Ansel da Lopez (1) Menembus Benteng Soeharto Lewat Lobi

Wartawan senior Harian Kompas yang sudah purnatugas ini dikenal "dekat" dengan Keluarga Cendana, namun dekat dalam pengertian hasil lobi.

Sabtu, 13 April 2019 | 05:56 WIB
0
1616
Ansel da Lopez (1) Menembus Benteng Soeharto Lewat Lobi
Ansel da Lopez (Foto: Jimmy S. Haryanto)

Sekitar tiga belas tahun meliput kegiatan di Istana semasa pemerintahan otoriter Soeharto, kalau dihitung tebalnya tumpukan paspor, barangkali sudah melebihi kitab suci. Setumpuk. Lebih kalau hanya enam paspor digunakan untuk meliput kunjungan Presiden Soeharto ke luar ngeri, kata Ansel da Lopez.

“Mungkin saya adalah wartawan yang menghabiskan paspor terbanyak di Kompas,” kata Ansel, dalam percakapan santai dengan saya, di mall di Puri Indah, Jakarta Barat, Jumat (5/Maret/2019). Maksud Ansel, dalam rentang waktu sekitar tiga belas tahun, 1983-1996, sebagai wartawan Kompas peliput berita Istana tigabelas tahun, selain memakai paspor biru, paspor diplomatik, Ansel juga pakai paspor hijau, paspor biasa. Jika ikut resmi ikut rombongan kepresidenan, Ansel menggunakan paspor biru.  Tetapi, jika meliput kunjungan presiden tetapi tak terdaftar dalam rombongan resmi, ia pakai paspor hijau.

Sebegitu banyak paspor dipakainya, lantaran hampir setiap kali pergi bersama rombongan presiden, ia harus ganti paspor biru (dinas) baru. Semua visa masuk negara lain diurus oleh Sekretariat Negara, Ansel terima jadi. Satu media, paling banyak hanya satu wartawan yang boleh ikut rombongan Soeharto ke luar negeri. Semua wartawan yang meliput di Istana saat itu, harus melalui proses screening "bersih lingkungan" di Sekretariat Negara.

Ansel hanya salah satu di antara empat atau lima wartawan Kompas yang ditugaskan meliput berita Istana dalam rentang waktu kekuasaan Orde Baru Soeharto selama kurun waktu hampir 32 tahun, dari 1967-1998. Sebelum Ansel, semasa masih peralihan kekuasaan dari Orde Lama Soekarno ke Orde Baru, ada August Parengkuan. Lalu setelah memasuki masa pemerintahan Soeharto, ada Robby Sugiantoro, Aswin Jusar. Setelah Ansel, kemudian ada Bambang Sukartiono, Joseph Osdar, dan Rien Kuntari. Wartawan Kompas yang biasa "ngepos" di Deplu, James Luhulima, kadang-kadang juga membantu meliput kegiatan Presiden Soeharto di istana.

“Saya semula ditugaskan Kompas di Hankam (Departemen Pertahanan Keamanan) dan ABRI semasa Jendral M Jusuf, menggantikan Purnama Kusumaningrat, wartawan Kompas senior saya,” tutur Ansel. Jendral M Jusuf, yang terkenal dengan ketegasannya itu, hampir setiap minggu dalam rentang 1978-1983 terbang ke berbagai penjuru Tanah Air dengan pesawat Hercules TNI AU.

Selain menugaskan wartawan tulis Robby Sugiantoro, dalam rentang 32 tahun Soeharto, Kompas juga menugaskan fotografernya Pat Hendranto dan Piet Warbung di tahun 60-70an, dan 80-90-an Dudi Sudibyo serta JB Suratno. Dudi Sudibyo yang hobinya terbang dengan pesawat udara (punya lisensi pilot), bahkan merangkap sebagai "lobbyist journalist" di istana alias motret sesekali nulis juga tentang aktivitas Soeharto, pejabat dan tamu negara.

"Sebelum menjadi wartawan Kompas awal 1976, saya dulu freelancer New York Times kemudian Melbourne Herald, saya sudah meliput kegiatan Istana pada masa akhir Bung Karno di Istana sampai Sowhato," tutur Dudi Sudibyo pula.

