Aku Dulu Pingin Jadi Dalang

Bila ada kuasa lain yang mengungguli para dalang, maka dalang pun yang sekarang pentas di mana-mana itu hanyalah wayang, hanyalah boneka bagi ambisi “dalang agung,” atau “Sang Autor Intellectualis Sejati.”

Kamis, 17 Februari 2022 | 15:59 WIB
0
232
Aku Dulu Pingin Jadi Dalang
Wayang jemblung (Foto: métrum.co.id)

I

Pernah, dulu sambil kuliah terbersit dalam hati dan pikiran untuk sekolah di Habirandha. Habirandha adalah sekolah pedalangan yang terletak di Jalan Rotowijayan No. 1 Yogyakarta, dekat Keraton Ngayojahadiningrat.

Sekolah yang didirikan untuk mengembangkan seni pedalangan ini lahir atas inisiatif Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Djadipura pada tahun 1925. Dan, mendapat dukungan penuh dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.

Entah mengapa, dulu saya tertarik sekolah pedalangan. Mungkin, karena semasa masih kecil suka menonton wayang; bahkan ke desa tetangga. Di desa saya, ada seorang dalang kondang, pada masanya, Ki Sadewa, yang rumahnya hanya sekitar 100 meter dari rumah orangtua saya. Dan, kami masih ada hubungan keluarga dengan Ki Sadewa. Saya masih ingat, dulu setiap siang main gamelan di rumahnya.

Mungkin juga, saya melihat dalang itu sangat hebat. Ia mampu menyuguhkan cerita yang sangat memesona. Omongannya didengarkan oleh para pandemen, penyuka wayang yang menonton semalam suntuk. Kalau pun tak bisa menonton secara langsung, rela mendengarkan siaran lewat radio, juga semalam suntuk.

Dalang itu sangat berkuasa. Berkuasa membuat cerita. Berkuasa mengarahkan ke mana arah cerita. Berkuasa menentukan siapa menang siapa kalah dalam peperangan. Berkuasa menyuruh para niaga untuk mulai menabuh gamelan dan menghentikan. Berkuasa menyuruh para pesinden nembang sesuai keinginannya.

II

Dalang memang hebat. Kata orang-orang pinter, dalang itu auctor intellectualis. Menurut seorang ahli bahasa dari Perancis Emile Benveniste (1902-1976), kata auctor (bahasa Inggris menjadi author) diambil dari bahasa Latin augeō (augere, kata kerja).

Dalam Kamus Bahasa Latin-Indonesia (K Prent c.m, J Adisubrata, dan WJS Poerwadarminta; 1969) kata augere  mempunyai banyak arti, antara lain meningkatkan, memperbesar, menumbuhkan, memperbanyak, memperkuat, memperteguh, memupuk, dan memperkembangkan. Dalam bahasa Inggris menjadi to augment, yang berarti memperbesar, memperbanyak, dan menamba

Sedangkan kata auctor, dalam kamus yang sama, berarti perencana, perancang, cikal-bakal, pencipta, penemu, pendiri, penegak, pembangun, pembina, dan pembuat. Selain itu juga berarti, penasihat, pendorong, penyebab, penggerak, pencetus, penganjur, pendekar, gembong, pelopor, dan dalang.  Sementara arti kata intellectualis (adiectivum, kata sifat) adalah  mengakalbudi, mengintelek.

Dalam rumusan K Bertens auctor intellectualis berarti pencetus ide, orang yang untuk pertama kali mengemukakan suatu pikiran atau rencana, otak atau brain di balik suatu peristiwa (Kompas, 1 Mei 2000).

Maka itu, dalam pertunjukan wayang purwo atau wayang kulit, dalang adalah tokoh sentral.  Ia pengarang cerita. Ia pemain. Artis. Pemilik kuasa. Meski ada yang mengatakan, yang paling penting adalah blencong. Bléncong  adalah lampu minyak kelapa yang digunakan dalam pertunjukan wayang purwa.  Bléncong adalah sumber cahaya; cahaya yang menghidupkan wayang; cahaya sumber kehidupa

