matori Abdul Djalil saat menjabat Menhan RI. Testimoni ini menarik untuk kita tangkap bukan hanya yang tersurat, tetapi lebih utama yang tersirat, demikian dalam.

Gus Mus yang nama lengkapnya Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944 adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, dan menjadi Rais Syuriah PBNU periode (2014-2015). Ia juga seorang penyair dan penulis kolom yang sangat dikenal di kalangan sastrawan. Selain sebagai budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair.

Testimoni Gus Mus Tentang Gus Dur Almarhum

Sosok di sebelahku ini sejak pertama kali aku mengenalnya (di Kairo Mesir, tahun 1964), sudah menarik hatiku. Sebelumnya, melihat wajahnya saja belum pernah. Pada waktu aku kerumahnya di Jakarta dan bertemu ibundanya, sama sekali tak ada diceritakan tentang dirinya dan keberadaannya di Mesir. Tapi begitu berjumpa, sikapnya seolah-olah dia sudah mengenalku sejak lama.

Tak ada basa-basi lazimnya orang baru bertemu dan berkenalan. Justru aku yang canggung dengan sikapnya yang tidak umum itu. Dan sudah sejak pertemuan ('tanpa perkenalan') itu, dia memanggilku "Mus" dan aku memanggilnya "Mas". (Baru ketika pulang di tanah air, ketika orang-orang memanggilnya "Gus", dia pun memanggilku "Gus", meski aku tetap memanggilnya "Mas").

Alhamdulillah, di rumah aku punya kakak (Almarhum KH. Cholil Bisri) yang seperti sahabat karib dan di rantau, Allah menganugerahiku sahabat karib yang seperti saudara ini.

Di dekatnya, aku selalu merasa kecil. Mungkin karena, aku selalu memperhatikan pikiran- pikirannya yang besar. Sering apa yang kupikir besar, dia bisa menjelaskan bahwa itu hanya perkara sepele; meski dia tidak selalu menjelaskan.

Sementara aku masih sibuk memikirkan kuliah dan persiapanku menghadapi ujian, dia sudah memikirkan Indonesia dan bagaimana bisa mempersiapkan khidmah yang optimal bagi negeri yang dicintainya itu. Ketika aku baru memikirkan bagaimana setelah pulang nanti aku membangun rumah tangga, dia sudah memikirkan bagaimana membangun peradaban dunia.

Baginya dunia ini --termasuk kekuasaan-- hanyalah main-main dan senda gurau belaka, seperti difirmankan oleh Tuhannya sendiri. (Q. 6: 32, Q. 47: 46, Q. 57: 20). Baginya, yang terbesar dan terpenting ialah Allah, kemudian hamba-hambaNya Karena itu ungkapannya, "Begitu saja kok repot..." , bagiku, bukan ungkapan m a j a z atau k i n a y a h belaka.

Ya Allah, rahmatilah sdrku Abdurrahman Wahid, dan juga sdrku KH. Cholil Bisri, sebagaimana Engkau merahmati kekasih- kekasihMu. Al-Fãtihah.

Catatan Penulis

Demikian testimoni seorang kiai besar untuk kiai yang disebutnya jauh lebih besar lagi. Kebesaran dan kerendahan hati yang perlu kita tiru. Saya termasuk pengagum Gus Mus dan pernah mengkuti tausiyahnya saat beliau menjelaskan kepada santri-santri agar manusia jangan sekali-kali sombong, karena manusia itu sangat kecil di jagat raya ini dan hidupnya singkat.

Tidak perlu kita berusaha untuk mencapai sesuatu dengan pikiran kotor, emosional, serta ambisi tak terkira, serta dengan kesombongannya. Semua perbuatan dan akal buruk suatu saat akan menjerumuskannya. Tidak peduli sebesar dan setinggi apapun status, pangkat dan jabatan seseorang, sekali mata hatinya beku, dia akan terjebak dunia yang tidak bertepi.

Seseorang yang menghalalkan cara untuk mencapai keinginannya tanpa menghiraukan etika, norma, budaya, tidak tahu bahwa demikian banyak orang yg mencibirnya. Semoga wejangan Semar ini terbaca : "Beja iku biasane kanggo uwong-uwong sing bisa rumangsa, pinter rumangsa. Dudu uwong- uwong sing rumangsa bisa, rumangsa pinter. Aja nyebut kurang yen mung atimu sing kurang padhang".

Marsda Pur Pur Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, pengamat intelijen

***