Ansel sangat sering menyertai untuk meliput, dan selalu harus berbaju militer. Dia bahkan menjadi salah satu wartawan yang paling dekat dengan sang Jenderal M Jusuf kala itu. Sampai pernah suatu ketika, para satpam, sekuriti di kantor Redaksi Kompas di Palmerah sempat dibuat terkecoh ketika sebuah mobil berplat bintang empat merapat ke lobi. Dikira sang jendral mendadak berkunjung, mau apa di Kompas? Kok tak ada pemberitahuan? Ternyata mobil bintang empat yang ditumpangi Jenderal M Jusuf itu hanya mengantar Ansel da Lopez dan isterinya, Rosiana, sampai ke pintu lobi di kantor kerjanya di Kompas.

"Waktu itu kami bertemu di Rumah Sakit Pusat Pertamina, saat membesuk Kapuspen Hankam Brigjen TNI Entjoeng AS yang sedang dirawat. Ketika akan pulang, Pak Jusuf menawarkan untuk mengantarkan saya dan Rose (panggilan untuk Rosiana) ke kantor. Sambil mengucapkan terima kasih, saya mati-matian menolak karena merasa sangat tidak pantas. Tapi karena beliau terus mendesak, akhirnya kami ikut juga." tutur Ansel.

"Di mobil, yang dikawal dua prajurit polisi militer (PM) sebagai voorijders, kami duduk bertiga di jok belakang, Rose di tengah-tengah," tutur Ansel. Selesai menurunkan Ansel dan isterinya di lobi kantor Kompas, Jenderal M. Jusuf langsung melanjutkan perjalanannya ke kantornya, Markas Besar Departemen Pertahanan dan Keamanan/ABRI di Jalan Merdeka Barat. "Jadi, benar-benar hanya untuk mengantarkan saya dan isteri," kata Ansel mengenang.
 
Tiga dekade pemerintahan Orde Baru, Soeharto, ditandai dengan berbagai penanda tindak represif terhadap kebebasan pers, di antaranya pemberangusan surat kabar. Di kantor lama Redaksi Kompas di Palmerah Selatan, Jakarta, di bekas bangunan pabrik obat Konimex (sekarang sudah jadi lahan parkir dan lobby gedung Kompas Gramedia), tertempel kertas besar dan panjang bertuliskan tangan tentang berbagai larangan yang hampir setiap hari selalu bertambah. Larangan-larangan itu datang dari para penguasa, terbanyak dari Kapuspen ABRI dan dari Staf Menpen Orde Baru Harmoko. Tidak terbatas pada penguasa besar, tetapi juga dari ‘penguasa menengah dan kecil’ di tingkat Kodam, Kodim, dan Polres.

Tulisan tangan yang dipajang di kertas besar di papan tulis umum itu ditulis para wartawan ataupun redaktur, berisi info-info larangan tentang apa saja berita yang tak boleh diturunkan, diekspose, dan siapa saja yang tidak boleh diwawancara, atau topik apa yang tak boleh ditulis. Tentunya dengan maksud agar hal-hal tabu bagi Orde Baru tidak diberitakan di Kompas. Apalagi, menyangkut berita keluarga Cendana, dan mengritik Dwi Fungsi ABRI. Nyaris tiada hari tanpa dering telpon dari penguasa ke Redaksi Kompas, yang mengabarkan komplain penguasa, atau imbauan tidak memuat berita.

Gara-gara hal terakhir – pemberitaan tentang keluarga Cendana dan kritik dwifungsi ABRI sempat membuat surat kabar Kompas -yang pertama kali terbit 1965 sejak senja kala Orde Lama  – pada tahun 1978 pernah dibreidel (ditutup, walau hanya sementara) oleh Soeharto lantaran melanggar pemberitaan yang sangat sensitif bagi Orba. Yakni ketika Kompas memberitakan merebaknya demo-demo mahasiswa, yang menuntut turunnya Soeharto, dengan menyinggung praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme semasa pemerintahannya, serta menyoroti dwi fungsi ABRI ketika itu.

Kompas dilarang terbit oleh Orba pada 20 Januari 1978 dan baru boleh terbit kembali pada 5 Februari 1978. Itupun dengan terlebih dulu Pemimpin Redaksi Jakob Oetama menanda-tangani persetujuan, di antaranya agar tidak memberitakan (bisnis) keluarga Cendana (istana) dan mengritik Dwi Fungsi ABRI...