Dalang—entah itu wayang kulit atau wayang beber, wayang wahyu, wayang klithik, wayang golek, atau wayang gedhog, dan juga dalang jemblung—adalah   kaum intelektual tradisional. Sebagai seniman, dalang adalah manusia literer yang sekaligus filsuf. Sebagai intelektual tradisional, para dalang wayang kulit juga termasuk bagian dari kelompok sosial yang berkuasa, karena mereka memiliki (menguasai) massa penggema

Dialah—dalang—penentu apakah tokoh-tokoh wayang yang dimainkan bertabiat baik atau jahat seperti Sengkuni dan Durno. Dialah otak di balik suatu peristiwa.  Dialah yang bikin cerita. Dialah arsitek sebuah kejadian. Dialah yang menentukan siapa yang menang dalam perang tanding, misalnya, antara Sentiaki melawan Dursasana atau antara Gatotkaca melawan Adipati Karna, atau kapan gara-gara dimainkan dan sebagainya.

III

Seperti kata K Bertens, dalang—dalam arti yang luas—berarti pencetus ide, orang yang untuk pertama kali mengemukakan suatu pikiran atau rencana, otak atau brain di balik suatu peristiwa. Maka, orang sekarang sering mengatakan, “Siapa dalang pemberontakan G30S/PKI?”, “Siapa dalang demonstrasi anarkis itu?”, “Siapa dalang pengeboman itu?”, “Siapa yang membenturkan rakyat dan aparat?”, “Siapa yang mengadu domba sesama rakyat?”, “Siapa pencetus ide pembakaran wayang?” “Siapa yang menghasut rakyat di desa itu?”

Dalang adalah otak dari sebuah peristiwa, sebuah “hajatan”. Untuk menjadi dalang seperti yang sekarang banyak dan muncul di mana-mana dalam berbagai tampilan, tidak perlu sekolah di Habirandha. Sebab, Habirandha adalah tempat para dalang yang akan mementaskan tontonan, memberikan tuntunan untuk memahami tatanan hidup bersama.

Sekarang “sekolah” dalang ada di mana-mana dalam berbagai rupa. Bisa itu perguruan tinggi negeri, swasta, maupun agama. Bisa pula organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, bahkan organisasi keagamaan. Walaupun, tujuan mereka adalah menciptakan dalang, seorang auctor intellectualis dalam arti yang positif, tetapi lahir juga dari mereka para dalang yang menjadi otak keributan, kegaduhan, konflik, ketidak-rukunan, kebisingan, kebohongan, pengadu domba, pemecah belah, penghasut rakyat, terorisme, fanatisme, fundamentalisme, dan ujungnya penghancur negara.

Orang Jawa—atau para pandemen wayang—percaya bahwa tidak semua jenis lakon wayang dapat dipentaskan begitu saja. Misalnya, lakon “Ontran-otran Desa Wadas” tentu beda dengan “Karna Tundung di Gedung DPR” atau “Tumbal Lenyapnya Angkaramurka”, atau “Begawan Abiyasa Gadungan”, atau “Sengkuni Mati Angin”, dan masih banyak lagi. Tidak semua dalang pun mampu memainkan wayang secara sempurna. Bahkan ada jenis lakon yang baru dapat dimainkan dengan baik setelah ki dalang berpuasa dan menjalani ritus tertentu.

Tetapi, apakah para dalang yang sekarang bermunculan di mana-mana itu, dalam beragam rupa penampakan, dalam berbagai panggung kehidupan ini benar-benar berkuasa penuh? Tidak adakah kuasa lain yang menguasai dalang, seperti dalam pentas wayang kulit: ada penanggap (kuasa uang) dan ada blencong (kuasa kehidupan)? Apakah ada invisible hand (tangan tak terlihat)—meminjam istilahnya Adam Smith—yang menggerakkan para dalang itu?

Bila ada kuasa lain yang mengungguli para dalang, maka dalang pun yang sekarang pentas di mana-mana itu hanyalah wayang, hanyalah boneka bagi ambisi “dalang agung,” atau “Sang Autor Intellectualis Sejati.” Walau wayang seperti ini bisa dengan sombong, pongah, menuding orang lain sebagai wayang. …

Tentu, di Habirandha, tempat yang dulu ingin saya singgahi sebagai murid, tidak mengajarkan hal semacam itu… Walaupun sekarang banyak “dalang boneka” maupun “auctor intellectualis”….Dan, saya tidak jadi dalang….

***