Larangan terbit bagi Kompas ini sebenarnya adalah yang kedua kali. Yang pertama pada bulan Oktober 1965 -- hanya empat bulan setelah kelahiran Kompas pada 28 Juni 1965 – media ini dan sejumlah media lain dilarang terbit oleh penguasa  demi mencegah informasi simpang siur setelah peristiwa 30 September 1965. Tetapi, pembreidelan Kompas dan sejumlah media lain, seperti, Sinar Harapan dan Tempo oleh penguasa Orde Baru pada 1978, dinilai  adalah tindakan pemberangusan terkeras dari penguasa pasca kemerdekaan.

“Saya masuk setelah Kompas dibreidel 1978,” ungkap Ansel, yang kelahiran Maumere, Flores, 26 Januari 1950. Sebelum direkrut Kompas, Ansel adalah wartawan Suara Karya sejak tahun 1973, dan pada masa-masa akhirnya pernah juga meliput di Istana sampai sampai 1978. Dengan demikian, pribadi Ansel pun sudah dikenal oleh Robby Sugiantoro dan Aswin Jusar, dua wartawan Kompas yang meliput berita  istana kala itu. Apalagi, mereka bertiga sesama penghuni Perumnas di Depok, Bogor.

Kebekuan hubungan Kompas dengan penguasa Orde Baru pasca pembreidelan surat kabar tersebut selama dua minggu pada 1978, membuat Jakob Oetama Pemimpin Redaksi Kompas kala itu, mencari jalan keluar agar bisa menembus lagi sumber-sumber berita utama politik di Istana kala itu. Jakob pun kemudian mempraktekkannya, yang dalam teori jurnalistik disebut sebagai “lobbyist journalism”.

Robby Sugiantoro, wartawan istana semasa Soeharto, 1983 ditarik ke dalam sebagai Redaktur Politik, sementara Aswin Jusar mengundurkan diri untuk pindah ke media lain. Ansel da Lopez lalu ditugaskan menggantikan posisi Robby dan Aswin sebagai “wartawan istana”, setelah lima tahun ia ditugaskan sebagai wartawan bidang Hankam/ABRI semasa M Jusuf. Dan memang, selama Ansel ditugaskan di istana, pelan-pelan kebekuan hubungan Kompas dan istana pun terasa sedikit mencair.

“Saya sering malam-malam ngobrol-ngobrol sama Pak Moerdiono (Menseskab Moerdiono, 1983-1988 dan kemudian Mensesneg, 1988-1998). Sambil beliau memeriksa surat-surat yang hendak didisposikan kepada Presiden Soeharto, beliau sering menginformasikan berbagai hal yang sedang berkembang," tutur Ansel.

"Kadang- kadang kalau beliau (Moerdiono) terbang ke luar kota untuk memberi ceramah dan sebagainya, saya juga selalu diajak menyertainya dalam pesawat jet pribadi yang menerbangkannya, yang isinya cuma tiga orang, beliau, saya dan ajudannya. Sering pula malam-malam sehabis bekerja, saya menyempatkan diri datang ke lapangan tenis di kompleks Sekretariat Negara untuk menonton Pak Moer bermain tenis, sambil ngobrol-ngobrol bila istirahat." kata wartawan senior Kompas ini pula.

"Sebetulnya cape juga sih karena harus mencari waktu luang setelah jam kerja. Apalagi berita tentang kegiatan Presiden Soeharto yang saya liput setiap harinya itu banyak, dan semuanya harus ditulis," tutur Ansel da Lopez.

Meskipun apa yang disampaikan Mensesneg Moerdiono dalam obrolan-obrolan itu semuanya bersifat off the record, tetapi menurut Ansel, semuanya itu membuat dia banyak tau apa yang sedang terjadi.

Dengan demikian arah pemberitaan yang ditulisnya bisa sesuai dengan keadaan sosial politik dan sebagainya yang sedang berkembang. Jadi, tidak sekedar asal ditulis. Dan, yang tidak kalah manfaatnya, tambah Ansel, "saya bisa membina hubungan pribadi yang dekat dengan beliau."

Dari kedekatan hubungan ini, kata Ansel, dia juga bisa menjembatani beberapa persoalan yang dihadapi Kompas, baik sebagai media maupun sebagai perusahaan. Ini termasuk pula dengan kedekatan hubungan Ansel dengan Menpen Harmoko maupun nara sumber lainnya, termasuk di lingkungan militer.

Strategi menjadi "lobbyist journalist" ini memang selalu didororong oleh pimpinan Kompas, Jakob Oetama, kepada para wartawan Kompas waktu itu, agar media nasional ini benar-benar dekat dengan setiap nara sumber, lebih-lebih kepada nara sumber yang strategis. Sebelum menempatkan Ansel da Lopez sebagai “lobbyist journalist” di istana, Jakob Oetama pernah menempatkan wartawan Kompas, August Parengkuan, semasa peralihan dari pemerintahan Orde Lama  Soekarno, ke Soeharto.

Tentu, tidak serta merta Kompas harus dituduh dengan menjilat nara sumber apalagi penguasa Orde Baru setelah dibreidel. "Lobbyist Journalism" yang dikembangkan Kompas pasca pembreidelan 1978 itu dilakukan secara profesional. Ansel tidak bekerja sendiri. Akan tetapi, masih ada Robby Sugiantoro dan tim Desk Politik Kompas di belakangnya, serta Jakob Oetama sebagai otak utama liputan Kompas kala itu (instruksi liputan adalah hasil rapat harian Pemred dan para Redaktur pada setiap pagi hari pukul 09.00), didampingi Redaktur Pelaksana August Parengkuan.

"Lobbyist Journalism" juga diterapkan Kompas ketika August Parengkuan selaku Koordinator Koresponden Luar Negeri, merekrut koresponden untuk Australia, Ratih Hardjono, yang di antaranya mampu melobi dan mewawancara sejumlah Perdana Menteri negeri Kanguru tersebut, seperti PM Gough Whitlam kala itu. Atau Threes Nio, yang ditugaskan oleh Jakob Oetama jadi "lobbyist Journalist" Kompas di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Manhattan, New York. Kompas membiayai mahal Threes tinggal di sebuah apartemen New York, atas biaya kantor Redaksi tentunya.

“Kadang-kadang jika presiden Soeharto berkunjung ke luar negeri, dari media yang diminta menyertai kunjungan itu adalah Pemimpin Redaksi. Sehingga sering saya menyusul dengan bergabung dalam perjalanan untuk mendampingi pak Jakob. Tak mungkin pak Jakob di Yugo, di Tokyo atau di Beijing mengirim sendiri beritanya. Tentu karena bantuan  kedekatan saya dengan Pak Moerdiono, saya boleh bergabung dengan rombongan kepresidenan,” kata Ansel pula. Tanpa izin Mensesneg, tentu Ansel tak boleh ikut dalam liputan kunjungan Kepala Negara RI tersebut.

Oktober 1989, ketika pemimpin agama Katholik, Paus Johannes Paulus II, berkunjung ke Indonesia. Ketika hendak kembali dari Jakarta menuju Mauritius, dengan pesawat Garuda yang disiapkan oleh Pemerintah RI, hanya Ansel da Lopez lah satu-satunya wartawan Indonesia yang ikut serta dalam pesawat rombongan Paus. Sebelumnya sudah ada ketentuan dari panitia pusat Pemerintah bahwa tak boleh ada wartawan yang ikut rombongan Paus. Berkat lobinya dengan Mensesneg Moerdiono selaku Ketua Panitia Pusat Penyambutan versi Pemerintah, Ansel pun dimasukkan dalam rombongan sebagai Panitia dari KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia) dalam rombongan Paus ke Mauritius. Padahal, ke Mauritius, Ansel juga meliput kunjungan Paus untuk dilaporkan di Kompas...

Atau, ketika Ansel yang selalu ikut dalam rombongan Presiden sejak 1983 itu ingin mengikutkan teman wartawan Kompas lainnya dalam liputan Soeharto ke luar negeri. Bagaimana akalnya? Bagaimana menerobos peraturan ketat Setneg, satu media hanya satu wartawan peliput?

“Semisal Presiden Soeharto berkunjung ke negara-negara A, B, C, dan D, saya ikut rombongan resmi. Sementara rekan saya J Osdar yang ingin juga ikut, saya minta terbang sendiri ke negara B, nanti bergabung rombongan di sana. Inipun hanya bisa terjadi berkat lobi dengan Moerdiono tentunya...,” ungkap Ansel. Pola mencegat di perjalanan untuk kemudian bergabung dengan rombongan kepresidenan seperti itu, dipraktekkan oleh Kompas melalui Ansel da Lopez dan J Osdar selama beberapa tahun semasa Soeharto, berkat lobi Ansel dengan Mensesneg Moerdiono tentunya.

“Sebaliknya juga, jika yang harus ikut rombongan kepresidenan adalah Pemimpin Redaksi (Jakob Oetama), semisal ketika suatu saat Soeharto marah dengan pemberitaan media, jelang KTT Nonblok di Yugoslavia (September 1989). Giliran saya yang harus "nyegat" untuk bergabung dengan rombongan di Beograd, untuk selanjutnya mem-back up Pak Jakob Oetama dalam lanjutan kunjungan berikutnya ke negara lain. Pola bergabung di tengah jalan ini, lantaran sejak di Jakarta sudah ada ketentuan bahwa satu media hanya satu peliput yang boleh berada di rombongan resmi kepresidenan,” tutur Ansel pula.

“Suatu pagi ketika membaca Kompas di kediamannya di Jalan Cendana, Pak Harto menyeletuk, Kompas itu bagus, tetapi (laporannya) sering nylekit,” tutur Ansel pula, tentang komentar penguasa Orde Baru itu mengenai media tempat ia kerja. Ansel tidak bekerja "sendirian”. Di belakang Ansel masih ada Redaktur Desk Politik saat itu, Robby Sugiantoro, yang mengolah berita-berita politik, termasuk berita dari Istana tentang Presiden. Robby Sugiantoro, Redaktur Politik Kompas kala itu, memang dikenal rekannya sebagai pengritik Soeharto.

Atau, ketika Indonesia melakukan normalisasi hubungan dengan Republik Rakyat China dan Soeharto berkunjung ke Beijing, pada 23 Februari 1989, juga hanya boleh Pemimpin Redaksi yang ikut dalam rombongan Presiden Soeharto. Selain Jakob Oetama sebagai anggota resmi rombongan, Ansel pun bisa ikut bergabung, berkat lobinya dengan Mensesneg Moerdiono.

“Bisa dibayangkan, berapa banyak cap untuk visa masuk negara Eropa (sebelum bergabung dalam negara Schengen) harus saya cari, jika saya harus mengurus sendiri, saat mengikuti kunjungan Soeharto ke berbagai negara dalam satu kali lawatan!" kata Ansel. Akan tetapi, semuanya bisa teratasi karena semua pengurusan visa dilakukan oleh Setneg.

Di zaman serba penuh pembatasan, pelarangan, di era represif Orde Baru, pemimpin media memang harus pintar putar otak untuk menembus kebekuan hubungan dengan sumber berita di pemerintahan. Di antaranya, menurut Ansel, harus mempunyai lobi dengan tiga instansi penting. Yakni pihak Istana, Departemen Hankam/ABRI, dan Departemen Penerangan di era Harmoko.

Ansel, yang pensiun dari Kompas sejak 26 Januari 2010 itu, mengaku ‘lobbyist journalist’ seperti dia tidak hanya berguna untuk melobi penguasa dalam mencairkan kebekuan, dan cari jalan keluar dari kebuntuan. Akan tetapi juga menjadi salah satu sumber utama media di tempat dia kerja, dalam menghadapi “hoaks” zamannya.

“Pak Jakob itu sangat sensitif tentang berbagai infornasi ini dan itu tentang Kompas. Pusing dia, apalagi menyangkut penguasa. Teman-teman wartawan suka datang melapor ini dan itu, yang belum tentu kebenarannya. Sampai-sampai suatu saat Pak Jakob mengatakan, saya mau dengar dari Ansel dulu." Mungkin Pak Jakob sadar bahwa lobi utama tiga kekuasaan utama saat itu, yakni Istana, Hankam/ABRI, dan Deppen, ada di "tangan" Ansel. "Sering sekali saya dipanggil menghadap Pak Jakob pagi-pagi di kantor. Padahal baru pulang kantor tengah malam ke rumahnyang jauh di Depok," tutur Ansel.

Zaman tentunya sudah berganti. Era represif, otoriter dalam pemberitaan tentunya sudah tidak relevan sama sekali dengan zaman serba keterbukaan sekarang ini. Lobbyist Jornalism tentunya tidak dilakukan persis sama dengan apa yang dilakukan seperti Ansel da Lopez kala itu. Kecuali, jika di masa mendatang setelah Pilpres 2019 ini Republik ini kembali ke masa represif seperti zaman Orde Baru... 

(Bersambung)

***